Pejabat Publik Harus Siap Menghadapi Public Scrutiny dan Public Oversight serta Hindari Conflict of Interest
Oleh Chris Komari - Aktivis Demokrasi, Aktivis Forum Tanah Air
SEMUA pejabat publik harus siap menghadapi public scrutiny dan public oversight (pengawasan publik). Mereka yang tidak tahan terhadap pengawasan publik (public oversight and public scrutiny) jangan pernah mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Mental inferiority complex wartawan harus dihilangkan.
Apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung (RG) terhadap Presiden Jokowi pada acara Seminar dan Konsolidasi Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) adalah bagian dari "public scrutiny dan public oversight" dari seorang akademisi dan anggota masyarakat terhadap hasil kerja dan kebijakan seorang Presiden.
Tidak ada hubungannya dengan akhlak atau fitnah. Karena Presiden adalah jabatan publik yang diberi mandat oleh rakyat, diberi gaji dengan uang rakyat, diberi biaya operasional dari uang rakyat, diberikan fasilitas, kehormatan dan penghormatan dengan mengunakan uang rakyat.
Jabatan publik adalah semua jabatan yang ada karena mandat dari rakyat, yang diciptakan baik secara langsung lewat Pemilu, maupun lewat penunjukan (appointment dan proxy) sebagai extension dari kedaulatan rakyat.
A). Siapa saja yang termasuk pejabat publik?
Semua pejabat negara yang menerima gaji dari uang rakyat, menggunakan dana yang rakyat, fasilitas kehormatan dan penghormatan dari yang rakyat, dimana jabatan itu ada sebagai hasil mandat dari kedaulatan rakyat baik secara langsung lewat Pemilu, atau melalui proses penunjukan dan seleksi (appointment, selection and proxy), sebagai extension dari kedaulatan rakyat adalah pejabat publik. Dalam demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.
Semua pejabat negara yang bekerja di jajaran lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, Gubernur, Wali Kota, Bupati, anggota MPR, DPR, DPD, DPRD, hakim MK, MA, KY dan cabang-cabangnya termasuk pejabat BUMN, KPK, TNI, POLRI, dan lainnya adalah pejabat publik.
B). Hadapi public oversight dan hindari conflict of interset
Pejabat publik harus tahu diri, harus siap menghadapi pengawasan publik dan harus menghindari conflict of interest. Sebagai pejabat publik, mereka semua adalah terbuka untuk diawasi oleh publik.
Mereka bisa menjadi pejabat negara adalah karena:
1). Diberi mandat oleh rakyat.
2). Diberi gaji dengan uang rakyat.
3). Diberi fasilitas dari uang rakyat.
4). Diberi kehormatan dari uang rakyat.
5). Diberi penghormatan dari uang rakyat.
Karena itu, pejabat publik harus siap menghadapi (public scrutiny) pengawasan dari publik. Jangan enak-enak mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi pejabat publik, diberi gaji, fasilitas, biaya operasional, penghormatan dan kehormatan dari uang rakyat, tetapi tidak bersedia menghadapi pengawasan, kritik, hujatan dan makian dari rakyat yang memberi mandat dan memberi gaji. Itu namanya mau menangnya sendiri, sak enak udele dewe.
Dalam demokrasi itu sangat sederhana dan sudah memberikan way out (solusi).
Bagi yang tidak siap dan tidak tahan menghadapi pengawasan publik (public scrutiny) termasuk hujatan, hinaan, bullyian, kritik dan makian, jangan pernah mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Cari pekerjaan lain yang tidak melibatkan gaji dari uang rakyat.
Kedua, pejabat publik harus tahu diri, punya rasa malu terhadap rakyat dan menghindari conflict of interest. Karena itu lucu, ada pengusaha besar yang memiliki banyak perusahaan dijadikan Menteri Maritim dan Investasi. Itu namanya conflict of interest.
DPR mestinya menolak Presiden mengangkat seorang Menteri yang memiliki conflict of interest dengan jabatannya. Minta Presiden untuk mengangkat orang lain. Karena itu lucu, ada seorang pengusaha besar yang memiliki banyak perusahaan, kakeknya punya banyak perusahaan, dijadikan Menteri BUMN. Itu namanya conflict of interest.
