Pengakuan Bharada E Bikin Sambo Makin Terpojok, Momen Pembuktian Komitmen Polri

Jakarta, FNN - Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.

Bharada E menyampaikan sejumlah poin pengakuan atau keterangan baru di hadapan penyidik Timsus Polri.

Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan bahwa hal ini harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya.

“Selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang,” katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin, 8 Agustus 2022. Berikut petikan wawancara lengkapnya: 

Halo Bung Rocky, ketemu lagi nih di awal pekan, hari Senin. Kelihatannya segar sekali awal pekan ini.

Ya, karena saya membaca ada pengakuan dari Bharada E dan ada keterangan-keterangan lain yang membuat kita awal pekan punya kecerahan baru untuk membongkar kasus ini, supaya ada hal-hal lain yang masih bisa kita teruskan perbincangan sebagai bangsa.

Iya. Saya juga diingatkan oleh beberapa teman, ini waktu kita dihabiskan untuk membahas tewasnya Brigadir Yohsua (bukan berarti kita tidak menghargai ya ada satu warga kita yang meninggal secara mengenaskan itu). Tetapi, teman-teman ini juga mengingatkan jangan sampai energi kita habis di sini dan kemudian kita teralihkan, tetapi ia justru dia ingatkan bagus ini momentum untuk polisi melakukan pembenahan. Dan sebenarnya jangan hanya internal saja tapi juga bagaimana meletakkan posisi polisi dan ketatanegaraan kita.

Iya, jadi satu tahap sudah kita capai, yaitu Pengakuan dari berada Eyang memang statusnya baru pengakuan di depan penyidik. Tentu ini pembuktian nanti depan pengadilan, di bawah sumpah. Tapi kira-kira ada kelegaan bahwa menjadi justice collaborator itu betul-betul untuk menghindari conflict of interest, menghindari sensasi yang makin lama makin gila, dan kembali pada fungsi utama pengadilan nanti, yaitu menetapkan siapa tersangka dan pada saat itu tentu Polri bisa berlega nanti karena institusinya bisa diselamatkan.

Jadi menyelamatkan institusi memang ada ongkosnya, yaitu ada satu kelompok, satu orang, atau satu geng bahkan yang harus dibersihkan. Itu intinya kan. Dalam keadaan itu kita ingin supaya cepat selesai karena geng-geng yang lain di wilayah ekonomi masih banyak, geng-geng yang lain di soal politik juga tumbuh lagi. Jadi, baiklah kalau ini selesai lalu kita pindah untuk ngurusin ekonomi dan politik yang juga makin mendebarkan.

Satu hal tapi saya kira sebenarnya, di luar bahwa ada niatan dari POLRI untuk bersih-bersih, karena nggak mudah loh ini dengan posisi yang sangat tinggi, seperti Ferdy Sambo (Kadiv Propam),  kepala Satgasus, yang kemudian sekarang ditahan atau ditempatkan khusus. Tapi kelihatannya akan bergulir ke pidana. Yang kedua yang membuat kita lega itu kelihatannya ternyata yang kemarin kita selalu khawatir adanya pembelahan pada masyarakat, tetapi untuk isu kali ini semua civil society bersatu. Itu yang membuat saya lega dan semua bersikap imparsial karena ini berkaitan dengan hak asasi manusia. Saya kira mestinya begini bangsa kita ini. 

Itu pentingnya kasus semacam ini jadi selalu kita sebut sebagai pintu untuk membuka berbagai macam pintu lain di kepolisian. Ini baru pintu pertama saja kan di dalam kepolisian ada macem-macem. Ada pintu yang begitu dimasukin ternyata ada pintu lain di dalamnya. Jadi berjejaring dan labirin itu kalau nggak lihat dari atas, dari puncak menara, kita nggak tahu jalan keluarnya di mana. Kelihatannya Pak Sigit akhirnya naik ke puncak menara untuk melihat labirinnya sebesar itu. Tapi dia tetap musti hati-hati karena bagaimanapun senioritas masih berlaku di situ, pengaruh partai masih berlaku, bahkan sinyal-sinyal dari istana makin keras untuk membongkar kasus ini.

Jadi, semakin kita merasa bahwa ada kelegaan, semakin juga kita harus menghitung fight bad-nya para pelaku atau pembuat pintu palsu di kepolisian. Jadi belum selesai secara politis. Tapi selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang. Saya mengucapkannya pun musti cari kata-kata yang betul-betul persis, berat dan mahal. 

Ya, karena kita tahu belakangan seringkali kita sebut bahwa bagaimanapun juga inilah politik sudah mulai masuk ke wilayah yang harusnya steril. Kan polisi, ASN, dan termasuk TNI itu kan wilayah yang harusnya steril dari kepentingan politik karena mereka ini adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Tetapi, akibat kepentingan-kepentingan politik, tarik-menarik politik, kita mengulang kembali sejarah masa lalu. Kalau di masa lalu itu pada TNI, sekarang terjadi pada polisi. Ini saya kira yang jauh lebih serius kan. 

TNI betul-betul ambil sikap back to basics, back to barak. Dan profesionalismenya diucapkan sejak reformasi. Itu konsisten. Militer konsisten. Sedikit hal yang musti kita diskusikan nanti itu kenapa Pak Luhut kemudian meminta supaya Undang-undang TNI diubah. Itu juga satu soal baru, seolah-olah kesejahteraan TNI kurang, karena itu musti diubah supaya ada penempatan di wilayah sipil. 

