Negara Butuh Dwi Tunggal Latar Belakang Intelijen (Bagian-1)
Oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 bisa dibilang sebagai konstetasi politik terpanas sepanjang sejarah Indonesia era reformasi. Korban yang berjatuhan tidak sedikit. Baik itu korban yang luka-luka, maupun meninggal dunia. Apalagi tragedi di depan kantor pusat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan sekitarnya. Tragedi yang begitu dalam dan membekas di hati. Sangat susah untuk dilupakan.
Faktanya keterbelahan sosial di masyarakat begitu lebar dan mendalam. Keterbelahan yang terasa begitu nyata di masyarakat. Keterbelahan antara kubu cebong yang menjadi pendukung setia pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, melawan kubu kampret yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sampai sekarang keterbelahan sosial itu masih terasa. Meskipun harus diakui bahwa keterbelahan sosial itu situasinya tidak separah ketika Pilpres 2019 berakhir.
Saat tingginya hirup-pikut dan keterbelahan antara kubu cebong dengan kampret itu, sontak publik dikagetkan dengan pertemuan dua tokoh penting negeri di Stasiun MRT Senayan pada 13 Juli 2019. Pertemuan bersejarah antara dua capres yang bebuyutan, Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Pertemuan yang bertujuan mendinginkan ketegangan antara kedua kubu yang terasa semakin naik eskalasinya ketika itu.
Pertemuan yang dikecam para pendukung Prabowo Subianto maupun Joko Widodo. Masing-masing punya pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Apalagi Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan selalu tampil dengan slogan “timbul tenggelam bersama rakyat”. Namun faktanya Prabowo Subianto timbul sendiri bersama dengan kekuasaan. Prabowo menerima tawaran jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Belakangan Sandiaga Uno juga ikut masuk kabinet dengan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sandi Uno menerima jabatan sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lengkap dan sempurna sudah Prabowo dan Sandi Uno meninggalkan para pendukungnya. Kekuasaan itu menggiurkan, gurih dan perlu ada untuk dipertahankan.
Apapun pendapat yang berkembang di masyarakat, namun pertemuan tersebut cukup bermanfaat untuk meredam ketegangan dan tensi yang tinggi ketika itu. Tokoh penting di balik pertemuan Stasion MRT Senayan adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan. Sedangkan dari kubu Prabowo ada Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra yang dikenal dekat dengan kalangan telik sandi.
Pertemuan Stasiun MRT Senayan 13 Juli 2019 itu, sedikit banyak menggambarkan sikap Budi Gunawan, yang biasa disapa dengan sebutan “Bang BG atau Mas BG”. Untuk kepentingan bangsa dan negara, Bang BG punya kesenangan untuk merangkul siapa saja lawan. Merangkul siapa saja yang berbeda pendapat dengan Bang BG. Namun akan tetap menghargai siapa saja yang berseberangan pendapat dengan Bang BG.
Bang BG juga tidak segan-segan mundur satu-dua langkah untuk merangkul dan mengajak bicara lawan berbicara. Juga berdiskusi serta berunding dengan posisi yang setara. Tidak ada yang lebih tinggi. Meskipun lawan bicara sering beda pendapat dengan Bang BG. Perbedaan dalam bentuk diskursus apapun tetap dihargai Bang BG, sepanjang perbedaan itu untuk kepentingan serta keutuhan bangsa.
Bang BG dalam keseharian lebih mengedepankan sikap “ngalah” dalam berbagai hal dan aspek. Toh “ngalah” kan bukan berarti “kalah”. Tidak ada salahnya “ngalah” satu dua langkah untuk mendapatkan kemenangan. “Ngalah untuk kebaikan atau “ngalah” untuk persatuan bangsa dan negara, memang perlu ada pada setiap tokoh bangsa. Tidak berlaku menang atau kalah untuk kebaikan bangsa. Mengikuti filosofi Jawa yang bagus untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu “Sing Waras Ngalah”.
Kemampuan dan kelebihan Bang BG dalam lobby di berbagai hal-ihwal ini, layak untuk disandingkan dengan siapan saja yang berpeluang menjadi Presiden pada Pilpres tahun 2024 nanti. Faktanya beberapa negara bisa bangkit dari keterpurukan, bahkan kembali kuat karena satu di antara pimpinan nasionalnya (Dwi Tunggal) adalah orang yang berlatar-belakang intelijen. Bang BG sudah enam tahun lebih menjabat sebagai Kepala Badan Interlijen Negara (BIN).
Bang BG menjabat sebagai Kepala BIN sejak 9 September 2016. Ketika itu Bang BG yang menggantikan Letjen TNI (Purn.) Sutiyoto, biasa disapa dengan Bang Yos. Sedangkan Bang Yos yang menggantikan Letjen TNI (Purn.) Marciano Norman menjadi Kepala BIN sejak Soesilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden periode kedua.
Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan politik dan ekonomi di tahun 1965, karena Kepala Badan Kordinasi Intellijen Negara (BAKIN) saat itu dijabat sendiri oleh Mayjen Soeharto. Kebetulan Mayjen TNI Soeharto yang ketika itu menjabat Panglima Kosrad langsung memimpin perlawanan kepada PKI. Dampaknya, Mayjen Seoharto berhasil melakukan konsolidasi politik melalui penyederhanaan (fusi) partai politik.
Baru pada 1971 dilakukan pemilihan umum pertama sejak Mayjen Soeharto menjabat Presiden tahun 1967 menggantikan Bung Karno. Pemilu 1971 itu diikuti oleh tiga peserta Pemilu, yaitu dua partai politik, PPP dan PDI, serta satu Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Hasilnya, Soeharto berhasil menjaga stabilitas politik selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Itulah kelebihan pimpinan nasional yang punya latar belakang intelijen (bersambung).