Seharusnya Presiden tahu diri dan DPR juga harus menolak dan menegur Presiden untuk tidak mengangkat orang-orang di jabatan Menteri Kabinet dan BUMN yang memiliki conflict of interest.
Apalagi itu para jenderal purnawirawan TNI yang mendapat jabatan di eksekutif, tetapi petentang-petenteng merasa hebat dan sok berkuasa karena mantan tentara.
Menjadi tentara juga digaji dengan uang rakyat. Mendapat jabatan di eksekutif adalah juga karena mandat dari rakyat lewat penunjukan (appointment, selection dan proxy).
Para jenderal purnawirawan TNI yang masih mencari gaji dari "uang rakyat" harus punya rasa malu terhadap rakyat dan kedaulatan rakyat.
Di negara maju seperti di Amerika Serikat (AS), seorang Menhan dan seorang Joint Chiefs of Staff, Jenderal bintang 4 pun masih punya rasa malu terhadap rakyat, karena mereka menyadari dan memahami menjadi tentara itu pun mendapatkan gaji tiap bulan dari uang rakyat.
Jangan sok berkuasa dan sok hebat menjadi pensiunan jenderal TNI dan masih menerima gaji dari uang rakyat.
C). Free Media, Free Press, dan Freedom of the Press
Freedom of the press itu bukan barang gratisan. It's not free and it's not for sale. Perjuanganya terlalu berat dan memakan waktu yang lama. USA saja untuk mendapatkan freedom of the press memerlukan waktu selama 57 tahun.
Mulai dari kasus media censorship pertama yang masuk di Pengadilan antara media USA, the Editor of New York Weekly Journal (John Peter Zenger), melawan pemerintahan British Governor yang menjajah USA waktu itu, Gubernur William Cosby tahun 1734.
Hingga diadopsi dan dikukuhkannya Freedom of the Press dalam U.S Constitution, lewat the first amandement in 1791.
Ingat dan hormatilah perjuangan para aktivis Freedom of the Press tempo dulu yang kalian nikmati sekarang.
Seperti John Trenchard dan Thomas Gordon, yang menulis esai selama 3 tahun dari tahun 1720 hingga 1723, yang dikenal dengan Pseudonym Cato's Letters yang berisi kritikan terhadap tirani dan korupsi pemerintah Inggris.
Cato's letters kemudian banyak dijadikan referensi oleh para aktivis Freedom of The Press di United States of America (USA) di masa perjuangan dan PRE-INDEPENDENT sebelum Amerika Serikat (AS) menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1776.
Perjuangan mereka sangat panjang dan sulit sekali karena melawan penjajahan pemerintah Inggris. Karena itu, jangan menjual murah idealisme Freedom of the Press yang kalian nikmati di tanah air Indonesia itu, dengan uang recehan.
Free media adalah the 4th branch of government di dalam sistem demokrasi. Jadi secara hukum dan demokrasi, seorang wartawan itu memiliki kekuasaan, kekuasaan dan kedaulatan setara dengan para pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Karena itulah seorang journalist itu "egaliter" (equal/sejajar) dengan pejabat negara, karena keberadaan dan kekuasaan journalist itu dilindungi oleh UU dan dijamin oleh prinsip demokrasi nomer 5. Masak wartawan mau bertanya kepada pejabat negara harus minta izin? Mental inferiority complex wartawan harus dihilangkan.
https://www.google.com/amp/s/www.history.com/.amp/topics/united-states-constitution/freedom-of-the-press
D). Freedom of The Press vs UU ITE
https://netivist.org/debate/public-scrutiny-open-government
Apakah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) itu berlaku terhadap anggota Legislative (MPR, DPR & DPD) yang menjalankan tugas dan tanggung-jawab sebagai wakil rakyat?
Apakah UU ITE itu berlaku bagi wartawan yang menjalankan tugas dan tanggung-jawab jurnalistik dalam memberikan edukasi publik, kritik publik lewat investigative journalism dan public scrutiny terhadap wrong doings?
