Menurut Mahfud, Kementerian Keuangan Terlibat Pencucian Uang Selain Korupsi
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
MENKO Polhukam (Politik, Hukum, dan Keamanan) Mahfud MD mengatakan ada pergerakan uang mencurigakan di Kementerian Keuangan khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Jumlahnya sangat fantastis, lebih dari Rp300 triliun, diduga terkait kasus pencucian uang.
Informasi tersebut berasal dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), yang sudah menyerahkan tidak kurang dari 200 berkas laporan kepada Kementerian Keuangan sejak 2009-2023.
Laporan dugaan pencucian uang yang begitu besar nampaknya hanya didiamkan saja, dipetieskan, oleh Kementerian Keuangan. Membuat kejahatan keuangan tersebut semakin lama semakin membesar.
Kemarin, Jum’at, 10/3/23, Mahfud bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Usai pertemuan tersebut, Mahfud memberi pernyataan cukup aneh. “Pencucian uang jauh lebih besar dari korupsi”.
Sepertinya, Mahfud sedang membentuk opini, bahwa uang Rp300 triliun yang beredar di lingkungan pegawai Kementerian Keuangan, yang diduga terlibat pencucian uang, tidak semua berasal dari korupsi pajak di Kementerian Keuangan.
Pernyataan Mahfud sangat bahaya bagi bangsa Indonesia, seperti ada pesan mau melindungi, bahkan menutupi, mega skandal kasus korupsi kolektif penerimaan pajak di Kementerian Keuangan.
Karena, pertama, bagaimana Mahfud bisa tahu bahwa dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan senilai Rp300 triliun tersebut bukan berasal dari hasil korupsi pajak? Apakah artinya Mahfud sudah tahu berapa besar korupsi yang dilakukan oleh pegawai pajak dan pegawai bea dan cukai?
Kalau tahu, harap data jumlah korupsi tersebut dibuka kepada publik.
Kalau tidak tahu, sebaiknya Mahfud jangan bicara bahwa pencucian uang di Kementerian Keuangan hanya sedikit yang terkait korupsi. Karena pendapat seperti ini hanya pendapat spekulatif untuk membentuk opini, mau mengecilkan mega skandal yang terjadi di DJP dan DJBC.
Perlu diingat, korupsi kolektif di DJP dan DJBC merupakan kejahatan korupsi penerimaan pajak secara terstruktur dan kolektif, dilakukan bersama-sama dengan melibatkan banyak pihak di internal DJP dan DJBC, dan sudah berlangsung sejak lama.
Dampak korupsi kolektif penerimaan pajak ini sangat buruk. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun, membuat utang pemerintah naik pesat, subsidi berkurang, harga BBM dan tarif listrik naik, dan pada akhirnya membuat jumlah rakyat miskin bertambah, dan pemberantasan kemiskinan gagal.
Seharusnya Mahfud jangan membentuk opini, tetapi memastikan penyelidikan dan penyidikan korupsi dan pencucian uang di lingkungan Kementerian Keuangan dapat dilaksanakan secepatnya.
Kedua, kasus pencucian uang selalu berasal dari uang hitam (ilegal), seperti korupsi, judi ilegal, narkoba, dan sejenisnya, untuk diputihkan (dibuat seolah-olah legal).
Kalau dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan bukan berasal dari korupsi pajak, apakah artinya pegawai Kementerian Keuangan terlibat aktivitas ilegal lainnya, misalnya judi, narkoba, human trafficking, atau pelacuran?
Kalau benar seperti itu, betapa rusaknya akhlak pegawai Kementerian Keuangan khususnya DJP dan DJBC, sehingga seluruh direktorat harus dibersihkan secepatnya untuk menyelamatkan bangsa ini. (*)