Mungkinkah Jokowi Berantas Korupsi?
Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin memproduksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan.
Oleh Dr. Margarito Kamis
Jakarta, FNN - Pak Jokowi, Presiden yang mengawali karir politik sebagai Walikota Solo ini, oleh sebagian kalangan terlihat unggul dalam pembangunan infrastruktur. Selama memerintah Solo, pria ini dianugrahi penghargaan tokoh anti korupsi. Tindakan-tindakan pemerintahan macam apakah yang membawa dirinya menerima penghargaan? Hanya dirinya dan pemberi penghargaan yang tahu.
Sebagai tokoh antikorupsi, harusnya Pak Jokowi dapat mengikuti jalan berani yang telah dilakukan oleh Martin Vizcara, Presiden Peru. Martin menggenggam jabatan Presiden Peru menggantikan Pedro Pablo Kuczynki menyusul skandal suap yang menimpa dirinya.
Sebelum menjadi wakil presiden, Martin, disini terlihat mirip Pak Jokowi menjabat sebagai Gubernur Moquequa. Salah satu provinsi di Selatan Peru. Juga seperti Pak Jokowi, selama Martin memerintah di Moquequa. Ketika itu Martin dikenal memiliki reputasi sebagai orang yang sangat konsisten dalam menerapkan good governanace.
Reputasi itu pula yang menjadi modal terbesar dirinya. Modal itulah yang membuat Pedro Pablo jatuh hati kepada Martin. Perdo lalu memintanya untuk menjadi wakil presiden, dan membawanya sukses memasuki pemilu presiden tahun 2016.
Pasangan Perdo-Martin sukses terpilih pada pemilu itu. Posisinya sebagai wakil presiden, tidak memungkinkan Martin mengaktualisasikan gagasan-gagasannya. Tetapi tidak setelah dirinya menjadi Presiden. Martin mengambil langkah dengan resiko besar memerangi korupsi.
Konsisten
Mungkinkan Pak Jokowi, pria penerima penghargaan anti korupsi, yang akan dilantik untuk jabatan presiden kedua kalinya ini mengikuti langkah Martin? Sikap yang paling menonjol dari Martin adalah tetap konsisten ditengah pemerintahan yang sungguh-sungguh terbelah.
Pak Jokowi, sejauh ini tidak berada dalam pemerintahan yang terbelah. DPR – minus Pan dan PKS, boleh dikatakan all the presiden team. Malah the presiden dream team. PAN dan PKS hampir pasti tak bakal aneh-aneh. Gerindra toh terlihat bakal jinak. Lalu masih ada stok benteng lain di luar gedung DPR yang sangat dahsyat. Para Buzzer adalah kekuatan lain yang sangat dahsyat itu.
Akankah landscap dan semua modal politik tak tertandingi, yang kini dimiliki dan melingkarinya itu membawa Jokowi pada titik “main sikat” seperti Martin lakukan di Peru? Sulit menemukan jawaban kongklusif. Tetapi apa yang ditakuti Pak Jokowi dari parlemen yang telah tersatukan, terunifikasi dengan pemerintah? Toh politisi-politisi mutakhir selalu terlihat tidak mengayuh tindak-tanduk politiknya dengan sikap hitam-putih. Mereka selalu cair, untuk tak mengatakan abu-abu.
Kenyataan pemerintahan seperti itu, dalam batas yang nyata berbeda dengan yangh Martin hadapi di Peru. Martin menemukan dirinya berada dalam pemerintahan yang terbelah. Partainya Keiko Fujimori mendominasi Parlemen Peru, dan Keiko sendiri menjadi ketuanya. Keiko sang Ketua National Congress adalah pesaing Martin bersama Pedro pada pemilu 2016. Mungkin saja ia memiliki ambisi menenggelamkan Martin.
