Pak Presiden, Sampai Kapan Jakarta Tak Dilockdown?
By Dr. Margarito Kamis
Jakarta FNN – Rabu 25/03). Betul sekali, Presiden telah memiliki sikap soal lockdown. Sikap Presiden itu telah disampaikan ke Pak Jendral Doni Monardo, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan virus Corona. Pak Doni juga telah mengumumkannya. Jelas sudah. Tak ada lockdown dari Presiden.
Pertimbangan sosial budaya, nampak mendominasi sikap Pak Presiden. Pertimbangan sosial budaya tersebut, menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, hanya salah satu pertimbangan. Bukan satu-satunya.
UU ini mempertalikan pertimbangan sosial budaya dalam satu nafas dengan pertimbangan lainnya. Pasal 11 ayat (1) mengatur Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh “Pemerintah Pusat” (tanda petik dari saya) secara cepat, dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumberdaya, dan teknik operasional dengan mempertimbangan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi sosial, dan budaya.
Mungkin saja Pak Presiden tidak tega melihat tetangga atau sanak famili tak bisa saling jumpa pada acara tertentu. Watak guyub yang menjadi ciri bangsa Pancasila ini, mungkin akan terganggu bila lockdown. Tetapi masuk akalkah nalar itu ditengah keadaan sebahaya sekarang ini? Itu soal lain. Sudahlah jangan dipikirkan dulu.
Presiden, memang satu-satunya pejabat di negara ini yang memegang kewenangan menyatakan lockdown. Pejabat lain, siapapun dia, tidak punya kewenangan itu. Apalagi pemerintah daerah. Lebih tidak bisa lagi mereka. Ini masalahnya.
Sayangnya, rakyat itu adanya di daerah, yang dipimping langsung oleh Kepala Daerah. Rakyat di daerah-daerah itu kini terus terkena virus corona ini. Di daerah jumlah orang yang diawasi, orang yang benar-benar terinfeksi, dan yang mati terus bertambah dari hari ke hari.
Mereka yang terinfeksi dan mati, memang belum sampai ribuan. Yang terinfeksi baru 686 orang. Yang mati baru 55 orang (Republika.co.id, 25/3/2020). Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus ini telah terdapat 307 kasus. Sebanyak 29 orang telah meninggal dunia. Jawa Barat 59 kasus, dengan 9 orang meninggal dunia. Banten 47 kasus, dengan 3 orang meningal. Jawa Timur 41 kasus, dengan 1 orang meninggal dunia (Tirto, 24/3/2020).
Jumlah yang mati karena Corona, memang belum sebanyak petugas PPS yang mati dalam pemilu kemarin. Apa pemerintah menuggu ribuan orang mati dulu baru kesampingkan pertimbangan sosial budaya untuk lockdown? Simpan dulu soal itu. Presiden punya nalar juga.
Mungkin Presiden kesampingkan lockdown. Termasuk untuk Jakarta agar demokrasi bisa terus hidup di tengah corona. Mungkin ini cara Presiden hormati hak setiap orang. Mungkin ini juga cara Presiden menumbuhkan tanggung jawab individu rakyat negeri ini. Untuk itu, ya terimalah semua kebijakan ini sebagai konsekuensi presidensial.
Bagaimana nalar Presiden itu? Anehkah? Jangan fokus disitu. Biarkan saja nalar Presiden itu bekerja secara alamiah. Sekali lagi, begitulah sistem presidensial bekerja. Yang harus rakyat lakukan adalah tidak ikut memperparah keadaan kesehatan masyarakat saat ini.
Keadaan kesehatan masyarakat nyata-nyata, faktual di negeri ini benar-benar sangat membahayakan. Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur betul-betul tak bisa disepelekan, apapun alasannya. Itu sebabnya Presiden harus punya sikap jelas dan tegas. Orang harus dipaksa secara official oleh negara. Dipaksa dengan keras untuk terus berada di rumah.
Tidak ada orang di dunia ini yang mau berada di rumah saja sepanjang hari. Sepanjang hari dalam seminggu, apalagi dalam sebulan. Tetapi keadaan menuntut adanya kenyataan itu. Lalu mau apa? Hak asasi? Nanti dulu. Itu urusan nomor sekian.
