Mosi Tidak Percaya PII kepada Menteri Nadiem Makarim
Oleh: Rafani Tuahuns
Kepada Nadiem Makarim Sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi. “Salah kaprah Pendidikan, salah kiprah Kementrian”.
Percepatan Pembangunan Pendidikan Nasional, merupakan satu hal mendesak bagi masyarakat pelajar Indonesia, di tengah-tengah masa depan yang akan penuh dengan persaingan baik tingkat nasional dengan bonus demografi, ataupun persaingan di tingkat global.
Orientasi pada kemajuan pendidikan dan reformasi pendidikan serta digitalisasi sejak awal kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjadi tema yang kerap diusung dalam rumusuan rumusan formulatif Presiden dan Wapres.
Penunjukan Nadiem Makarim pada periode kedua Presiden Jokowi sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi alasannya karena telah berhasil dalam melakukan perubahan teknologi informasi di Indonesia dengan membangun Gojek.
Kepercayaan ini dipertaruhkan Jokowi agar terjadi akselerasi teknologi di bidang pendidikan Nasional. Termasuk memudahkan para pelajar dalam mengakses pendidikan, sehingga tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tak mendapatkan pendidikan yang baik, bermutu, sebagaimana yang tertera dalam RPJMN 2020- 2024 yang berfokus pada pembangunan dan peningkatan kualitas dan pemerataan layanan pendidikan.
Namun hingga saat ini, di tengah situasi pandemi yang semestinya menjadi ruang bagi Menteri mantan CEO perusahaan teknologi raksasa Indonesia itu untuk membuktikan kepiawaiannya menggunakan teknologi untuk mengakselerasi bidang pendidikan, justru malah berbanding terbalik.
Nadiem Makarim dalam kebijakannya, tak mampu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat pembangunan di bidang pendidikan. Alih alih, Nadiem malah berkutat pada program-program jargonistik yang tak tentu arah.
Data BPS yang dirilis pada 2020 setidaknya telah menunjukan Kesenjangan pendidikan antar kelompok ekonomi masih menjadi permasalahan dan semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan.
Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi apabila dibandingkan antar wilayah. Pembelajaran berkualitas juga belum berjalan secara optimal dan merata antar wilayah. Sejumlah langkah sudah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Sayangnya, upaya yang dilakukan belum dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Semenjak ditetapkannya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan RI, kebijakan Nadiem Makarim banyak menuai kontroversi, dan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat baik praktisi, akademisi dan organisasi.
Pasalnya beberapa Program yang dirumuskan Nadiem Makarim dirasa terlalu besar mengeluarkan anggaran namun tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional yang termuat dalam Sisdiknas.
Salah satu program yang sangat kontroversi diawal jabatannya sebagai menteri ialah Program Organisasi Penggerak, dimana anggaran yang dicanangkan dalam program tersebut berkisar sekitar Rp 595 miliar
yang dialokasikan untuk 156 ormas.
Dalam lampiran peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud tertuang skema pembiayayaan dibuat dengan dengan tiga kategori yaiut Gajah (Kategori I) dengan jumlah Rp 20 miliar, Macan (Kategori II) Rp 5 Miliar dan Kijang (Kategori III) Rp 1 miliar.
Persoalan yang kemudian keliru ialah hampir sebagian besar penerima hibah tersebut tidak kredibel karna terdapat lembaga-lembaga CSR yang semestinya sudah menjadi tugas mereka menggunakan dana perusahaan dalam berkolaborasi memajukan pendidikan, justru masuk dalam institusi yang mendapatkan “jatah” dari anggaran pendidikan.
Selain itu, baru-baru ini Nadiem juga membuat program boros anggaran yang tak sadar kondisi masyarakat pelajar, seperti program pengadaan laptop yang nilainya mencapai Rp 17 triliun.
Secara sekilas, mungkin ini merupakan hal baik karena memberikan fasilitas belajar kepada anak didik, namun sayangnya infrastruktur teknologi lainnya tidak mencukupi. Layanan internet Indonesia masih sangat timpang antara di kota dan pedesaan.
Pengadaan laptop hanya akan menambah lebar jurang kualitas pelajar di kota dan desa. Hal ini juga menunjukkan bahwa Nadiem sangat lemah memahami apa dan untuk apa pendidikan Nasional itu. Lain halnya ialah pengadaan harga satuan laptop yang diluar nalar dengan bandrol 10 juta/laptop dengan spesifikasi mesin dibawah standar.