Namun demikian Martin tetap konsisten. Bagaimana dengan Pak Jokowi? Akankah sama konsistennya dengan Martin? Entahlah. Bila ya, maka Pak Jokowi mungkin akan membawa dirinya pada langkah-langkah, tidak usah main sikat, tetapi reformatif yang tertata dalam pertempuran melawan korupsi.
Pak Jokowi tidak usah banyak bicara. Tetapi tidak usah juga menyembunyikan gagasan anti korupsinya. Kalau gagasan itu memang ada. Tindakan pemerintahannya di Solo yang membawa dirinya memperoleh penghargaan, harus terlihat lebih jelas dalam tata kelola birokrasi lima tahun ke dapan.
Martin di Peru. Presiden yang semasa memimpin Provinsi Moquequa di Peru Selatan, menerapkan good and clean government. Jelas sekali komitmen dan konsistensinya. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden menggantikan Pedro Pablo Kuczynski yang diimpeach, Martin menunjukan konsistensi dan kelasnya. “Peru come first, and we must leave behind squabbles”. Begitulah isi pidato Martin yang menghebohkan, dan membuat gegap gempita rakyatnya.
“Saya akan bekerja mengembalikan kepercayaan kepada institusi-institusi publik, “kata Martin dalam pidatonya itu. Itu karena Martin tahu masalah besar yang melilit politik dan birokrasi. Sama dengan Indonesia. Masalah terbesar bangsa Indonesia adalah korupsi.
Dalam penilaian Martin, korupsi telah mewabah sedemikian gilanya. Korupsi menggurita dalam birokrasi sejak pemerintahan Alberto Fujimori, Presiden Peru periode 1991-2000. Presiden Fujimori terpaksa diimpeach, dan akhirnya dipenjara karena berbagai skandal korupsi.
Selangkah Saja
Seperti itulah korupsi dimuka bumi ini. Dulu maupun sekarang tidak ada bedanya. Tidak di Indonesia, tidak juga juga di Peru. Dimana-mana modusnya tidak pernah jauh dari kesepakatan-kesepakatan kotor. Suap-menyuap, penyalah-gunaan wewenang, dan kick back proyek. Pedro, presiden yang digantikan Martin misalnya, dituduh menerima ratusan ribu dolar Amerika Serikat dari Odebrecht, perusahaan konsultan Brasil yang mengerjakan sejumlah proyek di Peru.
Martin mungkin terlalu progresif untuk ukuran sebuah negara yang menderita korupsi parah. Untuk meyingkirkan hambatan-hambatan politik yang mungkin menghadang langkah-langkah reformatifnya, ia pada kesempatan pertama meminta pemilu dipercepat dari seharusnya 2021 menjadi Januari 2020.
Setelah menggenggam jabatan presiden, Martin melangkah dengan sangat progresif. Martin bahkan mengintroduksi larangan terhadap politisi korup mengikuti kontestasi itu. Gagasan ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Peru yang hendak diubah.
Langkah ekstrim ini, jelas tidak perlu dilakukan Pak Jokowi. Toh pemilu sudah usai dengan segala duka dan pilu yang menyertainya. Ada politisi di legislative dan eksekutif yang telah berbagai level untuk tertangkap KPK, karena melakukan korupsi. Tidak usah jadi perangsang mengadopsi langkah dan tindakan tipikal Martin di Peru. Tidak usah Pak Jokowi. Tetapi bukan itu masalahnya.
Pak Jokowi perlu maju selangkah lagi saja. Mengenali dan memetakan secara jelas dan terukur, penyebab dan cara berkelahi dengan korupsi sejauh ini. Itu saja dulu. Selalu saja ada pandangan yang berbeda. Persis seperti pandangan-pandangan undang-undang KPK Perubahan. Ditambah yang pro Perpu atau anti Perpu. Ada juga yang pro korupsi dan anti korupsi. Itu jelas pasti ada. Namun itu biasa saja. Tetapi mengidentiikasi kenyataan itu saja tidak cukup. Bukan itu cara berpikirnya.