The government exists to serve the people, the people exist do not serve the government. (Pemerintahan itu ada untuk melayani rakyat, dan rakyat itu ada "bukan" untuk melayani pemerintah)
Democracy is a government based on the rule of law, and not based on the rule of man. (Demokrasi itu sistem pemerintahan berdasarkan kepada aturan hukum, dan bukan berdasarkan kepada aturan manusia).
E). Kedaulatan Rakyat dan Hak Rakyat
Kedaulatan rakyat (sovereignty of the people) dalam demokrasi itu artinya kedaulatan "tertinggi" ada ditangan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam satu negara dan pemerintahan, rakyat itu memiliki beberapa hak untuk mengetahui dan diberitahu oleh pemerintah, pejabat publik dan wakil-wakilnya dipemerintahan tentang hal-hal penting yang dihadapi negara dan bangsa.
Khususnya yg menyangkut kepentingan rakyat umum, kedaulatan rakyat dan kualitas hidup rakyat. The people have the right to know and to be informed. Karena itu dalam demokrasi, rakyat tidak boleh dipaksa untuk atau harus percaya begitu saja ocehan Presiden, Menkeu, Kapolri, Ketua dan Anggota DPR, MPR, DPD atau pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Gubernur, Wali Kota dan Bupati.
Dalam prinsip-prinsip demokrasi, khususnya yang menyangkut kedaulatan rakyat (sovereignty of the people), rakyat (the people) dilarang keras (prohibited) untuk percaya kepada kekuasaan, penguasa, atau pemerintahan.
Bahkan the people are summoned to "question" every statement they hear from the government officials and members of parliament.
Rakyat diwajibkan untuk meragukan kebenaran setiap ucapan penguasa di pemerintahan, termasuk yang keluar dari mulut anggota MPR, DPR dan DPD, apalagi dari mulut petinggi partai politik.
Karena dalam prinsip-prinsip demokrasi, kepercayaan publik bukan berdasarkan pada prinsip trust or blind trust (prinsip kepercayaan dalam hikmat dan kebijaksanaan). Tetapi kepercayaan berdasarkan pada transparency, oversight, checks and balances (keterbukaan, pengawasan, kontrol, verifikasi, validitas, audit dan akuntabilitas).
This notion oleh President Ronald Reagan diperhalus, supaya tidak terkesan kasar, arogan dan konfrontasi dengan perkataan: ".....we trust, but we verify...." (Kami percaya, tetapi kami ingin mengecheck dan mengkonfirmasi kepercayaan kami).
Sebenarnya kalimat (we trust, but we want to verify), itu sama artinya dengan "we don't trust you. Hanya kalimatnya diperhalus sedikit untuk tidak menyinggung perasaan orang lain terlalu obvious.
F). Public Oversight and Public Scrutiny
Hak untuk memilih calon pemimpin bangsa, wakil-wakil rakyat di pemerintahan dan melakukan "public scrutiny" terhadap pejabat publik, calon pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat dipemerintahan, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ada yang lucu di Indonesia dengan UU ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik seseorang. Lucunya di mana?
Sesuai dengan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam satu negara dan demi menjalankan tugas "oversight" dan "public scrunity" terhadap pejabat negara dan wakil-wakil rakyat di pemerintahan, maka UU ITE seharusnya tidak berlaku bagi:
1). Pejabat publik (Public Official).
2). Anggota MPR, DPR dan DPD.
3). Wartawan (Journalist).
Karena apa?
1). Pejabat publik dipilih oleh rakyat, digaji dengan uang rakyat dan bertanggung-jawab terhadap rakyat. Karena itu, ketika rakyat melakukan public scfrunity terhadap pejabat publik (public official), maka pejabat publik itu tidak bisa mengunakan UU ITE untuk melakukan somasi terhadap anggota masyarakat (rakyat).
2). Anggota Legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD) adalah wakil-wakil rakyat ysng menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya mewakili kepentingan rakyat. Ketika mereka melakukan public scrunity adalah mewakili kepentingan rakyat, sehingga anggota legislatif tidak bisa disomasi dengan UU ITE.
