PERPPU Gugurkan Putusan MK Merupakan Pelanggaran Konstitusi Berat

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat gugur usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Menurut Mahfud PERPPU dikeluarkan Jokowi lantaran adanya situasi mendesak.

PERPPU adalah Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang, artinya Undang—Undang (UU) yang ditetapkan presiden dalam kondisi Kegentingan Memaksa.

Ketika tidak ada Kegentingan Memaksa maka presiden tidak bisa dan tidak boleh menerbitkan PERPPU.

Saat ini Indonesia tidak dalam kondisi Kegentingan Memaksa.

Perang Rusia-Ukraina sebagai dasar penetapan Kegentingan Memaksa sangat mengada-ada, sewenang-wenang, dan terkesan penuh rekayasa.

Selain itu, penerbitan PERPPU yang setingkat UU wajib taat konstitusi. PERPPU tidak boleh melanggar konstitusi.

Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk oleh Konstitusi, dan menjadi kesatuan dengan Konstitusi. MK diberi wewenang Konstitusi untuk melakukan pengujian materiil UU terhadap UUD (Konstitusi)

Putusan MK dalam pengujian materiil bersifat final, wajib ditaati, dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Oleh karena itu, Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat wajib ditaati oleh setiap pihak, termasuk pemerintah dan presiden.

Maka itu, Putusan MK hasil pengujian materiil harus dimaknai sebagai Putusan Konstitusi. Artinya, Putusan MK merupakan perintah Konstitusi yang wajib ditaati semua pihak, termasuk pemerintah dan presiden.

Maka itu, PERPPU yang setingkat UU tidak bisa dan tidak boleh melanggar atau menggugurkan Putusan MK yang merupakan perintah Konstitusi, atau setingkat konstitusi.

Artinya, PERPPU tidak bisa dan tidak boleh mengoreksi atau menggugurkan Putusan MK.

Kalau PERPPU dipaksakan membatalkan atau menggugurkan Putusan MK, yang merupakan Putusan Konstitusi, maka berarti presiden memaksakan wewenang presiden melebihi wewenang konstitusi, yang mana merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi, bahkan dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi yang sangat serius.

Kalau PERPPU bisa menggugurkan Putusan MK maka berarti MK tidak diperlukan lagi di dalam Konstitusi Indonesia, karena Putusan MK bisa setiap saat digugurkan oleh Presiden melalui PERPPU. Artinya, PERPPU menjadi hukum otoriter dan tirani.

Dengan demikian, penerbitan PERPPU Cipta Kerja yang menggugurkan Putusan MK melanggar dua hal. Pertama melanggar penetapan kondisi Kegentingan Memaksa yang diduga kuat mengandung unsur rekayasa. Kedua, melanggar Putusan MK yang merupakan Putusan Konstitusi.

Dengan demikian, PERPPU Cipta Kerja berimplikasi membuat pemerintah menjadi otoritarian dan tirani, dengan menjalankan UU otoritarian dan tirani. (*)

1022

Related Post