Orde Perubahan Menyambut Indonesia Berkah

Oleh Abdullah Hehamahua | Mantan Penasihat KPK

PRESIDEN 2024 harus adil, baik dalam sikap jiwa, pemikiran, ucapan, tindakan, maupun perilaku. Sebab, pemimpin yang adil merupakan subpilar kedua dari kualitas warga negara, termasuk presiden. 

Presiden 2024 jangan mengulangi kejahatan Jokowi yang suka  bertindak zalim. Bertindak tidak adil, identik dengan zalim. Tidak menepati janji, termasuk kategori zalim. Bermakna, perbuatan zalim adalah tindakan yang tidak adil. 

 Masyarakat menilai, Jokowi suka ‘ngomong’ ke kanan, tapi tindakannya ke kiri. Satu lembar kertas tidak cukup untuk memuat kezalimannya. Sebab, kebohongannya disampaikan ke publik, baik sewaktu kampanye maupun ketika diwawancarai. 

Adil itu, Pancasilais

Adil itu ada yang distributive. Ada pula adil yang substantif. Adil distributif bermakna, setiap warga negara, termasuk presiden, memiliki, minimal 7 hak asasinya. Hal ini sudah dikomunikasikan dalam 15 seri sebelumnya. ASN, karyawan swasta atau buruh berhak dapat gaji atau upah. Itu contoh adil distributif dalam praktik. 

Adil substantif, seseorang mendapat gaji, upah atau penghargaan sesuai dengan jabatan dan kinerjanya. Orang kampungku bilang, “jika bangun subuh, banyak rejekinya. Namun, kalau bangun siang, rejekinya dipatuk ayam.” Hal ini sesuai dengan hakikat sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45. Jadi, adil itu pancasilais.

KPK adalah institusi pertama di Indonesia yang menerapkan sistem kinerja. Diterapkanlah “Key Performance Indicator.” (KPI). Pegawai di Deputi Penindakan misalnya,  harus menangani 4 kasus dalam setahun. Jika 4 kasus berhasil ditangani dalam setahun maka kinerjanya A. “Reward” (penghargaan) yang diperoleh berupa tunjangan kinerja sebesar 10 persen dari gaji pokok. Jika kinerjanya B, dia peroleh 7% dari gaji pokok. Kinerja C, tunjangan yang diperoleh 5%. Naasnya, jika kinerjanya D, tunjangan yang diperoleh nol persen. Maknanya, pegawai terkait tidak memeroleh tunjangan kinerja, baik bulanan maupun tahunan.

Lazimnya, pelanggar kode etik yang mendapat kinerja D. Olehnya, KPK sebelum dipimpin Firli, mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Sebab, setiap insan KPK, baik komisioner maupun pegawai, taat asas. Salah satunya, pegawai akan memeroleh tunjangan kinerja nol persen jika melanggar kode etik. Bahkan, pernah terjadi, seorang pegawai, “take home pay” yang diterima sama besar dengan yang diperoleh direkturnya.

Penyebabnya, pegawai ini memeroleh kinerja A sehingga tunjangan kinerjanya 10 persen dari gaji pokok. Pada waktu yang sama, direkturnya mendapat kinerja C sehingga tunjangan kinerjanya hanya 5%. 

Presiden 2024 jangan meniru kejahatan Jokowi yang mengsakratul-mautkan KPK dengan mengubah undang-undangnya. Dampaknya, KPK mengalami musibah saat ini. Olehnya, salah satu program presiden 2024 dalam masa 100 hari pertama, menerbitkan Perppu yang mengembalikan undang undang KPK sebelumnya.

Adil itu dekat dengan Takwa

Takwa itu bahasa Arab. Orang kampungku bilang,  takwa itu, “melaksanakan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.” Itulah sila pertama Pancasila. Operasionalisasinya dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, UUD 45. Jadi, agar adil, Presiden 2024 harus menerbitkan belasan Peraturan Perundang-undangan guna melaksanakan perintah pasal 29 ayat 2 tersebut. 

Presiden 2024 dalam upaya mencapai visinya, misi dan programnya harus dilaksanakan secara adil. Proporsional dan professional. Sebab, adil itu dekat dengan takwa. Olehnya, doa pemimpin yang adil selalu dikabulkan Allah SWT. 

