Penyelenggara Negara dalam Krisis

Oleh: Chazali H. Situmorang (Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik)

PENYELENGGARA Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada diri Presiden itu menyatu satu sisi sebagai penanggung jawab mutlak penyelenggaraan pemerintahan, dan sisi lain sebagai Kepala Negara. Sebagai Kepala Negara penanggung jawab penuh terhadap seluruh wilayah, dan rakyat Indonesia.

Akhir-akhir ini, penyelenggara negara dan pemerintahan kehilangan karakternya. Tidak terkecuali Presiden Republik Indonesia. Sebagai Presiden begitu saja dipanggil oleh Ketua Umum Partai yang berkuasa untuk hadir dalam acara rapat akbar dalam menentukan calon Presiden dari partai yang bersangkutan.

Dalam tata cara rapat partai itu, jelas kehadiran Pak Jokowi sebagai Presiden RI. Penempatan duduk pada acara tgl 21 April 2023 yang lalu itu, posisi Presiden disamakan dengan pengurus Partai. Dalam sambutan Sekjen Partai dan Capres yang ditugaskan partai itu, dalam urutan yang terhormat, menyebutkan Ketua Umum Partai, baru berikutnya Presiden Jokowi. Ini tidak lazin sepanjang puluhan tahun saya mencermati tata protokol kegiatan Presiden.

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu, ingin menunjukkan pada dunia, bahwa kehormatan, harkat dan martabat Presiden Jokowi dibawah harkat dan martabat Ketua Umum Partai. Tapi bagi Presiden Jokowi itu bukan problem, tidak merasakan dignity nya mengalami erupsi.

Suatu fenomena baru dalam penyelenggaraan negara dengan sistem Presidential seperti yang dianut Indonesia. hal ini akan memberikan preseden yang kurang baik dalam perjalanan anak bangsa ke depan.

Kesibukan Presiden sekarang ini adalah mengumpulkan Ketua Ketua Partai Pemerintah. Mendorong agar partai membuat koalisi besar. Sehingga yang akan meneruskan kepemimpinan negara 5 tahun ke depan, juga tidak lepas dari peran dan dukungan Presiden Jokowi.

Malam ini (2/5) Presiden mengumpulkan 6 Ketua Umum pendukung pemerintah di Istana Negara, kecuali Nasdem. Menurut petinggi PPP, karena Nasdem pilihan Capresnya beda. Mulai malam ini sudah terbuka lebar fakta bahwa posisi partai Nasdem sudah bukan lagi masuk dalam poros pendukung Jokowi. Bagaimana Surya Paloh menyikapi situasi ini, tentu ada kejutan yang agak susah juga menebaknya.

Jokowi yakin betul dengan Ganjar dan Prabowo yang diusung gabungan koalisi partai besar itu, akan melindungi dan mengamankan Jokowi dari jangkauan hukum kelak jika sudah tidak jadi Presiden, atas berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

Presiden Jokowi sudah mulai khawatir atas berbagai analisis dan opini yang disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat, yang akan meminta pertanggung jawaban hukum kepada Pak Jokowi.

Tidak ada sahabat yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Pak Presiden seharusnya menyadari kata mutiara itu. Perjalanan runtuhnya rejim Orde Baru Presiden Soeharto merupakan bukti sejarah yang nyata. Siapa yang tidak kenal Alm Harmoko loyalis kental Presiden Soeharto waktu itu. Begitu mudah berbalik arah menjatuhkan Presiden Soeharto.

Apakah Presiden Jokowi dapat menjamin, jika Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto menjadi Presiden, dapat melindungi Jokowi, jika harus berhadapan dengan tekanan rakyat atau sudah menganggu dan mengusik kepentingan Presiden yang baru? Siapa yang bisa menjamin? Jika kita powerless semua akan menjauh. Itu adat dunia. Apalagi jika selama berkuasa banyak rakyat yang menjadi “korban” kekuasaan.

Boleh jadi Anis Baswedan, Capres yang tidak diinginkan oleh Pak Jokowi, dan ternyata dipilih rakyat sebagai Presiden, akan memberikan perlindungan hukum kepada Presiden yang digantikannya. Walaupun tentu akan meminta pertanggung jawaban jika memang ada pelanggaran konstitusi yang dilakukan. Tentu dengan pendekatan manusiawai dan tidak mengabaikan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dengan gambaran di atas, Presiden harus benar-benar jangan sempat masuk dalam jebakan batman. Presiden Jokowi harus mampu melihat, merasakan dan bahkan disadari atau tidak menjadi pelaku terhadap krisis penyelenggaraan negara.

Presiden Jokowi belum terlambat jika ingin husnul khatimah, akhir yang baik, happy ending. Atasi krisis penyelenggaraan negara yang berlangsung di depan mata. Mulai dari persoalan UU Cipta Kerja, UU P2SK, RUU Omnibus Kesehatan. Pencucian uang Rp. 349 Triliun di Kemenkeu, kereta api cepat Bandung – Jakarta, tenaga kerja asing, dan persoalan ketidakadlian sosial, ekonomi, dan ketimpangan pendapatan yang semakin mendalam. Hentikan mengelontorkan APBN untuk IKN, dan menyelesaikan KKB Papua secara lebih tegas, terukur dan menangkap para pemberontak.

Masih ada waktu setahun ini untuk kembali menata penyelenggaraan negara ini. Berbagai persoalan krusial di atas, yang jika dibiarkan akan menjadi bom waktu yang akan membawa banyak korban penyelenggara negara. Sudah hampir terlambat Pak Presiden.

Biarlah ketua-ketua partai itu mengkonsolidasi kekuatan partainya masing-masing. Presiden harus berada di atas semua partai, baik pendukung pemerintah maupun yang tidak mendukung. Mereka semua berada di bawah naungan Presiden sebagai Kepala Negara.

Sebagai Presiden, harus memastikan bahwa semua partai itu mempunyai hak yang sama untuk berkompetesi, menyalurkan aspirasi politik anggota partainya. Jika Presiden dapat lakukan itu, kemandirian partai akan terjaga. Partai kecil tidak perlu “menjual diri” dan demikian juga partai besar jangan meremehkan partai kecil sebagai pelengkap dan asesoris, sekadar pantas pantasnya saja.

Semuanya itu kembali kepada Presiden, dan kabinet penikmat semasa pemerintahan Jokowi. Tugas kita hanya mengingatkan. Sebelum bangsa ini mengalami kelumpuhan total, dan tenggelam dalam danau air mata penyesalan. (*)

520

Related Post