Terakhir yang tak kalah borosnya dari agenda nadiem ialah renovasi ruang kerja yang bernilai fantastis dan tidak masuk akal dengan menghabiskan angka sebesar Rp 5 miliar.
Klarifikasi pihak kemendikbud atas itu ialaha proses renovasi yang dilakukan ialah keseluruhan dua lantai gedung A keseluruhan lantai. Namun dengan anggaran yang sebesar itu tentu saja hal itu sangat disayangkan karna berlebihan dalam penganggaran renovasi.
Salah kaprah kebijakan Nadiem Makarim sebagai mendikbud tidak hanya pada pengalokasian anggaran yang tidak masuk akal. Tetapi juga melalui kebijakan kebijakan yang apolitis dan inkonstitusional dengan adanya Permendikbud Nomor 28 tahun 2021 tentang Organisasi Tata Kerja Kemendikbudristek yang mengahpuskan Badan Standar Nasional Pendidikan, padahal jika kita pahami BSNP merupakan produk dari
UU Sisdiknas 2003 sebagai pedoman konstitusi pendidikan nasional Indonesia.
Selain dari ragam kebijakan dan program nadiem makarim yang penuh dengan kontroversi, PB PII mencatat beberapa apologi Mendikbudristek sebagai bentuk indikasi dari ketidaksiapan dan kegagalannya mengelola
Kebijkakan.
Catatan pertama adalah perumusan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II yang menghilangkan beberapa peran tokoh agama yang berjuang melakukan perlawanan terhadap bangsa Kolonial. Hal tersebut kemudian memicu respon dari berbagai kelompok masyarakat dan ormas Islam.
Pasca dari itu nadiem makarim menyampaikan permohan maafnya dengan mendatangi salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Bukan hanya itu, catatan kedua apologi nadim datang ketika sempat hilangnya frasa agama dalam draf peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035.
Hal tersebut mengundang banyak kekecewaan masyarakat yang meyakini pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum pendidikan yang sesuai dengan jalan dan cita-cita pendidikan nasional. Atas kegaduhan tersebut kemudian Nadiem Makarim melakukan klarifikasi serta menjanjikan frasa agama tidak akan terhapus dari Peta Jalan Pendidikan Nasional.
Catatan terakhir, klarifikasi Nadiem Makarim dilakukan saat Mendikbud menetapkan Permendikbud Nomor 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler yang sangat diskriminatif dan tidak
berkeadilan.
Pasalnya dalam Permen tersebut memuat beberapa syarat sekolah penerima Dana Bos yang mengenyampingkan prinsip prinsip pemarataan, terutama Pasal 3 ayat (2) huruf d yang mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang tertera ketentuan sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.
Tiga kasus tersebut setidaknya kami mencatat kinerja menteri Nadiem Makarim yang tidak benar-benar memahami pendidikan nasional khususnya untuk membangun kualitas dan menyelesaikan persolaan
ketimpangan yang terjadi di pendidikan Indonesia yang sesuai dengan amanat RPJM 2020-2024.
Offside dalam Pandemi
Sejak Presiden menyatakan secara resmi kasus Corona di Indonesia pada 2 Maret 2020, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menetapkan Surat Edaran Pembelajaran jarak jauh pada 24 Maret 2020.
Namun keputusan tersebut faktanya telah memberikan persolan baru di daerah-daerah, khususnya masyarakat pedesaan dan pelosok. Setidaknya ada dua persoalan yang kemudian menjadi fundamental dalam Pembelajaran jarak jauh.
Pertama, kebijakan PJJ tidak dibarengi dengan kurikulum alternative yang dapat memudahkan pihak sekolah ataupun orangtua (keluarga) mengawal proses pembelajar bersama-sama, sehingga pada tatanan praktik banyak pihak yang kecolongan dalam mengawal PJJ.
Kedua, PJJ memaksa pemindahan ruang belajar dari luring ke daring, hal tersebut sejatinya tidak relevan dengan kondisi masyarakat di pelosok yang belum siap dengan fasilitas yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran jarak jauh.
Hal lainnya yang kemudian menjadi sorotaan di awal pandem ialah cost pendidikan yang naik karna biaya yang perlu dikeluarkan oleh masyarakat untuk kuota internet walaupun kemudian pada 27 Agustus 2020 Nadiem Makarim merilis surat keputusan tentang bantuan internet pelajar.
