Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat
Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi.
Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI
(Disampaikan Dalam Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan, Palembang, 28 Juni 2022)
SAYA sampaikan terima kasih kepada Pengurus Lembaga Simpul Jaringan Umat Institute, yang begitu cepat merespon pertemuan di Kota Bandung kemarin, dengan menggelar kegiatan serupa untuk terus menggelorakan semangat merebut kembali Kedaulatan Rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Sehingga rakyat tidak hanya menjadi penonton kesibukan para ketua umum partai politik yang saling berkunjung, dan menggelar rapat-rapat tertutup untuk menentukan suksesi kepemimpinan nasional negara ini.
Karena pada hakikatnya; Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kedaulatan ada di tangan rakyat.
Beberapa hari ini, sudah banyak pertanyaan yang saya dengar dari beberapa kalangan. Baik di grup WhatsApp, maupun di media sosial, yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara. Dulu-dulu LaNyalla kemana aja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan.
Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam.
Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Sehingga saya wajib berbicara tentang negara.
Karena sebelum menjadi pejabat negara, saya aktif di beberapa organisasi. Tentu saya berbicara dalam skup organisasi tersebut. Seperti saat saya aktif di Kadin, saya bicara dunia Usaha dan Industri. Saat aktif di PSSI, saya berbicara tentang Sepakbola dan Tim Nasional. Begitu juga di Pemuda Pancasila, yang sampai hari ini saya masih menjadi Ketua di Jawa Timur, tentu saya aktif berbicara tentang Pancasila.
Tetapi sejak saya dilantik sebagai pejabat negara, saya harus menjalankan sumpah saya sebagai pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Sebagai Ketua Lembaga Negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia.
Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar Lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI.
Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di masa Pandemi Covid. Dan dari perjalanan turun langsung itu, saya menemukan dua persoalan yang hampir sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan.
Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam.
Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat-sahabat saya. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini semua tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui Konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan. Ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa.
Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua Lembaga Negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Sejak saat itu, saya terus menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin Sekuler, Liberal dan Kapitalis.
Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation.
Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir.
Saya melihat ada persoalan di dalam Konstitusi kita. Dan ada masalah di dalam perundang-undangan kita. Dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini.
Dan puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain dan tercerabut dari akar sejarahnya.
Bangsa yang super majemuk ini tiba-tiba melakukan copy paste sistem demokrasi barat secara murni dan konsekuen. Dan secara sadar dan sengaja, meninggalkan sistem demokrasi Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa.
Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi.
Saya tidak pernah mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru itu yang terbaik. Karena Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 memang harus disempurnakan, untuk memastikan tidak terjadi Abuse of Power. Tetapi bukan diganti total seperti hari ini.
Karena fakta membuktikan. Sejak Amandemen Reformasi kemarin, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia.
Mengapa itu terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar.
Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.
Kita telah meninggalkan Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Atau menang-menangan yang dihasilkan dari membeli suara, atau melakukan kecurangan pemilu.
Dan sejak Amandemen reformasi itu, tidak ada lagi ruang bagi elemen non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu tunggal perjalanan bangsa ini.
Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik.
Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah Durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang mungkin bagi generasi muda saat ini terasa absurd.
Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘Agar tumbuh generasi yang lebih baik’.
Tetapi apa yang tumbuh? Yang tumbuh subur hari ini adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka.
Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial.
Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini dibajak kalangan Oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, yang bermoral dan yang berbudi pekerti luhur.
Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita.
Kita merdeka bukan atas jasa partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945.
Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat.
Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Mamur.
Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, dan seterusnya.
Saya percaya, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme untuk membawa Indonesia lebih baik. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka yang idealis seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya dalam membiayai kampanye yang mahal. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang mampu ‘memborong’ suara rakyat.
Saya juga percaya, masih ada anggota DPR RI yang memiliki idealisme. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu akan melemahkan perjuangan tersebut.
Sehingga memberikan kewenangan tunggal kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa tanpa reserve, dan tanpa penyeimbang dari kekuatan non-partisan adalah kesalahan kita sebagai bangsa.
Karena bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya.
Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini.
Saya menyampaikan ini bukan karena keinginan saya menjadi presiden. Saya tidak akan pernah meminta jabatan. Karena bagi saya jabatan bukan urusan saya, tetapi menjadi urusan dan takdir dari Allah SWT. Dan saya sudah sampaikan di Bandung kemarin, jika saya ditakdirkan Allah SWT memimpin bangsa ini, maka pekerjaan besar yang saya lakukan adalah mengembalikan Kedaulatan Rakyat kepada pemilik negara ini, yaitu Rakyat Indonesia Asli.
Karena pekerjaan mengembalikan kedaulatan rakyat tersebut kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak untuk diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi.
Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat.
Karena secara prinsip, seluruh kekayaan yang luar biasa di negara ini mutlak sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk segelintir orang yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan di luar negeri.
Jadi, silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi. Silakan partai politik bersatu untuk menang. Tetapi Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. (*)