Pemerintah Diharapkan Gunakan Strategi Hankam dan Intelejen dalam Penanganan Serangan Siber
Jakarta| FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia berharap kasus peretasan Pusat Data Nasional (PDN) bisa segera diselesaikan agar tidak membebani pemerintahan ke depan.
Sebab, ancaman siber ke depan akan semakin besar, sehingga peretasan PDN saat ini perlu ditangani lebih serius, dengan strategi pertahanan dan keamanan (hankam), serta intelejen.
"Partai Gelora cukup sering menyorot tema peretasan dalam konteks keamanan data konsumen dan data negara. Hal ini mengkhawatirkan karena terus menguat dan meluas," kata Endy Kurniawan, Ketua DPN Partai Gelora di Jakarta, Rabu (3/7/2024) sore.
Hal itu disampaikan Endy Kurniawan dalam diskusi Gelora Talks bertajuk "PDN Jebol Diretas, Bahaya Di Mana Negara?", yang ditayangkan di Gelora TV, Rabu (3/7/2024).
Diskusi yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gelora Dedy Miing Gumelar ini juga dihadiri Anggota Komisi I DPR Dave Laksono, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, serta Pakar Telematika dan IT Roy Suryo.
Partai Gelora, kata Endy, mengusulkan agar pemerintah segera membentuk matra khusus siber, selain matra darat, laut dan udara agar strategi penanganan serangan siber lebih terintegrasi, termasuk menjaga kedaulatan data nasional.
"Narasi Partai Gelora adalah menjadikan Indonesia superpower baru, oleh sebab itu siber perlu perhatian khusus kalau perlu dibentuk matra khusus siber. Strateginya harus terintegrasi dengan hankam untuk menjaga kedaulatan data nasional," katanya.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, ide awal membuat PDN adalah untuk menyatukan data secara nasional dari tingkat pusat hingga daerah, bahkan desa, agar memudahkan dalam pengamanan datanya.
Namun, peretasan PDN ini telah memalukan Indonesia sebagai bangsa dan negara, serta terbukti bahwa sistem data nasional tersebut, memiliki banyak kelemahan, dimana hacker komunitas saja bisa meretas.
Menurut Dave, DPR telah mengganggarkan pembuatan PDN setiap tahunnya sebesar Rp 20 triliun sejak 2019 hingga 2024, dimana pembangunan infrastrukturnya dimulai oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny G Plate.
"PDN ini anggarannya sangat besar, tiap tahun kita anggarankan sekitar Rp 20 triliun, sekarang sudah menghabiskan lebih dari Rp 100 triliun. Tapi pertanyaan kita, kenapa sistem pengamanannya mudah diretas, datanya bisa dicuri dan tidak ada back up data," katanya.
Komisi I DPR, lanjut Dave, pada awalnya akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengusut tuntas peretasan PDN, tapi karena masa jabatan anggota DPR periode ini akan berakhir pada 30 September, maka hal itu diurungkan.
"Dan pemerintah juga sudah melakukan auditing melalui BPKP. Kita minta Menkominfo dan BSSN memberikan penjelasan pada masa sidang mendatang. Hasil temuannya sejauh mana, transformasinya seperti apa, dan langkah mitigasinya. Ini yang mau kita dengar," ujar politisi Partai Golkar ini.
Usai mendengar penjelasan dari Menkominfo Budi Arie Setiadi dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian, kata Dave, DPR akan mengundang Badan Intelejen Negara (BIN), Polri dan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti temuan peretasan tersebut.
Peretasan PDN Diduga Terkait Judi Online
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, peretasan PDN ini sebagai tragedi kegagalan negara dalam mengantisipasi dan memitigasi di era digital.
"Era digital ini sudah 10 tahun digelorakan pemerintah, tapi ternyata pemerintah nampak gagap, tidak siap mengantisipasi era digital itu sendiri. Infrastruktur dan SDM juga tidak siap, sehingga hal ini menjadi tragedi dan kegagalan negara," kata Tulus Abadi.
Karena PDN dikelola satu pintu, maka ketika diretas hacker, akibatnya seluruh pelayanan publik terutama yang strategis menjadi lumpuh dan terganggu di lapangan.
"Selain lumpuhnya pelayanan publik, yang sering tidak disadari adalah perundungan data pribadi milik masyarakat. Di era digital ini, data pribadi ini menjadi harta karun kita. Harusnya menjadi perhatian utama pemerintah," ujarnya.
YLKI menduga peretasan PDN ini terkait upaya pemerintah dalam memberantas kasus judi online dan pinjaman online ilegal, serta kelengahan pemerintah yang hanya mengambil ceruk ekonomi digital sebagai pemasukan, tapi tanpa mengantisipasi dampak permasalahan yang timbul.
"Padahal tingkat kriminalitasnya sangat tinggi, banyak penumpang gelap di era digital ini. Tapi datanya tidak back up, dan SDM-nya yang handle juga tidak handal," tandasnya.
Sedangkan Pengamat Telematika dan IT Roy Suryo mengatakan, kerugian negara dari kasus peretasan PDN ini sangat besar bagi publik dan keamanan negara.
"Kalau yang tidak mengerti, bilang aman-aman saja karena data kita dikunci. Tapi kalau dari teori konspirasi justru banyak yang senang, datanya hilang," kata Roy Suryo.
Mengingat dampak peretasan PDN ini sangat besar, seharusnya DPR, kata Roy Suryo, membentuk Panitia Khusus (Pansus) dan YLKI memfasilitasi gugatan class action kepada negara.
"Kasus ini tidak cukup diselesaikan melalui Panja atau Rapat Kerja, tapi harus melalui Pansus mengingat kerugian yang sangat besar. Dan saya mau memprovokasi tipis-tipis agar YLKI melakukan gugatan class action kepada negara, " katanya.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini meminta pemerintah tidak mempercayai pelaku peretasan Brain Chiper yang akan memberikan 'kunci' gratis untuk membuka data PDN Sementara di Surabaya yang diretas.
"Dari kemarin saya ditanya media, mas kira-kira dikasih kunci nggak? Saya bilang coba dibaca baik kata-katanya, Rabu ini. Itu tidak dikatakan Rabu 3 Juli, bisa Rabu depan, bisa Rabu tahun depan. Rabunya kita tidak tahu kapan, bisa kapan-kapan. Kita kena prank,' katanya.
Sebab, dalam sejarah peretasan didunia tidak pernah ada hacker yang minta maaf, sehingga pernyataan Brain Chipper itu hanya sekedar prank.
"Apalagi pemerintah saja tidak meminta maaf ke rakyatnya, malah hackernya yang minta maaf, sehingga hal ini menjadi aneh. Dan sampai hari ini, terbukti tidak diberikan kuncinya. Kita memang kena prank," pungkas Roy Suryo. (*)