Pancasila dan Negara Tuna Susila
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI
PANCASILA tak lagi memiliki kesaktian. Falsafah bangsa yang anggun itu, lunglai menghadapi keganasan taring kapitalisme dan komunisme. Negara pun terlanjur menjadi inkubator politik mengeliminasi agama, ahlak dan moralitas. Distorsi dan destruktif semua itu, demi syahwat uang dan libido kekuasaan para pemangku kepentingan publik, juga oligarki.
Istilah tuna susila biasa disematkan pada profesi yang menjual kehormatan dan harga diri. Pada seseorang misalnya yang menimpa perempuan, disebut Wanita Tuna Susila (WTS) karena menjajakan tubuhnya untuk dinikmati seseorang dengan imbalan uang atau fasilitas tertentu, tanpa menghadirkan kemurnian cinta dan kasih sayang.
Entah karena semata-mata kebutuhan ekonomi, atau bisa juga demi merengkuh kenikmatan seksual dan bahkan mungkin percampuran keduanya. Materi ok, kegiatan yang sering disebut-sebut salah satu kenikmatan surga dunia itu juga ok. Ada kebutuhan memenuhi kepuasan lahir batin, dari kegiatan hubungan intim ilegal itu. Dari situ mulai suka dan menjadi kesenangan, terbiasa hingga menjadi kebutuhan dan pekerjaan rutin.
Dalam perspektif politik, menarik membahas Indonesia dari aspek Pancasila sebagai sebuah dasar negara dan falsafah bangsa dengan fenomena tuna susila kehidupan rakyat dan pemimpinnya. Dalam tinjauan peradaban manusia dan tata kelola pemerintahan sejauh ini, NKRI terus mengalami degradasi tajam menyoal ideologi, agama, etika dan moral.
Liberalisasi dan sekulerisasi telah menjadi budaya dan agama baru. Banyak orang telah men-Tuhankan dirinya, tidak sedikit orang yang men-Tuhankan sesamanya. Semua orang merasa dirinya yang terbaik, harus dihormati dan harus dilayani. Pada saat tertentu, secara individu maupun berkelompok memaksakan kehendaknya, bertindak menjadi penguasa yang telah menjadi hukum yang harus dipatuhi siapapun.
Seakan-akan merasa penguasa paling kuat, unggul, dan berintegritas. Merasa negara dan dunia ini miliknya, apa yang ada di dalamnya semua dalam genggamannya. Hanya kepada dirinya dan kelompoknya semua orang harus tunduk dan taat. Politik kekuasaan bak Firaun modern, menganggap diri dan kelompoknya penguasa abadi. Rezim pemerintahan bukan hanya sekedar dzolim, lebih dari itu terbuka menentang Tuhan. Wajah dan perilakunya bak monster berwujud manusia. Membunuh lahir batin rakyat, menyingkirkan siapapun yang menghalangi ambisinya. Gelap mata memuaskan syahwat kekuasaannya, mengambil yang bukan haknya dan di sana-sini menimbulkan penderitaan rakyat.
Dalam kenestapaan yang dalam dan panjang, negara menjadi rapuh tatkala tak memiliki pondasi negara kebangsaan yang kuat. Pancasila, UUD 1945 dan spirit NKRI terasa semu dan penuh halusinasi. Negara tak ubahnya organisasi yang menjadi alat kepentingan materialisme elit politik dan kekuasaan. Pemerintahan tanpa malu dan agresif mewujud kolonialis dan imperialis bagi rakyatnya sendiri. Watak kekuasaan pemegang kedaulatan dan mandat rakyat, menjadi raja kecil lokal yang melayani raja besar asing. Sementara rakyat pribumi terus dihisap, dirampas hak hidup layaknya sembari menyaksikan pemimpinnya lebih loyal melayani dan memuaskan bangsa asing.
Pancasila tak lebih dari sekedar pepesan kosong, UUD 1945 cuma menjadi siasat dan NKRI dibiarkan terus menjadi wadah tumbuh dan berkembang-biaknya nekolim. Seperti ayam dan telur, mana yang lebih dulu ada?, mana yang lebih dulu memulai?. Begitupun antara pemimpin dan rakyatnya, siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggungjawab?. Pemimpin yang khianat dan mudharat terhadap amanat penderitaan rakyat?. Atau semua bermuasal dari rakyat yang salah memilih dan melahirkan pemimpin?.
Pejabat dan pemimpin tanpa karakter, kinerja dan prestasi yang justru menjadi sebab kesengsaraan rakyat juga membahayakan negara bangsa. Seiring itu rakyatnya juga begitu naif, memelihara kebodohan dan kemiskinan hingga menjual kehormatan dan harga diri. Demokrasi dan konstitusi dijual murah dengan seonggok sembako dan serpihan recehan. Begitu antusias dan penuh euforia menerima dan menukar suaranya hanya dengan 50 ribu atau 100 ribu. Masa depan rakyat, negara dan bangsa terlalu gampang dikelabui dan digusur oleh bujuk-rayu citra diri pemimpin yang penuh kepalsuan dan kebohongan. Senang sehari saat pesta demokrasi, menderita begitu lama hingga dekade jalan kepemimpinan yang sesat.
Indonesia, kini di bibir kehancuran krusial dan sistemik. Negara dengan nilai-nilai adiluhung yang berserak pada akar budaya leluhurnya dan kekayaan akan berlimpah, perlahan menjelma menjadi negeri sampah dunia. Pemimpin dan rakyatnya berjarak, nilai-nilai agama, etika dan moral tercerabut dari proses penyelenggaraan negara. Pemerintahannya busuk, rakyatnya terlanjur mabuk. Korup dan glamour telah menjadi gaya hidup, egoisme didorong menjadi cara bertahan hidup yang efisien dan efektif. Pemimpinnya bejad lebih mengutamakan bangsa asing, rakyatnya sendiri melarat, sekarat, mengumpat dan sekarat.
Indonesia pasrah menjadi tanah air mata, Indonesia terpaksa menjadi tanah darah dan Indonesia Legowo menjadi tanah derita. Segelintir orang dan sekelompok minoritas bahagia sejahtera, rakyat mayoritas tertindas dan harus terpapas. Pada waktunya rakyat yang lapar dan teraniaya akan beringas mungkin lebih dari binatang buas. Mencari jalan sendiri, tak puas pada Pancasila yang bisu, ambigu dan ragu menghidupi republik ini. Bukan hanya kekayaan alam dan hidup layak yang terbuang dari rakyat. Rakyat seperti kehilangan segalanya, tak punya daya sosial, tak punya daya politik, tak punya daya hukum dan pertahanan keamanan. Rakyat tak punya apa-apa lagi di negeri yang gemah ripah loh jinawi yang kemerdekaannya harus ditebus dengan darah dan jiwa. Ya, sia-sia nilai-nilai Pancasila yang tersingkir dan dicampakan di negara tuna susila.
Perubahan adalah kesadaran, perubahan adalah pemahaman, perubahan adalah kemauan dan perubahan adalah keharusan. (*)