PCR di Negeri Peng Peng
Oleh Ady Amar *)
Jika mendengar atau membaca berita perihal PCR, maka di pikiran rakyat muncul ilustrasi berbagai macam penilaian. Ada yang kalem mengilustrasikan dengan ketidakterbukaan pemerintah mengenai harga dasar PCR itu sendiri, atau proyek yang lebih diserahkan pada swasta tertentu.
Sedang yang ekstrem mengilustrasikan dengan proyek akal-akalan yang "direstui" penguasa dalam menghisap darah rakyat yang tengah sekarat.
Ilustrasi bisa muncul bermacam-macam dari PCR itu sendiri. Itu sah-sah saja, dan itu tanda rakyat sadar bahwa ada yang tidak beres yang kasat mata dimainkan lewat kebijakan yang terus berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan itu sejak lebih kurang 1,5 tahun lalu. Tidak perlu waktu lama, cukup 2-3 hari saja kebijakan bisa berubah dengan diubah secara ekstrem. Menyangkut perbedaan angka-angka nominal yang tidak kecil.
Bukan rahasia umum, bahwa proyek PCR itu dikendalikan oleh peng peng (penguasa pengusaha). Majalah Tempo memberitakan dengan terang benderang, ada bisnis peng peng di sana. Maka bisa disebut setidaknya 3 Menteri aktif yang biasa ditunjuk Presiden Jokowi untuk mengendalikan pandemi Covid-19, bahkan disinyalir pula ada mantan menteri, dan konglomerat tertentu. Mereka itu bisa disebut dengan peng peng. Sengaja nama-nama mereka tidaklah perlu dimunculkan di sini, tapi akal sehat publik pastilah dengan sangat mudah bisa menangkap siapa yang dimaksud dari mereka itu.
Bisnis model peng peng ini tentulah menggiurkan bagi pejabat dan pengusaha, yang pastinya menanggalkan moral. Sebuah kebijakan bisnis dengan keuntungan trilyunan yang mencekik rakyat yang tengah kesulitan hidup di masa pandemi. Inilah model bisnis paling buruk di muka bumi.
Dari sisi penguasa menetapkan kebijakan semaunya, dan dari sisi pengusaha menetapkan harga semaunya dan seterusnya. Kebijakan dibuat wajib, atau kata lain dari memaksa, dengan dalih dibuat seolah untuk melindungi rakyat tertular Covid-19. Maka penggunaan PCR untuk moda transportasi udara khususnya menjadi keharusan. Maka harga PCR telah ditentukan dan jadi kebijakan persyaratan perjalanan. Rakyat dibuat tidak berkutik dan menerima saja, jika tidak ingin makin sulit bisa bergerak mengais rezeki.
Konsekuensi dari kebijakan dibuat mengikat, dijaga dan diamankan dari atas sampai ke tingkat operasional di bawah. Itu agar "aman", pengusaha bisa berselancar semaunya-sesukanya di atas penderitaan rakyat.
Upaya segelintir pejabat rakus setingkat Menteri, konglomerat busuk, yang memang tampak digdaya tanpa bisa disentuh hukum, seolah terus dipertontonkan. Belakangan rakyat mulai merasakan ketidakberesan kebijakan PCR yang mencekik, yang lalu menimbulkan teriakan kesakitan akan cekikan itu, sebagai bentuk protes, agar cekikan itu tidak diteruskan.
Agar teriakan itu tidak sampai bisa menjadi kekuatan dahsyat menghantam jantung kekuasaan, maka Presiden Jokowi dengan memaksa agar tarif PCR diturunkan menjadi Rp 300.000,-. Lho kok bisa harga itu jadi turun drastis, dari sebelumnya sekitar Rp 1 juta. Sigap betul Pak Jokowi itu, yang mampu melihat cekikan pada rakyat yang jika tidak dihentikan bisa meledak jadi kekuatan tersendiri. Itu tidak diinginkannya.
Presiden Jokowi mestinya tahu betul, bahwa ada hal tidak beres dimainkan pembantu-pembantunya, yang membuat kebijakan menyengsarakan rakyat. Kebijakan yang jauh dari janji-janji Jokowi saat kampanye yang esensinya tentang kesejahteraan, yang saat ini justru ditelikung anak buahnya sendiri. Kita lihat saja, apakah istana akan evaluasi atas kebijakan itu atau tidak. Evaluasi atas bisnis peng peng yang menyengsarakan rakyat, mestinya muncul mengoreksi dan sampai mencopot para pembantu yang khianat pada jabatan yang diemban.
Pertanyaan lanjutan bisa dimunculkan di sini. Ke mana lembaga anti rasuah KPK melihat adanya bisnis peng peng, yang memunculkan nama-nama pejabat setingkat menteri. Temuan Tempo mestinya bisa jadi pintu masuk untuk membongkarnya. Tapi sepertinya "gerak" KPK tidak bisa menyentuh sampai pada para pembesar negeri yang berselancar dari balik punggung Presiden. KPK hanya bisa menyentuh mereka yang ada di sisi Presiden, tapi tidak mereka yang ada di balik punggungnya. Tampak-tampaknya sih memang demikian. (*)
*) Kolumnis