Lambat dan tidak fokus sejak dari awal, mengakibatkan Italia, Perancis dan Iran babak belur. Australia, Yordania, dan Amerika lain. Negara yang disebut terakhir sangat responsif. Mereka disiplinkan rakyatnya dengan cara yang keras. Yordania berlakukan jam malam. Amerika malah kerahkan National Guard.
Sengawur-ngawurnya orang kita, terlihat cukup disiplin. Mereka nyata-nyata sami’na wata’na pada imbauan pemerintah dan pemerintah daerah serta dokter. Imbauan tangguhkan sementara Sholat Jumat, tunda acara keagamaan lain, Nyepi tak dirayakan, dan Isra Mi’raj juga. Semuanya dipatuhi ko. Masih juga dibilang tak disiplin?
Ini hidup bernegara, hidup dengan aturan. Suku terasing yang hidup dihutan-hutan saja punya aturan. Apalagi bernegara. Dalam bernegara, pemerintah memikul kewajiban dan tanggung jawab urusi rakyat. Mengapa begitu? Supaya orang-orang yang yang kepala batu, yang cuek-bebek, yang serius, yang memiliki sensitifitas sosial tinggi, yang berkecukupan dan yang pas-pasan bisa hidup berdampingan secara bermartabat.
Itu satu di antara beberapa alasan negara ini diciptakan. Itu alasan pemerintah dijadikan satu-satunya organ mengurus rakyat. Hakikat mengurus rakyat itu menyejahterakan, menghadirkan rasa lega, rasa aman dalam semua aspek. Bukan membiarkan rakyat tercekam ketakutan tidak makan, terjangkit firus apa tidak, bagaimana menghadapi virus dan sejenisnya.
Rakyat tak punya hak dan kewajiban menyelenggaran tindakan pemerintah. Kalau rakyat lakukan itu, maka dipastikan ada masalah besar dalam negara itu. Mengapa? Berlaku hukum rimba. Yang besar, yang berkecukupan, yang kuat akan menelan dan menindas yang lemah, yang pas-pasan. Sesinting apapun orang, tidak ada yang mau cara itu terjadi.
Bagus, walau terlambat, setelah orang terinfeksi bergelimpangan, dan mati, kini pemerintah bergerak. Entah cepat atau gagap, pemerintah beli obat. Juga beli Alat Perlindungan Diri (APD). Sebagian telah disistribusikan ke daerah. Masker, entah apa jenisnya, juga bakal disediakan dalam jumlah jutaan.
Mudah-mudahan cukup, dan cepat sampai ke semua daerah, sehingga bapak-bapak dan Ibu-ibu dokter, serta bapak-bapak dan ibu-ibu petugas kesehatan, termasuk bapak dan ibu-ibu cleaning service tidak menjadi sasaran terjangan virus yang tak kenal ampun ini. Mereka semua yang difrontline. Harus dipastikan tak terlilit kecemasan akibat kekurangan APBD. Harus begitu.
Keluhan dari Kepala Dinas Kesehatan Lampung bahwa mereka cuma dapat 20 APD (Republika, co.id. 24/2020), semoga tidak bisa terjadi lagipada daerah lain. Semoga, amin dan amin. Sebab jumlah 20 APD mau dipakai untuk berapa hari? Memangnya APD itu dipakai sepanjang hari, berminggu-minggu?
Wajar kalau Pak Jendral Doni heran masih ada RS yang belum terima APD. Padahal APD sudah didistribusikan, (JPNN, 24/3/2020). Ini soal memang, dan harus dapat diatasi secepat mungkin. Bagaimana Pemda bersikap dan bertindak lebih jauh?
Pakai saja anggaran daerah yang tersedia di APBD, khususnya anggaran di Pos Tak Terduga. Pakai saja itu. Kalau tak cukup, segera bicara dengan DPRD lalu ambil keputusan. Pembicaraan dengan DPRD harus dituangkan ke dalam satu berita acara. Taati arahan dari Mendagri. Beli dan siapkan semua yang perlu untuk mengurusi rakyat. Lakukanlah itu wahai para Pemda.
