Otoritas Fiskal Memperkirakan Arah Kebijakan Moneter: Salah Kaprah, Salah Fatal
Terbukti, perkiraan Menteri Keuangan meleset jauh. Suku bunga acuan BI sejauh ini sudah naik 1,75 persen, dan kemungkinan besar akan naik lagi sekitar 0,5 persen.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
AKHIR Juli 2022 yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba membuat perkiraan arah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Menteri Keuangan memperkirakan suku bunga acuan BI akan naik sekitar 100 basis poin l atau satu persen hingga akhir tahun 2022.
Hal ini tentu saja tidak lazim. Karena, berdasarkan profesionalisme dan undang-undang, ada garis pemisah yang jelas antara tugas dari otoritas fiskal dan otoritas moneter yang independen.
Perkiraan Menteri Keuangan mengenai kenaikan suku bunga acuan ini dapat diartikan sebagai intervensi atas wewenang BI, dan akan menyudutkan BI dalam menentukan arah kebijakan moneter dan suku bunga acuan.
Perkiraan Menteri Keuangan tersebut lebih didominasi pada faktor kondisi fiskal dan neraca perdagangan yang membaik pada tahun ini, akibat kenaikan tajam harga komoditas.
Tetapi, kebijakan moneter dan suku bunga acuan jauh lebih kompleks dari hanya sekedar kondisi fiskal.
Pertama, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari tingkat inflasi. Selain itu, kedua, dan ini yang sangat penting, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari kebijakan Bank Sentral negara lainnya, khususnya Amerika Serikat, The Fed.
Dalam hal ini, BI harus dapat memberi respons yang tepat atas kebijakan moneter The Fed. Kalau The Fed menaikkan suku bunga acuannya, maka BI juga wajib menpertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kalau tidak, BI menghadapi risiko dolar kabur dan kurs rupiah anjlok, karena selisih suku bunga antara Amerika Serikat dan Indonesia menjadi kecil dan tidak menarik bagi investor asing.
Dan, itu yang terjadi saat ini. Selisih suku bunga The Fed dengan suku bunga BI awalnya sekitar 3,5 persen, dan sekarang menjadi hanya 1,25 persen. Tidak heran dolar kabur dan kurs rupiah turun.
Karena kebijakan suku bunga BI juga ditentukan oleh kebijakan suku bunga The Fed, maka BI tidak bisa memperkirakan berapa kenaikan suku bunga acuan dalam 6 bulan ke depan. Karena BI tidak bisa memperkirakan arah kebijakan the Fed, apalagi Menteri Keuangan.
Maka itu, tidak lazim Bank Sentral mengumumkan perkiraan kenaikan suku bunga acuan.
Selain tidak mungkin untuk alasan teknis maupun profesionalisme tersebut, pengumuman seperti ini akan dijadikan arah kebijakan strategis bagi banyak perusahaan, yang kalau tidak tepat maka bisa membawa malapetaka.
Terbukti, perkiraan Menteri Keuangan meleset jauh. Suku bunga acuan BI sejauh ini sudah naik 1,75 persen, dan kemungkinan besar akan naik lagi sekitar 0,5 persen.
Kalau ini terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan BI menjadi dua kali lipat dari perkiraan Menteri Keuangan. Sangat bahaya.
Sebelumnya, seperti dilansir Liputan6.com, Menkeu Sri Mulyani memprediksi Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin atau 1 persen di 2022. Kenaikan bunga acuan dilakukan secara bertahap.
“BI rate kita masih 3,5 persen, kemungkinan akan mengalami kenaikan sekitar 100 basis poin tahun ini sampai akhir tahun,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Berbagai negara di dunia memperkirakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed tahun ini akan kembali menaikkan suku bunga dari yang saat ini sebesar 1,75 persen. Sampai akhir 2022, tingkat suku bunga di AS bisa mencapai 2,75 persen-4,5 persen.
Proyeksi suku bunga seluruh dunia untuk fed fund akan naik dari 1,75 persen mencapai 2,75 persen-4,5 persen.
Selain itu, kondisi US Treasurry tahun ini juga akan mengalami kenaikan 2 kali lipat dari yang saat ini sebesar 2,99 persen. Kenaikannya diperkirakan mencapai 200 bps. Begitu juga dengan Surat Utang Negara (SUN) di Indonesia diperkirakan juga akan mengalami kenaikan.
“SUN 10 tahun juga akan mengalami kenaikan tapi kenaikannya hanya 0,300 bps,” kata Sri Mulyani.
Untuk itu, Sri Mulyani menilai sulit jika BI tetap mempertahankan suku bunga acuan 3,5 persen sampai akhir tahun. Sebab meski kondisi Indonesia relatif stabil, namun kondisi global justru sebaliknya.
“Jadi kalau kita lihat Indonesia bisa mempertahankan level dari interest rate meskipun tentu saja dalam situasi sunia yang sedang berguncang,” kata Sri Mulyani. (*)