OJK Penyidik Tunggal Kejahatan Industri Keuangan Sebagai Solusi Cerdas (Bag-4)

Oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN 

TAHUN 1995 lalu, masyarakat dunia yang berkecimpung di industri keuangan dibuat terperanga. Dibuat terkaget-kaget antara percaya dan tidak. Namun itu kenyataan yang harus diterima. Bank Baring yang merupakan bank perdagangan paling tua di Inggris itu harus mengakhiri segala aktivitasnya di bidang keuangan. Bank Sentral Inggris (The Bank of England) menyatakan collaps, sehingga harus tutup untuk selama-lamanya.

Nick Leeson mendadak menjadi terkenal di komunitas industri finance dunia. Masyarakat industri keuangan berusaha mencari tahu, siapa sebenarnya anak pintar dan cerdas yang bernama Nick Lesson? Tahun 1995 lalu, Nick Leeson masik tergolong anak mudah. Usianya baru 38 tahun. Namun lelaki dengan nama lengkap “Nicholas William Leeson”  ini membangkrutkan Bank Baring yang didirikan oleh sang pemilik Sir Francis Baring tahun 1762.

Nick Leeson lahir tangga 25 Februari 1967, di Inggris. Leeson sangat dipercaya oleh manajemen puncak Bank Baring. Kepercayaan tersebut dibuktikan dengan Nick Leeson bisa melakukan transaksi dalam jumlah yang tidak terbatas di bursa saham Singapura yang dikenal dengan Singapore Internasional Monetary Exchange (SIMEX).  

Leeson dipercaya sebagai trader andalan Bank Baring. Akibatnya kepercayaan itu, bank yang tahun 1995 lalu telah berusia 232 tahun tersebut bangkrut karena harus menanggung kewajiban yang sangat besar U$ 1,4 miliar. Kerugian yang diderita, jauh di atas modal Bank Baring yang hanya sekitar U$ 700 juta. Musibah terjadi karena bank tidak mampu lagi membayar kewajiban trading dilakukan Nick Leeson atas nama Bank Baring.  

Musibah mulai datang menghampiri Bank Baring saat Nick Leeson melakukan transaksi di luar kewenangan yang diberikan manajemen. Sayangnya prilaku aneh Nick Leeson dalam melakukan transaksi ini dibiarkan saja oleh eksekutif Bank Baring. Manajemen malah bangga dan terpengaruh dengan stigma yang diberikan pelaku di Busra Saham London atau London Stock Exchange (LSE) kepada Nick Leeson dengan sebutan wonder bay.  

Berdasarkan riset yang dilakukan Jaka Eko Cahyono, dan ditulis di Majalah STABILITAS, sebagai trader, Leeson bertugas mengambil posisi transaksi untuk akun sendiri (proprietary). Baik itu untuk kontrak opsi maupun kontrak berjangka di SIMEX. Sayangnya, tugas ini tidak dilakukan oleh Leeson. Sebaliknya, Leeson melakukan transaksi di luar kewenangannya. 

Punya stigma sebagai wonder bay, Leeson malah melebarkan aksinya. Dia melakukan transaksi derivatif perorangan. Transaksi derivatif ini dilakukan Nick Leeson sendirian. Tanpa bantuan dari orang lain (single handedly). Leeson juga mengejar keuntungan dari jual-beli aset. Aksi model ini di LSE dikenal dengan turbo arbitrageur

Transaksi derivatif Nick Leeson ini mengingatkan kita pada aksi luar biasa berani yang dilakukan Wakil Direktur Bank Duta Dicky Iskandardinata. Akibatnya Bank Duta kollaps, dan Dicky akhirnya diganjar dengan hukuman 20 tahun penjara. Bedanya aksi derivatif yang dilakukan Dicky Iskandadinata untuk transaksi valuta asing (valas).

Anehnya prilaku Nick Leeson tentang turbo arbitrageur yang single handedly ini sempat mencatatkan setengah laba Bank Baring tahun 1994. Namun belakangan ketahuan kalau laba Bank Baring tahun 1994 itu bodong. Leeson memanipulasi laporan keuangan. Kenyataannya justru terbalik. Leeson menyebabkan Bank Baring rugi U$ 296 juta tahun 1994. Namun Leeson melaporkan untung U$ 46 juta, sehingga sempat diusulkan untuk mendapat bonus sebesar U$ 720.000.

Sepak-terjang Leeson mulia terkuak pada 23 Februari 1995, dua hari menjelang ulang tahunnya yang ke 38. Hari itu Leeson sedang bepergian ke Kualalumpur Malaysia. Pada hari yang sama, auditor Bank Baring menemukan sepak terjang penipuan yang dilakukan Leeson. Hari itu juga Chairman Barings, Peter Barings menerima laporan dari auditor tentang pengakuan Leeson yang penuh dengan tipu-tipu muslihat.

