Partai Demokrat Perjuangan, Mungkinkah?
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI, Ketua Umum BroNies
Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY telah mendapat pelajaran berharga dan bisa mengambil hikmah bagaimana menghadapi transisi kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain.
Megawati Soekarno Putri pernah berseteru dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai gelaran pilpres 2004. Hubungan dingin kedua pemimpin partai politik besar itu, masih terasa setelah hampir memasuki waktu 20 tahun, hingga menjelang pilpres 2024.
Siklus sejarah seperti terus berulang. Jauh masa sebelum itu, presiden pertama dan kedua RI, juga memiliki friksi yang akhirnya cenderung menjadi pertentangan abadi. Konflik yang bernuansa politik dan ideologi, bahkan tak terukur sampai kapan terus melewati zaman ke zaman dan generasi ke generasi.
Pertikaian faham Soekarno Soeharto menjelang dan sesudah transisi pemerintahan era 1965, seperti mewarisi dendam sejarah yang Tak berkesudahan hingga kini. Soeharto harus menghadapi Megawati yang memiki hubungan darah, gen politik dan kepemimpinan dari Soekarno yang tersingkirkan olehnya.
Publik mengingatnya dengan peristiwa 27 Juli 1996 (kudatuli) yang menjadi tonggak perjuangan dan karir politik Megawati, sekaligus mengakhiri kekuasaan Soeharto. Posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDI, berusaha dikudeta oleh Soeharto melalui Soeryadi yang menjadi kaki tangan rezim kekuasaannya. Langkah Soeharto saat itu blunder, justru malah membesarkan Megawati sekaligus menjadi benih untuk menjatuhkannya. Momen fenomenal yang salah satunya ikut menjadi cikal bakal orde Reformasi.
Terlepas dari polarisasi Orde Baru dan Orde Lama yang terus melegenda. Ada kecenderungan muncul skenario peristiwa yang resep dan olahannya masih sama dengan peristiwa 1996, terkait akuisisi partai politik dan motifnya dengan suksesi kepemimpinan nasional.
Menjelang pilpres 2024, SBY yang pada tahun 2004 berhasil menghentikan langkah Megawati menjadi presiden 2 periode. SBY kini harus menyaksikan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikan dan pernah dipimpinnya. Terancam dibegal syahwat politik.
Memang bukan oleh Megawati, melainkan oleh Moeldoko, yang mengancam posisi Ketua Umum AHY dan keberlangsungan partai Demokrat.
Namun manuver Moeldoko sebagai kepala KSP yang menjadi anak buah presiden dalam pemerintahan Jokowi, tak bisa lepas dari pengaruh dan kekuasaan Megawati. Selain sebagai Ketua Umum PDIP dan partai pemenang pemilu, bos Moeldoko yaitu Jokowi merupakan petugas partai yang dipimpin Megawati.
Memori kolektif bangsa Indonesia menangkap ada jiwa kenegarawanan, dus aroma kekecewaan dan sakit hati Megawati terhadap SBY yang ditumpahkan ke AHY menggunakan tangan Jokowi dan Moeldoko. Dalam drama action partai Demokrat, rakyat akan menunggu keputusan Megawati, memilih menjadi begawan atau menjadi penguasa yang menidas sebagaimana ia pernah menjadi korbannya.
Bisa saja ini menjadi pengulangan sejarah yang menyelimuti setiap pergantian kekuasaan setiap rezim di republik ini.
Pada Megawati dulu, iya mengalami penindasan sekarang telah menjadi penguasa, meski bukan presiden namun menjadi figur yang memegang peran penting dan utama.
Sementara SBY juga pernah berkuasa karena memenangkan kontestasi pilpres saat berhadapan dengan Megawati. Kini putranya AHY, harus berjuang menghadapi dugaan konspirasi Jokowi dan Moeldoko yang beririsan dengan Megawati.
Akankah Moeldoko, Jokowi dan Megawati melakukan blunder politik seperti Soeharto pada Megawati?.
Apa iya, Megawati harus seperti Jeruk makan Jeruk?. Ataukah memang ini sudah menjadi suratan takdir bagi SBY khususnya AHY melalui Megawati?. Rasanya sekelas SBY seorang mantan presiden yang berasal dari TNI, tak akan diam saat partai Demokrat besutannya diobok-obok Moeldoko dan merampoknya menggunakan MA yang menjadi alat kekuasaan.
Mungkinkah akan lahir Partai Demokrat Perjuangan (PDP) mengikuti PDIP?, sebagai penegasan sejarah selalu berulang dan perubahan akan selalu tampil sebagai pemenangnya.
Entahlah, tapi yang jelas baik SBY maupun Megawati tak seperti Jokowi.
*) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 5 Juni 2023/16 Dzulqa'dah 1444 H.