3). Wartawan (Journalist) & Freedom of The Press. Ketika seorang wartawan menulis artikel dan mempublikasikan ke publik berupa informasi atau hasil "investigative journalism", maka wartawan itu tidak bisa disomasi atau dihukum dengan UU ITE dari artikel yang ditulis sebagai wartawan.
Karena, pertama, mereka menjalankan tugas dan tanggung-jawab journalism, dimana di dalam tugas dan tanggung-jawab journalism itu juga termasuk melakukan public scrunity (watchdog), untuk menyelidiki wrong doings pejabat publik dan melaporkan kepada publik.
Kedua, ada UU Pers dimana dalam UU tersebut, wartawan dan media yang menjadi platform journalism akan menyediakan waktu, tempat dan kesempatan bagi publik untuk melakukan sanggahan (counter argumentasi), guna meluruskan karya tulis journalism yg salah atau dianggap merugikan orang lain. Jadi wartawan tidak bisa dihukum sebagai akibat dari pelanggaran UU ITE.
Secara umum, rakyat sebagai Pemegang Kedaulatan tertinggi dalam satu negara dan pemerintahan, memiliki hak untuk mengetahui dan diberitahu, memiliki hak untuk melakukan public scrutiny, mengkritik, menghujat dan memecat pejabat publik yang tidak becus bekerja mewakili kepentingan rakyat.
Kalau ada orang yang tidak tahan dikritik, tidak tahan dihujat dan tidak tahan dipermalukan secara umum didepan publik, jangan pernah "mencalonkan diri" menjadi pejabat publik.
Lucu sekali melihat Menteri Kabinet segala urusan yang memiliki banyak perusahaan, termasuk ngurusin investasi, dan kemudian mendapatkan kritik dari publik, kemudian melakukan somasi terhadap anggota masyarakat yang melakukan kritik dan publik scrutiny.
Menteri Kabinet segala urusan ini juga pernah berdebat dengan Mahasiswa UI, dan dia argued bahwasanya dia boleh berbeda pendapat dengan mahasiswa dan tidak harus disclosing informasi kepada mahasiswa.
Bagi yang memahami prinsip-prinsip demokrasi where the people have the right to know and to be informed, dan mengetahui bahwasanya dia itu seorang pejabat publik yang digaji oleh uang rakyat tiap bulan, kedengarannya lucu. Bukti dia itu tidak memahami demokrasi.
Mahasiswa sebagai anggota masyarakat intelektual menjalankan tugas "public scrunity" terhadap seorang Menteri Kabinet dan meminta bukti big data yang menginginkan 3 periode, tetapi dia menolak dan tidak mau disclosing kepada publik karena tidak harus.
Itu bukti, Menteri Kabinet itu tidak memahami prinsip-prinsip demokrasi dan tidak sadar, bahwa dia itu hanya seorang Menteri Kabinet, jabatan an appointed position, yang tidak mendapatkan mandate langsung dari rakyat.
Mestinya tahu diri dan punya malu terhadap rakyat, sebagai Pemegang Kedaulatan tertinggi di Indonesia. Itu semua kedengarannya lucu bagi kita yang sudah biasa dengan sistem demokrasi di USA.
Karena apa?
Pertama, di USA itu tidak ada pejabat publik yang memiliki banyak perusahaan dan menjadi pejabat publik, ngurusin investasi lagi, karena jelas conflict of interest.
Ketika seseorang terpilih menjadi pejabat publik di USA, maka orang ini harus mengundurkan diri dari perusahaan dan memisahkan diri dari perusahaan secara nyata, dan perpisahan itu di lakukan secara hukum, lewat trust dan dimonitor oleh U.S GAO (Government Accountability Office).
Jadi lucu, ada menteri Kabinet yg memiliki banyak perusahan, kakak serta keluarganya memiliki banyak perusahaan malah diberi tugas dan tanggung-jawab menjadi Menteri Investasi dan Menteri BUMN. Itu jelas conflict of interest. Karena itu harus ada pemisahan secara hukum yang harus diawasi secara ketat selama menjabat di pemerintahan.
