Menjawab Dahlan Iskan

Tamsil Linrung.

Yang jelas, jangankan menyetujui presiden tiga periode, urusan calon presiden saja DPD tidak setuju, agar yang tampil tidak yang itu-itu saja; agar oligarki sulit mekar; agar hak memilih dan dipilih tidak diamputasi.

Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR

AWALNYA diduga cek ombak. Tetapi makin ke sini wacana presiden tiga periode makin menguat. Kemunculannya acak, sulit ditebak, namun selalu terpental lalu hilang bersama angin. 

Lalu muncul lagi. Muncul lagi.

Belakangan, ritmenya semakin sering. Mungkin sang komposer mengatur demikian. Itu kalau komposernya memang ada. Si pengatur ritme ini barangkali berpikir, orkestrasi politik adalah soal manajemen isu dan timing. Bila didendangkan terus-menerus, iramanya diatur, syairnya menggoda, boleh jadi publik Indonesia akan terbiasa. 

Apalagi, ada tukang survei yang mendeteksi penonton senang. Pelan tapi pasti, masyarakat dipikirnya akan berpikir-berpikir.

Lalu merasa membutuhkan. 

Lalu menerima.

Eh, apa iya semudah itu? Sebentar… sebentar. Bila matematikanya sebatas politik saja, semua bisa terjadi. Tetapi, ini juga soal rasa. Rasa yang terhubung dengan siksa batin masyarakat saat harus antre panjang hanya demi seliter dua liter minyak goreng. Atau tentang pajak yang naik, yang ditemani kenaikan listrik, BBM, dan lain-lain. Bisa pula soal-soal besar seperti Bandar Udara yang menjadi bengkel, atau hal remeh namun menyiksa semacam kartu BPJS yang harus ditenteng kemana-mana. Jadi, masyarakat belum tentu senang.

Bagaimana dengan elit? Nah ini dia. Ada kekhawatiran besar, celah presiden tiga periode muncul dari sana. Yang tadinya hanya cek ombak, lalu berubah menjadi ombak besar yang menggulung semuanya. 

Dahlan Iskan, salah seorang yang menduga (atau sebatas mengkhawatirkan) potensi itu. Konstitusi memang mengharamkan. Tetapi konstitusi bukan kitab suci yang tidak boleh diubah. Konstitusi dibuat manusia. Kalau manusianya mau maka konstitusi bisa diubah. Kira-kira begitu kata Dahlan dalam tulisan berjudul Tiga Periode. 

Kalau DPR bisa dikuasai maka perubahan konstitusi hanya menunggu waktu. Asalkan porsi bagi-baginya seimbang. Misalnya, kalau presiden tiga periode, DPR juga dijatah sama. Pun dengan gubernur, agar gejolak di daerah bisa diredam. Semua senang, semua happy.

Bagaimana dengan DPD? Prinsipnya sama. Anak tiri senayan ini bahkan bisa diberi porsi tambahan selain jatah tiga periode. Bonus tersebut adalah tawaran penguatan kewenangan lembaga DPD, agar derajatnya sedikit mengimbangi saudara tuanya di kamar sebelah. DPD ikut gembira, senatornya akan puas. Sesederhana itu.

Sesederhana itu? Tunggu dulu. Saya tentu tidak berhak menjawab tudingan yang dialamatkan kepada DPR dan para gubernur. Silakan tanya mereka. Namun, kekhawatiran Pak Dahlan terhadap DPD rasanya tak perlu diteruskan. 

Tegasnya begini. DPD menolak wacana tiga periode, apapun alasannya, apapun iming-imingnya. Jejak digital penolakan ini mudah ditemui. Tinggal tanya mbah google, informasi pendukung dan pembanding akan disajikan.

Nah, sekarang soal konsistensi sikap. Anggota DPD memang bukan malaikat yang digaransi istiqomah. Tetapi sejauh ini aura kebatinan di DPD masih mengarah ke sana dan semoga akan terus ke sana. 

DPD ingin negeri ini tetap memijak konstitusinya, bukan mengikuti keinginan sekelompok orang. Nalar konstitusi benar. Kekuasaan harus dibatasi dua periode, karena lebih dari itu akan berbahaya. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” begitu diktum Lord Acton. Lagi pula, atas alasan apa kita  menyetujui tiga periode? Pembangunan yang telah dicapai? Yang mana ya?

Kembali ke laptop. 

Wahai Pak Dahlan, duhai pembaca sekalian. Saya laporkan, psikologi politik di DPD bahkan lebih dari itu. Baru-baru ini, DPD mengajukan usul revisi UU Pemilu terkait Presidential Threshold dari 20 persen menjadi nol persen. Namun, usul ini ditolak oleh DPR dan Pemerintah. 

Tapi kami tak kehabisan langkah. 18 Februari 2022 lalu, melalui Sidang Paripurna ke-8, Anggota dan Pimpinan DPD sepakat menempuh jalur konstitusional lain, yakni uji materi pasal 222 UU Pemilu. 

Ya, DPD secara lembaga akan bertarung dalil di Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, saya dua puluh tiga orang anggota DPD telah mendaftarkan gugatan secara personal. Langkah ini barangkali menjadi sejarah pertama di dunia. Lho, pembuat UU kok menggugat UU… 

Sudahlah. Itu soal lain. 

Yang jelas, jangankan menyetujui presiden tiga periode, urusan calon presiden saja DPD tidak setuju, agar yang tampil tidak yang itu-itu saja; agar oligarki sulit mekar; agar hak memilih dan dipilih tidak diamputasi.

Sekarang, kita buka-bukaan saja. Samar-samar, gosip politik memenuhi udara. DPD melakukan itu karena unsurnya ada yang ingin menjadi calon presiden. Benarkah?

Bisa benar, bisa tidak. Tapi masalahnya tidak terletak di sana. Masalahnya adalah soal aturan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Apakah perjuangan DPD melawan aturan itu harus dihentikan karena gosip ini? Bukankah nyapres adalah hak semua warga negara yang merasa mampu dan terpanggil? 

Lagipula, kalau saya atau anggota DPD lain lolos nyapres, kan belum tentu terpilih juga? Namun, dari sikap DPD ini, setidaknya dua hal menjadi terang: Satu, DPD menolak wacana tiga periode. Dua, DPD menolak presidential threshold.

Apapun itu, terima kasih telah mengingatkan kami, Pak Dahlan. Anda bukan orang sembarangan. Rekam jejak Anda jelas dan terukur. Kekhawatiran Anda layak menjadi kekhawatiran kami. Mohon, jangan merasa telah dikunci mati. (*)

 

365

Related Post