Nggak Perlu Siapin Kuburan Massal
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Sabtu (18/04). Hari minggu lalu, saya ke Surabaya. Via Bandara Soetta-Juanda. Pagi berangkat, malam balik ke Jakarta. Tentu untuk kebutuhan urgent. Lihat sejumlah penumpang pakai baju plastik. Baju khusus covid-19. Kacamata besar layaknya para penyelam di dasar lautan. Plus masker.
Duduk persis di depan saya. Suasana di pesawat terasa horor. Menegangkan. Jangan-jangan, kursi tempat saya duduk dihuni covid-19. Boleh jadi tangan halus pramugari yang ulurkan roti dan aqua juga ada virusnya. Ikutan paranoid.
Kapok saya. Besok kalau ke Surabaya lagi, mau jalan darat saja. Setir sendiri. Supaya covid-19 nggak masuk ke mobil. Di mobil selalu disiapin antiseptik. Dua botol lagi. Kartu tol habis pakai, harus disemprot lagi. Sebagai ikhtiar dan jaga-jaga saja.
Waspada, itu penting. Ikuti aturan pemerintah dan protabnya Satgas. Pakai masker, lakukan social and physical distancing, serta jaga kesehatan. Ini sudah SOP untuk semua.
Jakarta sudah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Begitu juga dengan daerah-daerah di Bodetabek. Meski masih ada kerumunan dan sejumlah pelanggaran terjadi, tapi sudah sangat jauh berkurang. Kendati KRL masih tetap beroperasi. Gubernur DKI, Anies Baswedan sedang merayu Pak Luhut. Menteri di atas menteri itu. Anies minta KRL berhenti operasi. Anies juga mengancam akan mencabut ijin perusahaan yang tak patuh aturan.
Sampai disini, kita perlu apresiasi dan support pemerintah, baik pusat maupun daerah di Jabodetabek. Juga aparat kepolisian yang bertindak sigap dan tegas. Aparat kepolisian keren.
Dengan berlakunya PSBB, apakah jumlah terinveksi dan meninggal akibat covid-19 berkurang? Belum. Trendnya masih naik. Dan akan terus naik untuk beberapa pekan kedepan. Tapi yakinlah, kalau pemerintah disiplin dan masyarakat makin tinggi kesadarannya, covid-19 akan segera berlalu.
Perkiraan ini berlaku untuk Jabodetabek. Bagaimana dengan wilayah lain? Nah, disini ada masalah. Di Surabaya, seperti tak ada apa-apa. Pasar, jalanan dan rumah makan, masih tetap ramai seperti tak ada masalah dengan covid-19. Satu dua orang pakai masker. Tapi, belum nampak serius. Mungkin ini juga terjadi di wilayah lain. Slow.
Padahal, OTG (orang tanpa gejala) jumlahnya lebih banyak. Tak ketahuan siapa mereka. Nggak demam, nggak sesak napas, nggak batuk, dan nggak lemas. Diantara OTG mungkin itu adalah teman, kolega atau sahabat anda. Mungkin orang yang sedang bertransaksi dengan anda. Atau mungkin penyaji makanan di rumah makan, dimana anda sering makan.
Tahu-tahu, rumah sakit penuh. Nggak mampu lagi menampung pasien covid-19. Lalu para sopir ambulan ngeluh, karena setiap hari harus mengantar puluhan janazah. Istri dan anaknya menangis, ketakutan jika suaminya ikut terpapar. Bisa-bisa nggak bawa ambulan lagi, tapi malah dibawa.
Sebelum semua itu terjadi, kenapa tidak semua wilayah menerapkan PSBB? Ini penting sebagai tindakan pencegahan. Jangan nunggu ribuan positif baru menerapkan PSBB. Sudah telat pak.
Kasus Jakarta harus jadi pelajaran. Ketidaksiapan regulasi Pemerintah Pusat membuat Jakarta jadi episenter covid-19. Wilayah lain mau nyusul?
Beberapa daerah sudah ajukan pemohonan ke Kemenkes untuk memberlakukan PSBB. Diantaranya adalah Kabupaten Bolang Mongondow. Sang Bupati, Yasti Soepredjo sudah kirim surat ke Kemenkes. Tapi, ditolak. Kenapa? Silahkan tanya ke Menkes. Saya bukan juru bicaranya.
Publik jadi bertanya-tanya, PSPB merupakan program reaksi, atau antisipasi? Kalau program reaksi, berarti harus menunggu daerah bernasib seperti Jabodetabek dulu. Puluhan orang meninggal dulu setiap hari, baru diterapkan PSBB. Apakah seperti itu? Kalau begitu, butuh berapa puluh atau ratus ribu orang yang dikorbankan untuk mati duluan, baru ada PSBB di daerah itu?
Kesigapan walikota Tegal, Bupati Bolang Mongondow, Gubernur Papua dan sejumlah daerah lain terhadap penyebaran covid-19 perlu jadi pertimbangan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Menkes dan Pak Luhut, sebagai pemegang otoritas laut, udara dan darat. Jangan nunggu ribuan terinveksi dan ratusan yang mati, baru berlakukan PSBB. Lagi-lagi terlambat Pak Menteri.
Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Bukankah ini jargon rumah sakit? Bukankah tagar ini yang selalu dan selalu digaung-gaungkan oleh Kemenkes? Kenapa tidak berlaku untuk program PSBB? Apakah faktor ekonomi yang lagi-lagi menjadi alas an dan petimbangan?
Diberlakukan PSBB sekarang atau tidak, pada akhirnya akan sampai juga pada situasi itu. Hanya soal waktu saja. Pilihannya mau cepat atau terlambat? Mau antisipasi, atau reaksi? Itu saja. Tidak ada plihan yang lain.
Sekaranglah saatnya. Semua wilayah mesti terapkan PSBB. Jika mau dibedakan, buatlah klasternya. Klaster A, B dan C misalnya. Masing-masing klaster berbeda dalam menerapkan PSBB. Klaster A untuk wilayah Jabodetabek. Klaster B untuk wilayah kota provinsi. Klaster C untuk wilayah Kabupaten-Kota.
Apapun itu, segera menyiapkan langkah-langkah pencegahan, jauh lebih baik dan baik, dari pada menyiapkan hektaran tanah untuk kuburan massal. Jangan sampai itu terjadi.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa