Pelanggaran Konstitusi Anwar Usman dan Empat Hakim Konstitusi Berpotensi Picu Revolusi

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

SECARA kasat mata, Lima Hakim Konstitusi sedang mempermainkan hukum dan konstitusi Indonesia, sekaligus mengolok-olok dan menghina bangsa Indonesia.

Undang-undang dan konstitusi diperkosa, dirudapaksa. Undang-undang diubah secara paksa, menggunakan kekuasaan atas nama Mahkamah Konstitusi, dengan cara melanggar konstitusi.

Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017 menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden minimum 40 tahun.

Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024, banyak gugatan dari para petualang politik terhadap pasal ini. Mereka umumnya minta batas usia minimum capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah menolak beberapa gugatan sejenis. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi hak dan wewenang DPR sebagai lembaga pembuat UU.

Kemudian, seorang mahasiswa di Solo bernama Almas Tsaqibbirru juga menggugat pasal 169 huruf q dimaksud. Almas minta MK menambah faktor pengalaman sebagai pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat juga memenuhi persyaratan menjadi capres-cawapres, meskipun belum berusia 40 tahun.

Sehingga kriteria capres-cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.”

Kemudian, anehnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan ini, dan menjadikan pengalaman sebagai Kepala Daerah sebagai persyaratan baru atau persyaratan alternatif untuk capres dan cawapres.

Maaf, bukan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Almas. Melainkan lima Hakim Konstitusi, terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dibantu empat Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Daniel Yusmic, M Guntur Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih.

Keanehan putusan atau pendapat lima Hakim Konstitusi ini bahkan dipertanyakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang masuk kelompok yang menolak gugatan, bersama tiga Hakim Konstitusi lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Suhartoyo.

Karena, penambahan persyaratan alternatif untuk capres-cawapres dengan kalimat “….. atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah” pada prinsipnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menyatakan batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi wewenang DPR.

Artinya, secara implisit, penambahan persyaratan alternatif “… pengalaman sebagai Kepala Daerah” untuk capres-cawapres juga bertentangan dengan Konstitusi, karena merampas wewenang DPR.

Saldi Isra bahkan mengungkapkan, Anwar Usman dengan sengaja mengubah komposisi hakim konstitusi untuk sidang gugatan Almas ini, sehingga menghasilkan putusan dengan skor 5-4, di mana 5 mengabulkan gugatan, termasuk Anwar Usman yang mempunyai konflik kepentingan karena statusnya sebagai paman Gibran dan adik ipar presiden Jokowi.

Status Anwar Usman yang jelas mempunyai konflik kepentingan sudah lama dipermasalahkan dan digugat masyarakat. Tetapi diabaikan. Tirani mencengkeram bertambah kuat melalui Mahkamah Konstitusi kini terbukti.

Manuver Anwar Usman secara nyata dapat dimaknai melakukan rekayasa atau pengkondisian Putusan MK untuk mengabulkan permohonan gugatan Almas. Untuk itu, Anwar Usman bersama empat kroni Hakim Konstitusi yang membantunya dapat didakwa telah melakukan mufakat jahat terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.

Selain mufakat jahat, Putusan lima Hakim Konstitusi, Anwar Usman dan empat kroni, juga melanggar konstitusi, sehingga wajib batal.

Pertama, Almas Tsaqibbirru tidak mempunyai ‘legal standing’, sehingga permohonan gugatannya tidak sah untuk disidangkan. Karena, Almas bukan Kepala Daerah, dan juga tidak sedang dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.

Kedua, MK tidak boleh menambah norma baru dalam persyaratan batas usia minimum capres-cawapres. Menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” pada prinsipnya melanggar wewenang konstitusi DPR sebagai pembuat UU.

Ketiga, menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” justru melanggar konstitusi Pasal 28D, karena persyaratan ini secara nyata merupakan diskriminasi untuk jabatan publik presiden dan wakil presiden.

Karena Pasal 28 D ayat (3) UUD menyatakan” Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Sehingga persyaratan pengalaman kerja atau pernah menjabat jabatan tertentu merupakan bentuk nyata diskriminasi yang melanggar Konstitusi Pasal 28D ayat (3) tersebut.

Oleh karena itu, Anwar Usman dan empat kroni Hakim Konstitusi wajib bertanggung jawab dan patut digugat dan didakwa telah melakukan mufakat jahat.

https://nasional.tempo.co/read/1784645/saldi-isra-bingung-putusan-hakim-mk-berubah-setelah-anwar-usman-ikut-rapat

—- 000 —-

399

Related Post