Lakukanlah tindakan disinfeksi, dekontaminasi secara klinis. Bagi yang belum lakukan rapid test. Segera lakukan secepatnya. Yang belum lakukan infektan. Juga segera lakukan. Lakukan sesuai prosedur yang tersedia. Jangan tunggu arahan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat lagi banyak urusan.
Masalahnya beli dimana? Apa pemerintah Pusat bisa bantu beli? Apakah barang-barang itu, entah apa namanya, baju dan celana, kacamata atau apalah namanya itu, diproduksi di dalam negeri? Kalau tidak, bagaimana protokol kerjasama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah untuk masalah ini? Entahlah. Sejauh ini tak ada berita itu di media.
Pemerintah Pusat lagi urus realisasi relaksasi kredit-kredit miliyaran, ratuan juta, sampai yang kecil-kecil. Mereka sedang pastikan realisasi relaksasi kredit Ojol. Mereka juga sedang atur skemma menambah uang untuk kelompok orang miskin. Alakadarnya. Bagaiman skema transfe dan sampai ke tangan orang miskin? Itu soal lain. Itu perkara rumit tersendiri. Jangan tanya itu dulu.
Kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dalam kenyataannya semakin hari semakin melemah. Ini masalah juga. Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Tetapi urusan-urusan itu, jelas tak bisa disepelekan. Untuk sejumlah alasan historis, penurunan nilai tukar selalu memaatikan kalau pemerintah-pemerintah yang tak punya kapsitas.
Yang tidak bisa Pemda lakukan adalah Lockdown. Ini kewenangan Presiden. Tidak didelegasikan. Jangan ngaco, jangan ngawur. Rencana Gubernur Enembe utk lockdown Papua itu sangat Bagus. Tetapi apa pertimbangan teknis kesehatannya? Maaf Pak Gubernur Enembe, anda tak punya kewenangan itu. Ini kewenangan mutlak Pak Presiden.
Sudahlah lupakan dulu soal-soal itu. Sekarang mari pikirkan sampai kapan Jakarta tak lockdown? Toh lockdown tidak harus dilakukan di seluruh Indonesia. Lockdown juga tak harus sewilayah provinsi, kabupaten atau kota. Secara hukum lockdown bisa dilakukan secara parsial. Bisa seprovinsi, sekota, dan sekabupaten. Bahkan bisa satu kecamatan saja atau satu kelurahan atau beberapa kampung saja.
Apa Jakarta yang menjadi episentrum virus laknat ini masih bisa dianggap tak membahayakan kesehatan masyarakat? Tak memenhi persyaratan teknis menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 untuk Lockdown? Apa iya?
Jangan entengkan situasi ini. Jangan salah hitung dan timbang. Jangan telat mikir, apalagi takabbur dan sombong. Apa pemerintah punya peta sebaran, dan derajat bahayanya? Tidak cukupkah kenyataan sejauh ini dipertimbangkan untuk mengakhiri kebijakan sekarang. Menggantikannya dengan Lockdown Jakarta saja dulu?
Kepastian keamanan kesehatan masyarakat macam apa yang hendak dikirimkan Pemerintah Pusat? Bukan Pemda ke masyarakat Jakarta, semuanya, ditengah corona yang terus mengganas ini? Anies telah habis-habisan sejauh ini. Anies tidak punya kuasa untuk lockdown. Ini kewenangan Presiden.
Akhirnya sembari berada ditengah ketidakpastian ini, mari tetap tinggal dirumah. Jangan keluyuran, jangan bandel, jangan keras kepala, jangan pakai otak alakadarnya. Ini virus bukan main berbahaya. Bayangkan saja, perlakuan terhadap jenazah akibat terjangkit virus ini beda. Masa Allaah. Subhanallah. Mengerikan sekali.
Disiplin, disiplin, disiplin dan disiplin tinggal dirumah dan jaga jarak fisik antar sesama. Ikhtiar tanpa reserve. Rajin cuci tangan, sampai pemerintah dapat beri kepastian tentang cara jitu menangani corona laknat ini.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate