Pernah Ditahan Dua Kali Jumhur Hidayat Tidak Kapok
Oleh: Tjahja Gunawan *)
SAYA telah berteman dengan Jumhur Hidayat sejak 1989. Tepatnya sejak dia diadili di Pengadilan Negeri Bandung terkait aksinya bersama mahasiswa ITB lainnya yang memprotes kedatangan Mendagri waktu itu Rudini ke kampus "Gajah Duduk" itu. Akibatnya, dia bersama aktivis mahasiswa ITB lainnya dipecat dari kampus. Tidak hanya itu, Denci panggilan Jumhur Hidayat bersama Fadjroel Rachman, Arnold Purba, Enin Supriyanto, Ammarsjah dan Bambang, juga divonis hukuman tiga tahun penjara.
Setiap kali sidang, saya sebagai wartawan baru waktu itu, selalu hadir di PN Bandung di Jl RE Martadinata. Sehingga pertemanan saya dengan mereka terjalin sampai sekarang terutama dengan Jumhur dan Syahganda Nainggolan, aktivis mahasiswa ITB lainnya. Hari Kamis lalu 11 November 2021 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis aktivis buruh Jumhur Hidayat dihukum penjara 10 bulan. Menurut hakim, Jumhur terbukti melakukan tindak pidana menyiarkan berita tidak lengkap yang berpotensi menerbitkan keonaran. Namun demikian, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Hapsoro Widodo menetapkan Jumhur Hidayat tidak perlu ditahan karena dia masih dalam perawatan dokter. Jumhur Hidayat yang juga petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus wakil ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), terkena kasus pidana setelah ia mengkritik UU Omnibus Law Cipta Kerja di akun Twitter pribadinya @jumhurhidayat pada 7 Oktober 2020. Jumhur, lewat akun Twitter pribadinya, mengunggah cuitan: “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”. Akibat cuitan itu, Jumhur ditangkap dan ditahan oleh kepolisian sejak 13 Oktober 2020.
Kekejian dalam Penangkapan Jumhur
Seminggu sebelum vonis, saya berkesempatan ngobrol dengan Jumhur Hidayat disela acara deklarasi Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia, pada 28 Oktober 2021.
"Gun, isi pledoi gue di PN Jaksel mau diterbitkan LP3ES. Tolong kasih komentar ya. Ntar gue kirim rangkumannya, " kata Jumhur membuka pembicaraan. Saya sampaikan ke Jumhur, gaya Anda menyampaikan pledoi di PN Jaksel maupun dulu saat di PN Bandung ketika menjalani sidang Kasus 5 Agustus 1989, tidak berubah. Jumhur Hidayat seorang orator yang mampu menyampaikan isi pikiran dan gagasannya dengan penuh semangat dan heroik. Sebagai aktivis dan tokoh pergerakan, dia sangat paham dengan berbagai persoalan rakyat. Pilihan kalimat serta diksi yang disampaikan Jumhur senantiasa menggugah pihak lain yang menyimak narasi yang disampaikannya.
Di awal penyampaian pledoinya di PN Jaksel, Jumhur Hidayat mengatakan:
"Tibalah saatnya pada hari ini, saya selaku terdakwa menyampaikan pembelaan atau Pledoi yang berisi uraian sebab-sebab yang mendorong saya melakukan kegiatan-kegiatan memperjuangkan nasib orang-orang yang kurang beruntung terutama mereka yang kurang beruntung karena adanya sistem dan struktur kekuasaan di mana tempat mereka hidup, membuat mereka tidak bisa banyak berdaya apalagi berdaulat. Ya pledoi ini juga akan menguraikan fakta-fakta penderitaan rakyat yang sedang terjadi saat ini bahkan kepastian kelanjutan penderitaan rakyat di masa depan bila bangsa ini tidak segera menginsyafi bahwa ancaman itu semakin nyata dan terus berjalan sehingga akan menjadikan rakyat ---sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno--- hanya sekedar menjadi kuli sementara bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa".
Dalam pembelaannya itu, Jumhur juga menceritakan peristiwa penangkapan yang menimpa dirinya.
"Tuan-Tuan Hakim Yang Mulia, pada tanggal 13 Oktober 2020 sekira jam 06.30 Wib, ketika saya sedang lelap tidur sehabis beribadah sholat subuh, digedor-gedorlah kamar tidur pribadi saya dan istri. Saat saya membuka mata mendengar ribut-ribut, saya menyaksikan istri saya dorong-dorongan pintu dengan orang-orang yang akan menangkap saya yang ternyata dari Badan Reserse Kriminal POLRI. Bahkan ada ucapan 'buka pintunya atau kita dobrak'.
Jumhur melanjutkan, "ketika istri saya bilang tunggu karena akan menggunakan hijabnya pun mereka masih tidak mengijinkan. Menyadari saya telah bangun maka istri saya bergegas ke kamar mandi untuk menggunakan hijabnya dan akhirnya bersama-sama saya menyaksikan tindakan puluhan orang itu menggeledah sentimeter demi sentimeter kamar tidur saya dan juga seisi rumah. Walhasil, semua handphone, laptop, ipad milik saya dan anak istri saya termasuk CPU komputer dan juga 5 buah USB disita oleh mereka. Walaupun akhirnya beberapa barang itu dikembalikan karena tidak bisa dijadikan barang bukti namun sampai sekarang masih ada yang belum dikembalikan dan itu sangat penting bagi saya yaitu 5 buah USB berisi dokumen-dokumen usaha saya termasuk karya-karya tulis yang belum diterbitkan".
Kepada para hakim di PN Jaksel, Jumhur mengemukakan bahwa istrinya begitu bersemangat mempertahan agar tidak terjadi keributan di kamar tiada lain karena dia ingin melindungi saya yang baru saja menjalani operasi pengambilan kantung empedu dengan pembiusan total selama 5 jam untuk membedah perut saya dengan tiga sobekan. "Ya perut saya masih diperban pada tiga sobekan yang masih berdarah itu karena belum sampai 36 jam saya keluar dari rumah sakit. Saya menyampaikan terimakasih dan rasa bangga yang tiada berhingga kepada istri saya Ali Febyani Prabandari atas keberaniannya menghadapi segerombolan orang pengecut berjumlah sekitar 30 orang hanya untuk menangkap orang seperti saya yang sama sekali tidak
memiliki rekam jejak kekerasan," kata Jumhur.
Praktek KKN Dulu-Sekarang
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat menjabat menghapus pasal-pasal karet di KUHP yaitu Prof. Jimly Asshidiqie dengan nada geram menulis lewat akun Twitter-nya, @JimlyAs, (16/10/20) "Ditahan saja tidak pantas apalagi diborgol untuk kepentingan disiarluaskan. Sebagai pengayom warga, polisi harusnya lebih bijaksana".
Pledoi Jumhur Hidayat setebal 34 halaman itu dibacakan pada 30 September 2021 di PN Jaksel. Pada kesempatan itu, Jumhur Hidayat juga membeberkan praktek KKN yang terjadi di era Orde Baru dan di era reformasi.
Pada era Orde Baru, tindakan KKN umumnya terjadi di seputaran kekuasaan eksekutif yang dekat dengan Presiden dan kroninya saja, sementara penerima manfaat dari KKN itu pun masih sangat terbatas. Jumhur menyebut cara KKN seperti itu dengan istilah otoritarian-birokratik-rente.
Sementara itu, tindakan KKN yang terjadi sekarang, dilakukan dengan lebih banyak lagi pelaku dan juga tidak terbatas pada sekelompok orang yang berada di sekitar kekuasaan Presiden tetapi juga pada jenjang-jenjang kekuasaan yang lain dan tidak hanya pada cabang kekuasaan eksekutif seperti kementerian, gubernur, bupati dan walikota bersama partnernya dari legislatif DPR dan DPRD melainkan juga yudikatif serta para pengusaha baik yang terpisah atau pun yang menjadi kaki-kaki tangan kekuatan oligarki.
Karena itulah, Jumhur menyebut sistem KKN yang terjadi sekarang sebagai konspiratif-birokratik-rente, atau bahasa mudahnya adalah korupsi berjama’ah atau beramai-ramai. Adapun mengenai dana jarahan yang digondol adalah berpuluh-puluh kali lipat dibanding dengan jarahan di era Orba. "Bukankah ini suatu kemunduran atau pengkhianatan terhadap amanat reformasi yang dilahirkan dengan kucuran darah dan air mata?, " ungkap Jumhur Hidayat dalam nada heroik.
Menurut data KPK, total korupsi berdasarkan profesi/jabatan selama 2004-2020 mencapai 1207 orang. Dari jumlah tersebut, tertinggi ada di pihak swasta 308 orang (26%), Anggota DPR dan DPRD 274 orang (23%), Eselon I/II/III 230 orang (19%), Lainnya 157 orang (13%), Walikota/Bupati 122 orang (10%), Kepala Lembaga/Kementerian 28 orang (2.3%), Hakim 22 orang (1.8%), Gubernur 21 orang (1.7%) diikuti Jaksa, Pengacara, Komisioner, Korporasi, Duta Besar dan Polisi. Bukankah ini berarti korupsi menjadi sangat semarak?
Siapa pun yang punya akal sehat akan mengatakan bahwa untuk lebih tenang melakukan korupsi, maka diubahlah UU KPK agar tidak lagi bertaji dan kemudian agar lebih tenang lagi maka dipecatlah 57 orang terhormat dan berintegritas pegawai KPK dari berbagai suku, agama dan ras yang telah menangkap koruptor-koruptor kakap yaitu melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang abal-abal itu. Penguasa seolah tidak lagi memperdulikan gerakan tuntutan dari masyarakat sipil termasuk tuntutan gerakan mahasiswa yang merasa nalar atau akal sehatnya telah terganggu akibat pemecatan pegawai KPK tersebut.
Saat ini kita masih menunggu, apakah perjuangan masyarakat sipil melawan kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang dalam banyak hal akan berhasil atau masih harus menunggu bertahun-tahun lagi sampai terorkestranya kemarahan nasional secara serentak. Meskipun fisiknya dipenjara, tapi karakter seperti Jumhur Hidayat akan tetap setia kepada akal pikiran dan demokrasi. Orang seperti Jumhur, akan selalu berteriak menyampaikan berbagai praktek ketidakadilan dan penderitaan yang dialami rakyat luas. Karena itu saya yakin Jumhur Hidayat tidak akan merasa kapok untuk terus memperjuangkan keadilan di negeri ini meskipun dia sudah ditahan dua kali. Jumhur Hidayat sudah mengingatkan tentang kemungkinan terjadinya amuk massa yang bersifat nasional dan berlangsung serentak. Akankah para elite kekuasaan baik di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif diam saja ?. Jangan sampai penjarahan dan kerusuhan sosial seperti tahun 1998 terjadi lagi.****
*) Penulis wartawan senior FNN.