Pemerintah Frustasi, Panglima TNI Perintahkan Pasukan Piting Warga Rempang

Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Politik

NEGARA tampaknya makin jengkel dan frustasi menghadapi kerasnya penolakan warga Pulau Rempang yang tidak ikhlas tanah mereka ditampas pemerintah untuk kepentingan investasi asing China. 

Wajar pemerintah frustasi dan jengkel. Mereka dikejar kebutuhan pengosongan lahan yang sudah sangat mepet waktunya. 28 September, kurang dari 2 minggu. 

Jika warga tak bisa dibuat manut, maka pengosongan lahan gagal selesai tepat waktu, Xinyi Group mengancam bakal mencabut investasi jumbo hingga Rp 381 triliun dan dialihkan ke Johor, Malaysia. 

Pemerintah tak rela itu terjadi. Dengan cara apapun, pemerintah akan ngotot memaksa rakyat tunduk. Termasuk meninggikan ancaman dan eskalasi penindasan terhadap warga. 

Saking jengkelanya, pemerintah lewat Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono menginstruksikan pasukannya untuk melumpuhkan warga dengan cara "memiting". 

Dalam video singkat beredar kalimat perintah Panglima TNI kepada pasukannya: 

"Lebih dari masyarakatnya itu satu orang miting satu itu kan, iya kan umpama masyarakatnya seribu, TNI-nya kita keluarkan seribu, satu orang miting satu, itu kan selesai. Nggak usah pake alat, miting aja satu-satu kan selesai" 

Sungguh instruksinya ber-nada "WAR": perang melawan musuh, warga Pulau Rempang. 

Panglima model apa yang memberi titah ke pasukannya untuk melumpuhkan warga dengan cara "memiting"? 

Ga Ngotak

Tugas TNI adalah melindungi ketahanan dan kedaualatan negara dari ancaman luar. Bukan sebaliknya, memposisikan masyarakat sebagai musuh dari dalam yang harus dilumpuhkan secara arogan. 

Sungguh contoh pemimpin militer yang jauh dari kata "mengayomi". 

Rakyat bukan ancaman apalagi musuh yang harus diposisikan sebagai perusuh dan harus dilumpuhkan dalam satu kali serangan. 

Sebaliknya, yang layak disebut "pe-rusuh" adalah pemerintah. Para pejabatlah yang memancing, menyulut perlawanan warga. 

Warga Pulau Rempang-Galang selama ratusan tahun hidup tenteram, aman, damai. Datang pemerintah sebagai jongos asing. Tanpa negosiasi dan melibatkan warga, tiba-tiba main ngukur lahan, main rampas, main gusur. 

Heran, untuk kepentingan investor, pemerintah sangat "gercep" mengurus legitimasi dan penyediaan lahan. Giliran untuk rakyat Pulau Rempang yang sudah ratusan tahun bermukim, pemerintah tidak pernah pro-aktif memproses, melengkapi legalitas administarasi kepemilikan tanah. 

Giliran ada perkara seperti ini, menteri agraria seperti tak punya malu main teriak: warga pulau Rempang mendiami lahan itu tanpa mengantongi sertifikat. 

Dasar jongos. Padahal mereka tinggal di situ sudah ratusan tahun, jumlahnya 6.200 kepala rumah tangga. Selama ini Kementerian Agraria ngapain aja. Lahan seluas dan warga sebanyak itu, gak diperhatikan kelengkapan legalitas lahannya? 

Wajar rakyat melawan, membela hak-haknya. Di satu sisi, bukannya rakyat menolak. Melainkan pemerintahnya gak punya otak, otoriter, main maksa warga kosongkan lahan. 

Coba ajak rakyat bicara baik- baik dulu. Libatkan semuanya. Kedepankan negosiasi dan musyawarah. Masukkan kepentingan semua pihak. Tawarkan solusi yang masuk akal, mutual benefit. Warga juga pasti akan merespons baik-baik. 

Rakyat adat Melayu di 16 Kampung tua bukannya menolak. Silahkan bawa investor dan lakukan pengembangan industrialisasi. Tapi pemukiman warga jangan digusur. Sesuai kesepakatan MOU terkait pengembangan PKWTE di 2004. Bahwa perkampungan warga ber-status Enclave, bebas dari penggusuran. 

Lalu tunjukkan bukti legalitas tanah, perizinan, batas lahan yang tidak menggangu pemukiman warga, riset AMDAL dn syarat adminsitrasi lainnya. 

Jangan asal main gusur, paksa warga kosongkan lahan tiba-tiba.

Ingat Pak Jenderal, sebesar apapun nada ancaman yang diberikan, main piting sekalipun, perlawanan rakyat takkan surut. Eskalasi perlawanan warga saat ini bukan sekadar perihal menolak relokasi. Melainkan telah berkembang menjadi Isu suku dan agama. Judulnya: Masyarakat Adat Melayu Islam Menolak Relokasi. 

Bahkan sudah keluar ultimatum 16 Kampung Tua Melayu: apapun yang terjadi mereka akan tetap bertahan. Mereka tidak akan mau pindah meskipun harus mati terkubur. Dengan cara apapun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab mereka untuk menjaganya. 

Mereka akan mempertahankan marwah kampung mereka, tak peduli apapun yang akan dilakukan pemerintah dan aparat pada mereka. 

TNI memang didesain melumpuhkan musuh dalam satu kali serangan. Tapi secara sokologis, masyarakat Rempang saat ini sudah siap mempertahankan hak mereka apapun yang terjadi. 

Ingat Pak Jenderal, orang yangg mempertahankan, gak peduli dengan fisiknya, dengan nyawanya. 

Pak Jenderal mungkin lupa, sesuai UU No. 34 Tahun 2004, TNI mengadopsi prinsip "Hankamrata" sebagai sistem pertahanan yang bersifat semesta, dimana melibatkan seluruh warga negara. 

Bagaimana bisa sistem Hankamrata diaplikasikan, jika panglima memerintahkan pasukannya memiting rakyat? 

Lebih prinsip lagi, Panglima TNI adalah abdi negara, abdi rakyat, Bukan abdi pengusaha atau abdi pemerintah pengabdi pengusaha. 

Lucu sekali bangsa ini, pasukan bersenjata disiapkan menumpas warga yang dinilai memberontak. Selain polisi, ribuan TNI bergerak. 

Secara emosional dan di luar nalar kenegarawanan, Panglima TNI memberi pengarahan "kesiapan tempur" menuju Rempang. Piting warga. 

Betapa serius, berani, gagah menghadapi rakyat sendiri tetapi "loyo" dan "banci" dalam menghadapi KKB Papua. (*)

379

Related Post