Dampak dari kebijakan pendidikan jarak jauh yang tidak utuh ialah produksi angka putus sekolah. Rilis riset ISEAS-Yusof Ishak Institut pada 21 Agustus 2020 mencatat 69 juta pelajar kehilangan akses pendidikan di Indonesia alasannya tidak lain karena Pembelajaran jarak jauh hanya memudahkan keluarga yang mampu semata.
Kegagalan Nadiem dalam membaca kondisi nyatanya bukan hanya terjadi di era PJJ, namun di semester ini Mendikbud merilis surat edaran Pembelajaran Tatap Muka Terbatas, dengan alasan mencegah terjadinya
learning loss.
Lagi-lagi kebijakan Nadiem gagal menjadi solusi karena tidak utuhnya kebijakan yang dirumuskan, hasilnya PTMT malah membuat klaster-klaster baru Corona di sekolah-sekolah.
Dari 432.335 satuan pendidikan yang melakukan PTMT tercatat hanya 9,93% atau sebanyak 40.593 yang mememiliki kesiapan belajar, dan 43,69 % atau sebanyak 188.880 satuan pendidikan terindikasi telah terjadi kasus Positif.
Kekhawatiran Klaster kasus Covid-10 di satuan pendidikan juga sempat diungkapkan oleh P2G, pasalnya hasil pantauan P2G dari September hingga November ada sekitar 20 daerah yang sekolahnya terpaksa menghentikan PTM karena ada siswa atau guru positif Covid-19.
Keseriusan Nadiem dalam melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas telah kontradiktif dengan praktik pengawalan serta memberikan jaminan kesehatan kepada Pelajajar dan guru.
Bagaimana tidak dalam kriteria wajib PTM pemerintah hanya memasukkan kategori Guru yang telah divaksin 100%, sedangkan vaksin pelajar dalam hal itu tidak masuk di dalamnya. Maka wajar jika kemudian Vaksinasi Pelajar berjalan dengan lambat,yagn hanya baru dapat dilakukan pada 143.535 pelajar.
Yang lebih rentan dari kebijakan PTMT ialah Indonesia dinilai belum mencapai standar positivity rate WHO bahwa kondisi daerah aman
jika angka penularan sudah di bawah 5%.
Melalui serangkaian catatan-catatan yang telah diutaran tersebut kemudian kami menilai Kemendikbudristek hari ini menjadi “disfungsi” dengan 4 Indikasi:
- Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan mendikbud tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat sekitar, dampaknya ialah semakin memperpanjang ketimpangan pendidikan Kota dan Desa.
- Mendikbud tidak memiliki Goal attainment yang utuh dalam menyusun konsepsi pendidikan di masa yang akan datang, setiap program dan kebijakannya selalu bersifat jargonistik dan tidak memiliki daya subtansial.
Beberapa hal tersebut dapat terlihat dari agenda POP dan bagi bagi laptop
yang syarat dengan Intrik dan boros anggaran, PJJ atau PTMT yang tidak pernah utuh penyelenggaraannya dan patut di evaluasi.
- Kebijakan Mendikbud tidak mampu melakukan harmonisasi antara kelompok masyarakat yang timpang padak akhirnya produk dari kebijakan yang ada gagal melakukan integrasi.
- Mendikbud tidak memiliki proses Latensi yang baik, sebagian besar agenda bersifat reaksionis dan tidak mengindahkah nilai-nilai dan norma yang telah lama menjadi orientasi pendidikan nasional.
Atas dasar persoalan-persolan tersebut, Pengurus Besar (PB) Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Kelompok yang terorganisir dari organisasi pelajar, mahasiswa dan masyrakat yang peduli terhadap pendidikan menilai Kinerja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim tidak mencapai hasil yang memuaskan dan salah kaparah dalam memaknai Pendidikan yang utuh hasilnya.
Secara kelembagaan kiprah Kemendikbudristek telah melenceng jauh dari tugas-tugasnya. maka dengan ini kami menuntut agar Presiden Jokowi segera melakukan:
- Evaluasi Kinerja Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI secara menyeluruh.
- Bentuk Unit Kerja di bawah Presiden yang terkonsentrasi pada persoalan ketimpangan dan Digitalisasi Pendidikan.
- Bebaskan biaya Pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi di masa pandemik dan PPKM.
- Tingkatkan Kesejahteraan guru honorer dan Guru di Pelosok Negeri
- Meminta MA untuk melakukan pengujian terhadap Permendikbud Nomor 28 tahun 2021.
Penulis Adalah Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII)