Mochtar Pabottingi dan Nawacita
Oleh Farid Gaban - Kolumnis
MOCHTAR Pabottingi, yang meninggal beberapa hari lalu, seorang ilmuwan yang berintegritas. Beliau favorit saya untuk tulisan-tulisannya yang sangat kritis terhadap Orde Baru. Mendalam, jernih dan jauh dari kesan partisan.
Itu sebabnya saya agak terkejut membaca komentar-komentar beliau mendukung Jokowi hampir secara partisan pada 2014 dan 2019.
Saya pernah sekali menyapa beliau lewat facebook dan menanyakan sikapnya. Belakangan, saya mencoba memahami beliau.
Pak Mochtar itu anti militerisme. Mendukung Jokowi ketimbang Prabowo Subianto sudah hampir otomatis saja. "Mendukung Prabowo hampir 'out of question' buat saya," tulisnya dalam sebuah komentar di facebook.
Ketika Jokowi bersaing dengan Prabowo, bahkan bersikap netral saja tidak cukup bagi Pak Mochtar. Beliau hampir sama pandangan dengan Romo Magnis Soeseno yang cenderung mengecam golput.
Alasan lain Pak Mochtar mendukung Jokowi adalah Nawacita. Dalam beberapa tulisan, Pak Mochtar menyebut Nawacita yang diusung Jokowi sebagai upaya meremajakan cita luhur Indonesia:
"a feasable, up-to-date, and convincing restatement of the bulk of Pancasila ideals."
Sampai 2019-2020, Pak Mochtar masih tampak menjadi "pendukung Jokowi garis keras". Tapi, sepertinya, harapan beliau terhadap Pemerintahan Jokowi luntur dari hari ke hari.
Tulisan beliau di Kompas pada awal tahun ini (Panggilan Kerinduan, 8 Maret 2023) melukiskan kekecewaan besar.
"Tapi sungguh sangat menyakitkan bahwa wacana (Nawacita) ini segera tersimak sebagai tak lebih dari manipulasi kerinduan."
Pak Mochtar tak hanya menyesali "Nawacita bagai ditelan Bumi", beliau mengecam 4 produk legislasi selama Pemerintahan Jokowi yang "miskin legitimasi dan mencekik reformasi".
Yaitu revisi-revisi UU ITE, UU KPK, UU Minerba, serta legislasi baru UU Cipta Kerja.
Lebih dari itu: "Kini pun terbetik kemungkinan pelecehan integritas kepentingan bangsa dalam pemaksaan liberalisasi lewat RUU Kesehatan (omnibus law)."
Pak Mochtar juga mengeluhkan matinya gairah dan inisiatif di lingkungan pendidikan serta makin terpuruknya lembaga penelitian yang "kini diringkus paksa dalam BRIN."
Pak Mochtar tak hanya melihat mimpi meremajakan cita-cita bangsa gagal. Situasi justru makin buruk.
Bagaimanapun, salah memilih dan bersikap adalah manusiawi. Selamat jalan dalam keabadian, Pak Mochtar Pabottingi. (*)