Penghargaan dan Kerikuhan
Untuk itu, semangat gotong-royong harus diperkuat, disertai tata kelola baik yang dapat mentransformasikan aksi kepeloporan individual ke dalam struktur solidaritas fungsional; dari karisma personal menuju karisma kelembagaan.
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, Rabu (21/12/2022), Pemerintah (melalui Kemenko PMK) memberikan anugerah Revolusi Mental kepada beberapa tokoh dan lembaga. Termasuk saya untuk kategori tokoh “persatuan, kesatuan dan kebangsaan”.
Penghargaan tersebut saya terima dengan perasaan mendua. Di satu sisi, saya berterima kasih atas perhatian dan apresiasi pemerintah terhadap pemikiran dan aksi kebangsaan saya selama ini.
Di sisi lain, terbersit rasa rikuh. Faktor mental-kejiwaan sangat menentukan kualitas hidup. Namun, karena sifatnya yang niskala, cenderung diabaikan dalam pembangunan, atau paling jauh (hanya) sekadar ornamen pelengkap pembangunan fisik yang lebih terlihat dan mudah diglorifikasi.
Dalam isu kebangsaan, saya pun bisa merasakan betapa beratnya tanggung jawab merajut persatuan di tengah masyarakat majemuk yang kian mengalami polarisasi dan fragmentasi.
Peran seseorang ibarat satu kerlip kunang-kunang. Mungkin bisa memberi percik sinyal arah di tengah malam. Namun, diperlukan jutaan kunang-kunang yang serentak berpijar untuk dapat pancarkan gelombang cahaya pencerahan.
Betapapun, saya belum kehilangan optimisme. Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatra Utara, masih banyak mata air kecemerlangan yang mengalir dari ketulusan pengabdian dan kearifan lokal yang dapat memberi pelajaran, bahwa negara-bangsa ini memang banyak masalah, tetapi satu kepala manusia bisa menyelesaikan banyak hal.
Apalagi, jika berbagai agensi dan pemangku kepentingan bisa berkolaborasi dan berkontribusi sesuai peran dan kapasitasnya.
Untuk itu, semangat gotong-royong harus diperkuat, disertai tata kelola baik yang dapat mentransformasikan aksi kepeloporan individual ke dalam struktur solidaritas fungsional; dari karisma personal menuju karisma kelembagaan.
Itu semua mensyaratkan tanggung jawab kepemimpinan. Seperti pesan Bung Hatta:
Bahwa, “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas.”
“Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.” (*)