Morowali Membakar Asap, Mengobar Senyap

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI 

Ebiet Ghofur Ade pernah bersenandung kisah derita orang-orang yang terusir dan tergusur. Digambarkannya dengan tangis tersembunyi, ada amarah tersekat dalam rongga dada. Berkecamuk duka haru biru, jiwa-jiwa yang terpinggirkan. Seperti itulah Morowali Sulawesi Tenggara,   mewakili perasaan rakyat Indonesia yang terhempas dari harga diri dan kehormatan, yang  terbuang dari kemakmuran  dan keadilan.

Bukan hanya tergusur, rakyat kerap mengalami perampasan hak-hak mendasar dalam hidupnya. Negara  kaya sumber daya alam dan berlimpah sumber daya manusia, terbiasa melumuri rakyat dengan derita dan nista pada kesehariannya. Keringat, darah, dan nyawa yang menghidupi nasionalisme dan patriotisme, harus dibayar dengan penindasan dan kebiadaban di sepajang zaman kemerdekaan negerinya. Terutama kemerdekaan untuk bangsa asing yang mewujud kolonialisme dan imperialisme modern, nikmat memperkosa kemolekan Indonesia. Bersama jongos lokal yang setia,  penjajahan kembali berjaya di kekinian Nusantara.

Nikel, minyak, gas, sawit dan emas serta pelbagai rahmat Tuhan yang melengkapi kemerdekaan negara bangsa Indonesia. Tak tersentuh dan mustahil dirasakan manfaatnya oleh kebanyakan rakyat. Amanat terabaikan, meski tersirat dan tersurat   direkomendasikan Pancasila dan UUD 1945. Republik menjadi lahan subur bagi bangsa asing, namun menjadi lahan gersang bagi rakyat pribumi. Terjebak utang karena ambisi kerakusan materi, ramah dan santun melayani bangsa asing, namun beringas pada rakyatnya sendiri.

Menjadi bangsa kuli di atas bangsa kuli, sistem dan perilaku kekuasaan sukses menjadikan bangsa asing bangga, bahagia, dan sejahtera. Rakyat tetap bergumul dengan kemiskinan, didera derita panjang dalam hamparan kekayaan negerinya. Eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, kokoh, dan angkuh bertengger di bumi Pancasila. Dalam penjajahan gaya baru berwajah kapitalis dan komunis gaya baru pula, oligarki beserta ternak-ternaknya menyeringai. Memamerkan taring tajam dan siap memangsa, mencabik-cabik kedaulatan rakyat. Kejahatan begitu sempurna dan lengkap dalam rezim kekuasaan. Dengan kekuatan modal korporasi, politisi bersama birokrasi menggunakan uang, jabatan, dan senjata menjadi mesin pembunuh paling efektif bagi kebanyakan rakyat yang lemah. Melumpuhkan konstitusi sembari membungkam demokrasi, membuat rezim kekuasaan menjadi semakin korup, bengis, dan menjadi psikopat tirani.

Kerusuhan Morowali Sulawesi Tenggara yang melibatkan pekerja dan warga lokal dengan TKA Cina, bagaikan menyadarkan publik,  bahwasanya pemberontakan sosial tak pernah mati betapapun gegap-gempitanya penindasan menggongong. Cacing yang lemah dan melata pun akan menggeliat saat terinjak. Rakyat seakan memberi sinyal, "silent majority" kini mulai bersuara. Mulai ada denyut dan detak bahasa di tengah kesunyian kepasrahan. Gemercik api mulai menjalar tertiup angin kegelisahan dan kegundahan. Kata-kata kesadaran kritis dan perlawanan yang tak pernah terucap, perlahan mulai mewujud aksi. 

Pikiran tak lagi mencerahkan dan bahasa tak lagi menyadarkan. Hanya tindakan yang bisa disampaikan mewakili rasa. Anarkis yang mengakhiri akumulasi frustasi, menjadi alat komunikasi paling hakiki. Seperti mengulang episode revolusi saat melawan kolonialisme dan imperialisme, rakyat mulai mendobrak konstitusi. Menjebol dan membangun, memandang hukum feodal akan menjadi penghalang perubahan, seperti kata Bung Karno yang menjadi pegiat revolusi.

Tragedi Morowali di tengah masifnya kebiadaban bernegara, perlahan menjadi mukadimah yang mengakhiri kejumudan rakyat. Tak sekadar tergusur dari kekayaan lahannya, rakyat juga tergusur dari negara kesejahteraan. Warga Morowali bagai membakar asap yang sudah membumbung tinggi seantero negeri. Mengobar panas suhu rakyat yang dingin dalam kesunyian. Asap sudah mengepung jantung dan membelenggu denyut nadi kehidupan rakyat. Membuat rakyat sesak napas, sulit  dan tak mampu lagi bernapas menghirup udara kemerdekaan yang sesungguhnya. Bukan api yang menyebabkan asap. Namun asap beracun yang menyembur dari kerusakan penyelenggaraan negara.  Asap hitam mengepul syahwat kekuasaan rezim,  yang memicu api perlawanan dan pemberontakan rakyat terindas. 

Pada akhirnya, semua hanya bisa melihat dan menunggu apa yang akan terjadi kelak pada rakyat, negara, dan bangsa Indonesia. Dalam keheningan dan terpinggirkan dari  suara mayoritas atas tirani minoritas. Gejolak suara-suara yang selama ini bungkam pada kerinduan akan kemakmuran dan  keadilan sosial, kini mulai berbisik nyaring dan keras. Terutama ketika Morowali, membakar asap mengobar senyap. 

*) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.

Bekasi Kota Patriot, 17 Januari 2023/24 Jumadil Akhir 1444 H.

505

Related Post