MUI Ultimatum Pemerintah & DPR Soal RUU HIP
by M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Sabtu (13/06). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat membuat sikap tegas dan keras terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Melalui Maklumat, MUI menegaskan penolakan terhadap RUU tersebut. MUI menyatakan "RUU HIP wajib ditolak dengan tegas, tanpa kompromi apapun".
Penolakan tegaas MUI tersebut didukung oleh 34 Pimpinan MUI seluruh Indonesia. MUI melihat bahwa RUU HIP ini adalah bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali faham Komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. MUI juga melihat ada ancaman terhadap ideologi negara Pancasila.
Disamping menolak, MUI juga mencurigai adanya oknum konseptor dari RUU yang ingin membangkitkan kembali faham dan Partai Komunis Indonesia. MUI meminta agar pihak yang berwajib untuk mengusut oknum yang dicurigai dan "bermain" dibalik Partai Politik tertentu tersebut.
Hal terpenting dalam melengkapi ketegasan tersebut, MUI Pusat beserta MUI seluruh Indonesia "mengultimatum" Pemerintah Republik Indonesia. Begitu juga dengan DPR. Umat Islam akan bergerak untuk melakukan perlawanan, bila pemerintah dan DPR coba-coba melanjutkan pembahasan RUU HIP ini.
Bila Maklumat ini diabaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR, maka “kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap pimpinan MUI Propinsi seluruh Indonesia menghimbau umat Islam Indonesia agar bangkit, bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak faham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945".
Luar biasa seriusnya situasi bangsa saat ini. Situasi ini semua, sebagai akibat dari permainan licik, kotor dan kasar kader-kader "kiri" sekarang hampir menguasi parlemen senayam. Tragisnya, mereka nyata-nyata berlindung dan bersembunyi dibalik partai politik tertentu.
Dengan kondisi bangsa seperti, maka umat Islam tidak punya banyak pilihan. Hanya satu pilihan umat Islam, yaitu untuk mendukung dan merespons secara konstruktif penolakan dan "ultimatum" MUI Pusat tersebut. Menjadi garda terdepan melawan upaya-upaya melanjutkan pembahasan RUU HIP.
Partai-partai politik beserta fraksi-fraksi dan anggota DPR RI sudah sepatutnya membaca aspirasi politik yang berkembang. Bahwa RUU HIP ini memang harus ditolak. Tunda dan batalkan pembahasan jika ingin situasi politik tetap stabil. Friksi pemahaman dan penyikapan terhadap ideologi negara menghadapi kerawanan yang dapat mengarah pada konflik.
Konsensus tentang ideologi Pancasila sedang dicoba untuk dikhianati oleh anggota DPR yang masuk katagiri eksponen "kiri". Mereka kini berlindung di kelompok atau partai yang berciri "kebangsaan". Jika dibiarkan, mareka akan leluasa untuk menyebarkan dan menghidupkan kembali faham komunis
Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir dalam salah satu acara pernah menyatakan bahwa terhadap RUU HIP yang kontroversial sebaiknya, sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Tidak perlu dilanjutkan pembahasannya. Demi untuk apa yang disebut dengan kebaikan bersama (takaful ijtima'i).
Umat Islam saja rela untuk memindahkan ibadah dari masjid ke rumah. Demi untuk menjaga kemashlahatan bersama. Mengapa DPR dan Pemerintah tak mau berkorban untuk menunda atau membatalkan RUU HIP yang kontroversial tersebut? Demi untuk kebaikan bersama ?
MUI sudah sangat tegas sikapnya. Ini adalah wujud dari aspirasi yang sudah sangat merata. Khususnya umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain bagi DPR maupun Pemerintah, selain putuskan untuk membatalkan dan tidak menjadikan RUU HIP sebagai undang-undang. Jangan bikin yang aneh-aneh lagi. Bisa panjang urusannya.
Sebagaimana pernyataan tegas dank eras dari MUI. Jika diabaikan keadaan ini, maka umat Islam akan menjadi "garda terdepan “. Umat Islam menolak segala bentuk faham komunisme dan berbagai upaya licik dan kotor yang dilakukannya. DPR dan pemerintah jangan bermain-main soal ideologi Pancasila.
Kita akan lawan bersama. Kita tetap berjuang bersama untuk menghancurkan PKI dan faham Komunisme dari bumi pertiwi ini.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.