Pengetahuan Pejabat Negara
Oleh Fauzul Iman
SAAT Tuhan diprotes malaikat yang tidak percaya pada kemampuan manusia menjadi khalifah di muka bumi, Tuhan bergeming dari protes itu dan tetap saja Dia menciptakan manusia di muka bumi yang disiapkan menjadi khalifah. Rencana pendirian khalifah oleh Tuhan tentu tidak dilakukan sembarang. Respons tegas Tuhan pada para Malaikat, " Aku lebih tahu dari kalian" merupakan kapasitas-Nya dalam mentransendesi segenap pembekalan kompetensial yang disiapkan untuk seorang khalifah.
Realitasnya Tuhan terbukti menciptakan seorang yang bernama Adam . Makhluk manusia pertama yang didesain menjadi khalifah ini tidak dibiarkan begitu saja sebagai jasad kosong yang membeku tanpa daya. Tetapi ke dalam jasadnya ditiupkan ruh oleh Tuhan . Ruh ini merupakan meta daya indrawi yang berisi spritualitas, kognisi /nalar dan saraf motorik yang berfungsi menggerakan segenap dimensi kehidupannnya. Tidak sampai di sini, Adam juga dibekali kualifikasi kompentensial oleh Tuhan berupa pendidikan untuk mengenali nama-nama (Q.S . 2 :31). Nasir Hamid dalam bukunya Mafhumu an-Nash Dirasat fi Ulum al-Quran memahami nama dalam teks adalah penanda/signifie yang memiliki signifaksi (magza) dengan kontek yang dihadapinya. Dengan kata lain, di balik nama/tanda /teks itu terkandung isyarat atau pengetahuan mendalam guna membangun perilaku dan kebudayaannya.
Berakar dari cara Tuhan mendidik Adam AS melalui pengenalan nama/tanda , manusia sebagai generasi khalifah/pengganti Adam, sudah barang tentu pengetahuan mendalam dibalik tanda tadi sangat diperlukan guna membentuk perilaku dan kebudayaannya. Dalam konteks inilah siapapun yang diamanahi menjadi pemimpin atau pejabat negara agar tajam memahami di balik nama/tanda /isyarat sehingga tidak ambyar membangun opini atau mengambil keputusan.
Memang terdapat perbedaan antara karakter malaikat dengan manusia. Malaikat diciptakan Tuhan bernalar monoton agar sepenuhnya patuh/tunduk menerima perintah-Nya tanpa membantah sedikitpun. Sebaliknya manusia diberi kekuatan nalar yang membuat ia sering ngeyel dengan banyak dalih. Bahkan demi mengejar pamrih manusia kerap bersikap carmuk dan menjilat. Terkadang demi membunuhi kebutuhan fragmatisnya manusia sangat setia mentaati perintah atasannya tanpa peduli dengan keresahan ataupun penderitaan bawahannya.
Lamun dengan pendidikan dari Tuhan berupa pendidikan ruhaniah dan pengenalan nama /tanda, manusia yang diberi amanah sebagai khalifah atau pejabat negara tidak boleh menghindar dari penguasaan pada pengetahuan cerdasnya memahami dibalik nama atau tanda. Pendidikan Tuhan ini merupakan bukti dari daya jamin pengetahuanTuhan yang dinyatakan di depan para malaikat saat protes tidak sepakat menciptakan manusia di bumi karena tabiat manusia gemar melakukan kerusakan. Kenyataannya Tuhan merancang kearifan dengan mendirikan instrumen dan pranata sosialnya di muka bumi.
Tidak mengherankan, menurut Komaruddin Hidayat dalam bukunya Imaginasi Islam : Sebuah Rekonstruksi Masa Depan Islam, dengan kelebihan manusia yang diberikan kemampuan instrumen dalam membaca di balik nama/tanda olah Tuhan, ia mampu membuat pranata sosial seperti berdirinya institusi - institusi termasuk institusi besar sejenis PBB . Tidak sedikit para pemimpin bangsa di dunia, demikian Komaruddin, yang mampu membaca makna dibalik tanda/ nama dengan cerdas berhasil memimpin dengan demokratis . Pemimpin itu bukan hanya karena cerdas memahamimya tapi juga berkomitmen menegakkan tanda-tanda itu seperti mematuhi pranata, aturan, sejarah, budaya dan sosiologi bangsa.
Sungguh tidak lama ini amat disayangkan beberapa pejabat kita kerap melontarkan kalimat dan kebijakan yang mengabaikan kecerdasan dalam memahami di balik tanda. Padahal di balik tanda yang melekati seoarang khalifah atau pejabat negara seperti komitmen/pengetahuan pada aturan, pengetahuan pada sejarah, sosial dan budaya merupakan hasil pendidikan yang sangat niscaya. Kegelapan komitmen para pejabat pada pengetahuan dan pembacaan kontekstual terhadap konstitusi / undang-undang berakibat pada fatalnya mengutarakan opini /statemen dan rapuhnya setiap kebijakan yang dilahirkan di ruang publik.
Keresahan dan kegaduhan yang baru-baru ini diluapkan publik melalu krittik pedas baik berupa celotehan mural, kritikan keras lewat medsos maupun kritik lewat jalur kelembagaan resmi oleh para cendekiawan. Ditambah dengan pembiaran para buzer yang makin beringas melakukan penghinaan dan fitnah harian terhadap para tokoh dan komunitas muslim. Semua itu terjadi akibat dari kedangkalan komitmen dan pengetahuan beberapa pejabat negara terhadap tanda-tanda atau dibalik tanda-tanda dimaksud. Pembiaran/pengabaian pada semua ini capat atau lambat tidak mustahil negara yang sangat kita cintai ini kelak berujung pada kehancuran. Nauzubillah!
*) Guru Besar UIN Banten