MK, MA: Algojo Jegal Anies dan Tunda PEMILU?
Oleh: Tamsil Linrung - Anggota DPD RI
Lembaga peradilan seharusnya dominan dipercakapkan dalam diskursus hukum dan ketatanegaraan, namun faktanya lembaga ini acapkali justru menjadi buah bibir politik. Tidak saja karena kasus yang diadili asalnya menyerempet politik, akan tetapi juga karena arah putusan terkesan memberi angin segar pada kepentingan politik penguasa jelang Pemilihan Presiden 2024.
Perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, dua perkara terakhir dalam satu bulan ini begitu mengundang kegelisahan. Perkara pertama adalah keputusan MK menerima gugatan perpanjangan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Biasanya MK mengembalikan perkara yang substansinya open legal policy kepada DPR selaku pembuat UU, namun, kali ini tidak. Pun begitu dengan asas retroaktif (berlaku surut), umumnya, putusan MK non-retroaktif, akan tetapi kali ini tidak. Akibatnya, masa jabatan Firli Bahuri Cs yang tadinya berakhir tanggal 23 Desember 2023 diperpanjang hingga 23 Desember 2024.
Dari perspektif hukum, sejumlah pakar hukum mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decendi atau pertimbangan putusan. Sedangkan dari perspektif politik, putusan ini seolah memberi napas kepada pimpinan KPK periode saat ini untuk menuntaskan “misi”-nya menjegal Anies melalui kasus Formula E. Tentang kasus Formula E dan relasi dugaan penjegalan terhadap Anies telah banyak diulas pengamat dan media massa.
Presiden Joko Widodo menyatakan akan cawe-cawe dalam politik menuju 2024. Meski Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden mengatakan bahwa cawe-cawe yang dimaksud adalah mengawal Pemilu Serentak 2024 agar berlangsung jujur, adil, dan demokratis, namun kalimat presiden tetap saja dimaknai bersayap oleh banyak pihak.
Teks melekat pada konteks. Tentu saja, publik akan melekatkan pernyataan presiden pada kegiatan politiknya yang terkait Pemilu 2024. Dari perspektif ini, memori publik diisi penuh oleh banyak peristiwa yang mengiringi dukungan terbuka Jokowi kepada Prabowo Subianto dan atau Ganjar Pranowo. Sebutlah pertemuan para Ketua Umum Partai Politik pendukung pemerintah di istana negara tanpa mengundang Partai Nasdem.
Ambisi Jokowi mencari “penerusnya” membuat kekuasaan terlihat begitu bersimpati pada kepada Ganjar dan Prabowo, namun sentimen pada Anies Baswedan. Perkakas negara yang punya relasi langsung atau tidak langsung dengan pemerintahan diduga menampakkan gejala yang sama. Salah satu yang dikhawatirkan adalah MK yang sejatinya kudu super independen.
Perkara kedua di MK yang terkait langsung dengan Pemilu 2024 adalah gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Bila MK memutus sistem Pemilu kita tetap proporsional terbuka, tidak akan ada masalah karena selama reformasi Pemilu diadakan demikian.
Masalah itu mengemuka bila MK memutuskan sistem Pemilu diadakan dengan proporsional tertutup. Dapat dipastikan, partai politik dan calon legislatif yang selama ini tidak memperhitungkan nomor urut akan kalap, gaduh, sekaligus bingung. Dalam bahasa Presiden RI ke-enam Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), akan terjadi chaos politik.
Potensi chaos muncul karena perubahan sistem dilakukan di tengah-tengah tahapan Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi, chaos sebagaimana kekhawatirkan SBY hanya dampak. Problem sebenarnya adalah perubahan sistem di tengah-tengah tahapan Pemilu.
Efek domino lainnya adalah penundaan Pemilu. Bila MK memutus perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, maka tentu akan dilakukan penyesuain terhadap UU dan berbagai aturan lainnya yang membutuhkan waktu cukup lama. Sementara Pemilu diagendakan terlaksana pada 14 Februari 2024, hanya tersisa tujuh-delapan bulan lagi.
Akibatnya mudah ditebak, yakni penundaan pemilu. Perubahan mekanisme Pemilu menjadi proporsional tertutup harus mendapat legitimasi kuat dari UU, bukan sekadar putusan MK. Dan pembahasan untuk proses tersebut akan melalui kajian dan diskusi yang sangat panjang, karena tidak sedikit pasal dalam sebuah UU terkait dengan pasal lainnya, bahkan ada pula yang terkait dengan pasal lainnya dalam UU yang berbeda.
Selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga menjadi sorotan publik terkait Peninjaun Kembali (PK) kepengurusan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Bila PK dikabulkan, Moeldoko berhasil menikung Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Buntutnya, besar kemungkinan Partai Demokrat akan mundur sebagai partai pengusung Anies dalam Koalisi Perubahan. Partai tersisa otomatis tidak dapat mengajukan calon presiden karena terhambat syarat presidential threshold. Dan pencalonan Anies sukses dikebiri.
Yang mengherankan, di tengah berbagai argumentasi normatif Presiden Jokowi tentang demokrasi, tidak terlihat teguran presiden kepada kepala stafnya itu. Proses pembegalan dibiarkan berlanjut, seolah perkara begal Partai Demokrat adalah persoalan internal. Bukan. Moeldoko tidak sekalipun pernah menjadi kader Demokrat, apalagi pengurus. Ini menjelaskan bahwa ada pembiaran pencopotan Partai Demokrat, sebagaimana istilah praktisi hukum Denny Indrayana.
Kaidah hukum tentu bukan an sich tentang bunyi pasal, melainkan juga melingkupi nilai-nilai moral atau etik. Dimensi etik justru menjadi bagian penting dalam penyusunan struktur kaidah hukum. Para hakim yang mulia tentu lebih memahami situasi ini. Soalnya adalah bagaimana pemahaman itu muncul secara kongkrit dalam setiap putusan hukum.
Kita berharap lembaga peradilan dapat bersikap independen, adil, dan bijak memutus perkara, khususnya perkara hukum yang memengaruhi dinamika politik di tahun politik jelang Pemilu 2024. Nomokrasi atau kedaulatan hukum harus dijaga agar seimbang dengan demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Karena itu, gerakan masyarakat sipil harus saling terkoneksi menjaga keseimbangan itu. Kita memerlukan orang-orang seperti Denny Indrayana yang lantang mempercakapkan situasi teknis pelaksanaan hukum kita di ranah publik agar masyarakat ikut mengawal. Bagaimana pun juga, setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Negara, melalui perangkat-perangkatnya, harus melindungi hak tersebut, tidak justru menjadi algojo yang memenggal hak warga negara.
Akankah MA dan MK menjadi algojo itu? Semoga tidak, kita tunggu saja.***