Sayangnya kondisi Bank Baring sudah terlanjur hancur bererantakan. Pepatah orang kampung bilang “nasih sudah menjadi bubur”. The Bank of England yang baru mengetahui kondisi ini, mencoba untuk melakukan bailout terhadap Bank Baring. Namun usaha terakhir The Bank of England tersebut tidak membuahkan hasil., Bank Baring dinyatakan bangkrut (insolvent) pada Minggu tanggal 26 Februari 1995, sehari setelah ulang tahun Nick Leeson.

The Bank of England bergerak menyelamatkan aset Bank Baring yang masih tersisa. Bank Sentral Inggris itu menunjuk administrator untuk mengambil alih Barings Grup dan anak perusahaannya. Setelah dilakukan perhitungan secara cermat dan menyeluruh, ternyata aksi tipu-tipu cerdas Leeson berakibat Bank Baring mengalami kerugian U$ 1,4 miliar. Jumlah yang lebih besar dua kali lipat dari modal Bank Baring ketika itu.

Atas persetujuan The Bank of England, Bank Baring yang sudah berumur 232 tahun tersebut, harus dijual kepada ING Bank dari Belanda dengan harga 1 Golden (GBP). Namun pihak ING Bank akan memikul semua kewajiban kepada pihak lain yang masih melekat pada Bank Baring. Dari transaski penjualan tersebut, terbentuklah ING Baring sebagai anak perusahaan dari ING Bank.  

Kesimpulan yang dibuat The Bank of England dari skandal Leeson angara lain manajemen puncak Bank Baring kurang paham soal transaski bisnis untuk kepentingan sendiri (proprietary). Tidak adanya checks and balance di internal. Manajemen Bank Baring juga malanggar aturan penting dalam bisnis trading. Misalnya, membiarkan Nick Leeson melakukan settlement atas transaksi yang dilakukan sendiri.

Pengawasan terhadap karyawan juga lemah. Tidak ada direktur yang ditugaskan khusus untuk mengawasi strategi transaksi Leeson. Padahal Leeson belum memiliki lisensi untuk melakukan transaksi sebelum ditugaskan ke Singpura. Namun Leeson begitu leluasa melakukan transaksi dalam jumlah tidak terbatas. Akibatnya Leeson banyak melakukan transaksi di luar kewenangannya, seperti pembelian dan penjualan opsi.

The Bank of England juga mencatat kurangnya jalur pengawasan yang ketat. Transaksi illegal Leeson mungkin terfasilitasi oleh kekisruhan adanya dua garis pelaporan. Satu laporan ke London untuk transaski proprietary. Satu laporan lagi ke Tokyo untuk transaksi yang dilakukan atas nama nasabah. Kondisi ini diperparah dengan prosedur kontrol di kantor pusat Bank Baring yang sangat sangat jelek. Fakta membuktikan, ketika menutup kerugian akibat trasaksi illegal yang dibuat Leeson.

Manjemen Bank Baring juga tidak mewajibkan Leeson agar membedakan variasi margin yang dibolehkan untuk menutup posisi sendiri dengan transaksi atas nama nasabah. Juga tidak adanya sistem yang mengkonsilidasi permintaan Leeson dengan posisi yang dilaporkan.  

Bank Baring tidak memberikan batasan transaksi proprietary kepada Leeson untuk menanggung resiko pasar akibat transaksi arbitrase. Padahal transaksi proprietary itu mengandung risiko settlement karena pasar yang berbeda, akan berakibat pada sitem settlement yang berbeda pula. Kondisi ini sangat berpengaruh pada resiko liquidity dan pendanaan.   

Kejahatan rekayasa keuangan luar bisa (extra ordinary crime) yang dilakukan Leeson ini tidak mudah untuk dipahami penyidik yang biasa-biasa saja, seperti penyidik kejaksaan dan kepolisian. Begitu juga dengan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan gabungan penyidik kejakasaan dan kepolisian. Dibutuhkan penyidik yang punya kemampuan luar biasa untuk memahami persoalan. Penyidik yang mengerti seluk-beluk kejahatan keuangan di pasar modal.   

Aksi tipu-tipu Leeson ini tingkat kesulitannya bisa tiga sampai lima dari kejahatan money laundry atau Tindak Pindana Pencucian Uang (TPPU). Sama dan sebangun dengan kejahatan keuangan yang dilakukan di Enron dan WorldCom. Untuk melakukan penegakkan hukum, dibutuhkan sumberdaya manusia penyidik yang luar bisa pula. Penyidik yang mengerti kejahatan laporan keuangan. Memahami kejahatan akuntansi dan kejahatan di pasar modal. 

Keputusan pembuat morma undang-undang (Pemerintah dan DPR) dengan menunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penyidik tunggal untuk kejahatan di industri keuangan merupakan terobosan cerdas dan berkelas. Kewenangan tersebut diberikan melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Bersambung.

371

Related Post