Setelah orang ini tidak lagi menjadi pejabat publik, maka orang ini bisa kembali bekerja menjadi bagian dari perusahaan-perusahaan yg dimilikinya itu dengan revoking the trust.
Kedua, sangat aneh bin lucu mendengar ada pejabat publik, menerima gaji uang rakyat tiap bulan, tetapi marah-marah bahkan melakukan somasi ketika ada anggota masyarakat (rakyat) melakukan kritik dan public scrutiny.
Jadi sebenarnya, UU ITE itu hanya berlaku untuk umum, dan tidak berlaku kepada pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, digaji uang rakyat tiap bulan dan bertanggung-jawab terhadap rakyat.
G). Referendum dan Proposition.
Rakyat (the people) memiliki hak untuk memutuskan "perkara" penting sendiri, tertutama perkara yg menyangkut kepentingan rakyat, kedaulatan rakyat dan kualitas hidup rakyat melalui referendum dan proposition, berupa ballot measure dan ballot initiative.
Tidak ada satupun dalam 11 prinsip-prinsip demokrasi yang menyebutkan kedaulatan partai politik. Yang ada adalah "kedaulatan rakyat" yang menjadi prinsip demokrasi nomer #1 (Sovereignty of the People).
Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, itu wujudnya atau mekanismenya ada 2, yakni:
1). Pemilu (Election), adalah mekanisme bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya di pemerintahan, seperti di Parliament (MPR, DPR, DPD, DPRD) yang menyangkut Representative-Democracy.
2). Referendum & Proposition (Ballot Initiatives & Ballot Measures), adalah mekanisme bagi rakyat untuk memutuskan hal-hal penting yang akan mempengaruhi atau memiliki dampak langsung terhadap kepentingan rakyat, kedaulatan rakyat dan kualitas hidup rakyat.
Referendum & Proposition adalah ballot question (kertas suara berupa pertanyaan), dimana electorate (rakyat) diberi pilihan untuk memutuskan "perkara" berupa pertanyaan, "menerima" atau "menolak" terhadap satu proposal atau rencana pemerintah, seperti:
1). Amandemen konstitusi.
2). Mengadopsi konstitusi baru.
3). Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
4). Menaikkan pajak (property tax, sales tax dan income tax) yang membebani rakyat.
5). Mengeluarkan bonds atau ngutang 7 turunan yang membebani rakyat.
6). Melegalkan judi, prostitusi, aborsi, poligami, dan lainnya.
7). Impeachment (recall atau P.A.W) terhadap pejabat publik di eksekutif selain Presiden (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) dan wakil-wakil rakyat di legislative (parliament), impeachment terhadap Presiden dilakukan oleh Parliament.
Jadi fungsi rakyat dan kedaulatan rakyat dalam demokrasi itu implementationnya atau wujudnya ada 2 mekanisme:
1). Memilih wakil-wakil rakyat lewat Pemilu.
2). Memutuskan perkara penting lewat Referendum atau Proposition (ballot measure dan ballot initiative).
Perkara penting bagi rakyat itu apa saja? Tentunya banyak sekali. Tetapi secara fundamental adalah semua perkara atau masalah yang akan mempengaruhi atau memiliki dampak langsung terhadap 3 hal di bawah ini:
1). Terhadap kepentingan rakyat,
2). Terhadap kedaulatan rakyat.
3). Terhadap kualitas hidup rakyat.
Semua perkara yang menyangkut 3 hal di atas yang akan diambil oleh pemerintah pusat sebagai kebijakan pemerintah oleh Presiden, Menteri Kabinet dan DPR, harus minta ijin dulu kepada rakyat lewat Referendum atau Proposition (ballot measure dan ballot initiative).
Mengapa harus begitu, karena itu adalah implementation dan mekanisme yg dituntut oleh prinsip demokrasi nomer#2, yg berbunyi: ".....Government based upon the consent of the governed / pemerintahan dijalankan atas persetujuan yang dipimpin....."
The consent of the governed (meminta ijin dari yg di pimpin), dalam hal ini adalah rakyat adalah prinsip demokrasi nomer#2.