Presiden 2024 jangan ulangi kejahatan Jokowi yang berlaku tidak adil. Sebab, menteri dan pejabat yang bukan koalisinya didiskriminalisasi. Namun, menteri dan pejabat koalisinya dibiarkan. Harun Masiku, peristiwa KM50, BLBI, Bank Century, reklamasi Tanjung Priok, Meikarta, dan korupsi anak anaknya dibiarkan bebas.

Adil itu, Proporsional, Profesional, dan Tidak Serakah

Presiden 2024 harus senantiasa proporsional dan professional dalam sikap jiwa, pola pikir, ucapan, tindakan dan perilaku sehari-hari. Beliau juga tidak serakah. Sebab, orang kampung biasa bilang, “nafsu kuda, tenaga ayam.” Hal tersebut dilakukan Jokowi. Sebab, Soeharto terkenal KKN. Namun, lebih banyak di sektor bisnis. Di sektor politik, pada periode ketujuh kepresiden (1997), baru Soeharto melantik anaknya menjadi menteri. Itu pun hanya beberapa bulan. Sebab, 1998, Soeharto dipaksa lengser oleh mahasiswa.

Jokowi, baru beberapa tahun jadi presiden, dipaksakan anaknya jadi walikota. Sekarang, Jokowi memaksakan anaknya menjadi cawapres dengan mengubah status Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga. Sifat-sifat ini tidak adil. Tidak proporsional dan prefesional. Sebab, ia lebih mengekspresikan sikap serakah.

Presiden 2024 jangan mengulangi kesalahan Jokowi yang melaksanakan proyek-proyek secara tidak proporsional. Juga tidak professional. LRT Palembang misalnya, perlu utang dari China Development Bank (CDB) sebesar Rp. 105 trilyun. Bunganya, 4,7 persen per tahun. Maknanya, ribanya 470 milyar rupiah setahun. Pengembalian utang pokok per tahun juga sekitar itu. Artinya, setiap tahun pemerintah harus membayar ke CDB sebesar Rp. 940 milyar. Padahal, LRT tersebut bukan suatu kebutuhan yang mendesak. Ia ada bau-bau korupsi di antara presiden dan China.

Tragisnya,  Asisten II Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Sumsel, Dharma Budi, bercurhat. Beliau, dalam pertemuan dengan Komisi V DPR-RI (10 November 2022) mengatakan, biaya operasional LRT Palembang, sebesar Rp. 180 milyar per tahun. Pemasukan hanya Rp. 80 milyar. Olehnya, APBN mengsubsidi Rp. 160 milyar pada tahun 2022. Bahkan, tahun sebelumnya (2021), subsidi dari APBN sebesar Rp. 200 milyar. Ini bukti, Jokowi sangat tidak proporsional dan professional.

Kejahatan Jokowi yang lain adalah pembangunan kereta api cepat Jakarta – Bandung. Proyek ini menelan biaya 105 trilyun rupiah. Biaya tersebut berasal dari utang yang juga dari China melalui CDB. Jokowi dalam kontek ini, memamerkan kebiasaan bohongnya. Sebab, pada awalnya (2015), Jokowi mengatakan, proyek ini tidak menggunakan APBN. Namun, pada tahun 2022, Jokowi mengatakan, perlu talangan APBN. Sebab, dalam Pepres No. 93/2021, Jokowi perlu jaminan dari APBN.

Dampaknya, pembiayaan membengkak menjadi Rp. 114,2 trilyun. Ia diperoleh dari tambahan utang ke China sebesar Rp. 8,5 trilyun. Pemerintah sendiri menyuntik penyertaan modal ke KAI sebesar Rp. 3,2 trilyun.

Jokowi sekali lagi memamerkan ketidak-profesionalannya sewaktu mengikuti telunjuk bosnya,  China. Sebab, masa konsesi yang tadinya 50 tahun, diperpanjang menjadi 80 tahun. Problemnya, jika penumpang keretapi api sebanyak 30.000 orang per hari, maka modal proyek tersebut baru kembali selama 40 tahun. Bagaimana jika jumlah penumpang kurang dari angka tersebut?

Simpulannya, Presiden 2024 jangan meniru Jokowi, khususnya dalam membangun proyek-proyek infrastuktur. Presiden 2024 harus meninjau kembali proyek-proyek manipulative tersebut dan menggantinya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat tanpa berutang. Maknanya, proyek-proyek infra struktur dibangun secara adil, yakni proporsional, professional, dan jauh dari sikap serakah atau KKN. Semoga. (Depok, 30 Oktober 2023)

221

Related Post