Begitu juga sebenarnya tidak diperlukan karena justru kita musti pastikan ada rekrutmen dari sipil untuk menempati posisi-posisi birokrasi politik atau birokrasi pemerintahan, jangan militer. Biarkan militer kita tumbuh jadi militer profesional yang berkali-kali dapat penghargaan dari internasional, kemampuan teknis dan kemampuan strategis. Memang, ada masalah soal kemampuan persenjataan.

Tapi itu soal uang saja kan? Begitu ada pembelian senjata maka well accupied militer kita. Sampai dengan saat sekarang, pendidikan militer kita bagus betul kan? Itu sebetulnya yang harus dikedepankan, yaitu membangun institusi militer yang ampuh dan profesional dan eticly. Itu juga yang mustinya diterapkan di lembaga kepolisian karena tentara mungkin bersiaga terus, tapi tidak dalam setiap saat dia menghadapi perang. Tapi kalau kepolisian setiap saat dia harus bersiaga di pojok-pojok kota, tahu di mana persembunyian money laundring, berupaya untuk menangkap bandar narkoba, segala hal yang berurusan dengan perkembangan masyarakat. Di situ diperlukan tingkat etika yang tinggi itu. Kalau keilmuan, kita yakin kemampuan polisi untuk menangkap maling.

Tetapi, tuker tambah di belakang itu yang seringkali dipersoalkan orang. Sudah ditangkap tapi diloloskan, setelah diloloskan masih ada lagi penangkapan yang lain. Jadi ini yang jadi sorotan publik. Tetap publik ingin melihat kemegahan tentara itu dengan seragamnya, tapi sekaligus memberi kedamaian, rasa aman. Sama seperti orang Inggris menganggap bahwa lebih baik nggak ada perdana menteri daripada nggak ada sekolah scholeryard.

Jadi etika itu yang kita inginkan betul bahwa polisi itu sebagai institusi tumbuh bersih, dihormati, dan tidak disinismekan. Sekarang, selama kasus tembak-menembak ini itu, sinismenya tinggi betul pada polisi itu. Dan polisi juga terpaksa musti cari jalan supaya persiapan dia untuk membersihkan institusinya melalui peristiwa ini betul-betul rapi itu.

Ya. Dan selalu, kita harusnya setiap kali melihat sesuatu, kita lihat dari the bright side-nya ya, dari sisi yang lebih ternag.  Mungkin orang mengutuk apa yang terjadi, tapi selalu kita ingatkan dari kemarin bahwa saya kira ini jadi momentum gitu dan Pak Listyo Sigit kalau mau mengingatkan memang nggak sendirian, karena ini sudah cukup lama terjadi, jadi dia harus dapet support. 

Betul, support pada Pak Sigit memang diperlukan karena kan status Pak Sigit itu sebagai Kapolri, tetapi orang merasa ya dia adalah mantan ajudan presiden. Kan itu berarti ada sesuatu yang masih berbekas di dalam hierarki antara Presiden dan Kapolri yang mantan ajudan. Itu secara psikologis ada dan Pak Sigit itu relatif junior dibandingkan dengan sebut saja satu struktur di kepolisian yang tetap merasa ada yang kurang klop dalam relasi atau komunikasi, entah dari para senior atau dari Bapak Sigit sendiri.

Jadi ini problem-problem institusional yang terkait dengan kemampuan untuk membersihkan institusi. Ya satu paket ini yang sebetulnya harus kita sodorkan menjadi pembicaraan publik. Dan bagus betul kalau pers mulai menjadikan ini persoalan pembenahan, karena ada momentum.

Tapi sering kali juga kepolisian terlihat memakai beberapa pers untuk jadi speaker dari proses-proses di dalam kepolisian sendiri sehingga ada pers yang tiba-tiba dapat data yang betul-betul mencengangkan, ada pers yang menunggu informasi resmi dari humas Kapolri. Itu juga dia bilang, itu kemampuan manuver pers saja. Iya, tapi kita tahu ada pers yang melekat di kepolisian, ada pers yang menunggu di ruang tunggu. Kan begitu. Itu sebetulnya yang kita pahami.

Iya. Soal kemaren status Ferdy Sambo ditahan atau tidak ditahan aja itu banyak versi yang ambigu. Ada yang menyebut kemungkinan menggunakan bahasa polisi ditempatkan di tempat khusus. Iya, tapi saja dengan ditahan, karena kalau istrinya mau dateng habis nganter bajunya saja nggak bisa ketemu, apa namanya dong. 

Ya, itu kalimat-kalimat tertentu memang bisa dipakai, tapi tetap kita paham bahwa ini pasti harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya. Itu intinya. Jadi blessing in disguise-nya di situ. Disguise-nya ya itu konsumsi mereka yang masih berupaya untuk menonton versi sinetronnya.

Kalau kita ingin versi kriminalnya diperlihatkan dengan dalil-dalil akademis, pembuktiannya yang transparan, dan lebih penting lagi adalah kesaksian-kesaksian yang hanya berdasar pada fakta itu. Nah, di sini pers dituntut kembali untuk jadi hakim publik di pengadilan nanti. Dan jadi hakim publik juga berat karena apapun keputusan pengadilan itu beriimpak pada beberapa peristiwa yang terkait. (ida, sof)

372

Related Post