Itulah implementation dan mekanisme yang dituntut dalam pemerintahan demokrasi, sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Bahwa kedaulatan tertinggi itu ada di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah pusat, Presiden, Menteri Kabinet, MPR, DPR, DPD atau Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi di tangan partai politik.
Karena itu, ketika pemerintah pusat ingin membuat keputusan PERKARA PENTING yangg akan mempengaruhi atau memiliki dampak langsung terhadap kepentingan rakyat, kedaulatan rakyat dan kualitas hidup rakyat, pemerintah pusat harus minta "ijin" dulu kepada rakyat (asking for the consent of the people). Tidak seenak udele dewe.
Semua perkara diputuskan oleh pemerintah pusat, dan rakyat hanya berfungsi sebagai electors dalam Pemilu untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat dipemerintahan.
Tetapi rakyat tidak ikut in the decision making process in the government affairs untuk memutuskan perkara penting yg akan mempengaruhi dan memiliki dampak langsung terhadap kepentingan rakyat, kedaulatan rakyat dan kualitas hidup rakyat.
Sehingga setelah PEMILU selesai, rakyat hanya seperti kambing congek atau seperti penonton sepak bola di television, melihat para anggota Executive dan wakil-wakilnya di Legislative yg baru dipilih rebutan artist rondo ucul narcis, envelope, proyek, korupsi dan rata-rata menjadi bullshiters terhadap rakyat yg memilihnya.
Partai-Krasi adalah bentuk kudeta terhadap ha-hak rakyat dan kedaulatan Rakyat. Demokrasi di Indonesia telah berubah dan bergeser menjadi PARTAI-KRASI. Ini juga akal-akalan dari politisi bullshiters, dimana partai politik di Indonesia memiliki kekuasaan yg jauh lebih besar dan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat Indonesia.
Kekuasaan besar partai politik itu dilakukan dan sengaja diberikan oleh anggota DPR secara legal lewat berbagai Undang-Undang (UU) untuk mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia.
Anggota DPR di Indonesia adalah kader-kader partai politik bullshiters, pemimpin partai politik mayoritas juga bullshiters dan kerjanya juga bullshiting the people. Inilah yang disebut politisi bullshiters yang menghasilkan demokrasi lontong sayur.
Dibawah inilah kekuasaan Partai Krasi, hasil karya politisi bullshiters:
1). Membuat UU MD3, yang memberi hak recall (hak PAW) kepada petinggi partai politik.
2). Membuat UU Pemilu, No.7 tahun 2017, khususnya pasal 222, yg dikenal dengan presidential threshold 20%, sehingga bursa Pilpres dimonopoli oleh partai politik dan gabungan partai politik.
3). Membuat amandemen Konstitusi UUD, yg memberikan monopoli kekuasaan bursa Capres dan Pilpres kepada partai politik, khususnya Pasal 6A, Ayat 2, UUD 1945 amandemen. (Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum dilakukan).
Tidak hanya sampai di situ, bila politisi DPR pada ngaco dan bullshiters, Polisi Indonesia lebih parah lagi.
Menempatkan Polri di bawah Presiden itu sama dengan membiarkan Presiden berpoligami, dengan memberikan 2 istri kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dalam demokrasi dilarang keras, karena Presiden bisa menggunakan kekuasaan Kapolri, Polri, Bareskrim dan semua jajaran Polri (Polda, Polres, Polsek) di daerah untuk kepentingan pribadi, ambisi politik Presiden dan kepentingan keluarganya.
Di situlah terjadi banyak perselingkuhan kekuasaan, bila Presiden dibiarkan berpoligami dengan Polri. Karena itu, Polisi harus dipisahkan dari lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif. Polisi dan TNI harus bisa bekerja secara independent, menjalankan tugas dan tanggung-jawab sebagai alat negara dan bukan sebagai alat penguasa.
Apakah UU ITE itu berlaku untuk pejabat publik, anggota legislative dan wartawan yg menjalankan tugas dan tanggung-jawab journalism dan public scrutiny? Sudah tentu tidak, karena itu adalah bagian dari tugas public oversight dan tanggung-jawab public scrunity yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU). (sws).