Yang wajar dilakukan Pak Jokowi adalah mengenal. Sekali lagi mengenal lebih dalam. Lebih jernih pada setiap sudut tersembunyi dan semua sayap diskursus penanganan korupsi. Pada titik itu, Pak Jokowi perlu membuka gudang politik “minyak untuk pangan” yang diterapkan PBB di Irak. Program ini bermotif mengurung mendiang Saddam Husen, yang Amerika identifikasi sebagai manusia paling berbahaya dan korup pada masanya itu.
Tetapi apa hasilnya? Toh, rakyat tetap menderita, bahkan sesudah Sadam pergi untuk selamanya. Nyatanya program ini menyediakan begitu banyak lubang korup, yang dinikmati pialang-pialang kekuasan dalam dunia politik ekonomi, khususnya minyak Internasional. Hingga saat ini korupsi malah mengila d Irak. Rakyat terus terlilit penderitaan diberbagai sudut kehidupan.
Korup tetapi berbaju antikorupsi. Begitulah yang dapat digambarkan dari program “minyak untuk pangan” di Irak pada masa Saddam Husen. Inilah yang terlihat tak sepenuhnya dikenali Martin di Peru. Salah satu kenyataan inilah yang mengakibatkan, , National Congres yang didominasi partai oposisi pimpinan Keiko Fujimori, menolak gagasannya. Martin memang tidak hilang akal. Dia membawa gagasannya itu ke referendum khas Chaves di Venezuela.
Korupsi yang menurutnya menggurita di negerinya boleh saja disajikan sebagai penyebab paling utama anggota parlemen bersatu menolak gagasannya. Tetapi parlemen melihat sisi lain dari gagasannya itu. Apa? Mengapa harus gunakan referendum?
Siapa yang menjamin referendum itu tidak sama tujuannya dengan yang digunakan Chaves, bahkan Alberto Fujimori? Bukankah Fujimori juga hendak mengubah konstitusi melalui referendum? Dan konstitusi yang direferendumkan itu memungkinkan dirinya menjadi presiden untuk ketiga kalinya
Pak Jokowi karena itu, harus memiliki pengetahuan, gagasan dan langkah-langkah pemberantasan korupsi dirancang secara tepat. Ini akan ditentukan selamanya oleh kemauan berkelas Pak Jokowi memaknai penghargaan antikorupsi yang disandangnya.
Pak Jokowi tidak perlu memberangus politisi, seperti yang dilakukan Martin di Peru. Juga tidak perlu mengubah Undang-Undang Dasar untuk memungkinkan dirinya maju lagi pada pemilu presiden berikutnya. Itu juga tidak perlu Pak Jokowi. Toh masa jabatan keduanya saja belum dimulai.
Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin produksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan.
Bila Pak Jokowi dapat, tentu berdasarkan data ternalar. Memetakan fenomena korupsi dalam politik pintu berputar, itu akan jadi point paling hebat. Politik pintu berputar, tidak lain selain sebagai cara menciptakan dan melanggengkan klik-klik intitusi.
Wujud politik pintu berputas ini adalah pejabat yang telah pergi dari satu institusi, tetapi atas nama menjaga relasi, semangat institusi, mereka bisa masuk dan keluar institusi itu sesuka hati. Mereka juga mendapat akses, mendapat informasi, bahkan kekebalan. Apa sesudah itu? Korupsi tidak surut.
Mungkinkah semua itu dilakukan Pak Jokowi? Itu soalnya. Respon merangkak terhadap berbagai peristiwa mematikan, mulai dari bencana Lombok, Sulteng, kematian aneh sekitar 700 petugas PPS pemilu. Belakangan bencana Ambon dan kerusuhan mematikan di Wamena Papua, memungkinkan setiap orang memilih untuk tidak berharap. Tetapi siapa tahu. Mungkin ya, mungkin tidak. Sejarah akan bicara pada wakutunya kelek.
Penulias adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Sultan Khairun Ternate