Persaingan Petinggi Polri Makin Sengit, Kapolri Minta Publik Mengawasi Penyidikan Kematian Yoshua

Jakarta, FNN - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta semua pihak mengawasi proses penyidikan peristiwa baku tembak sesama polisi, yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Itu menjadi bentuk transparansi pengusutan kasus tersebut. Dengan proses transparansi, akan menghasilkan akuntabiltas yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik, sehingga dapat memberikan rasa keadilan yang ditunggu publik. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Kamis, 27 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya:

Semua masyarakat berharap minggu ini dipercepat, karena ingin melihat hasil otopsi Brigadir Yoshua. Namun, katanya kalau nggak delapan pekan, bisa sampai 4 bulan. Orang jadi mikir katanya kemarin kan katanya kasus yang mustinya dua atau tiga hari selesai ini tiba-tiba jadi panjang ceritanya. Pengungkapannya saja sudah terlambat, sudah tiga hari. Jadi sekarang ditambah otopsi lagi baru 4 bulan. Itupun modalnya nanti pengembangan penyidikan. Jadi, bisa jadi lama ini dan Pak Listyo Sigit makin lama makin tersandra oleh kasus ini.

Ada prinsip di dalam pidana, bahwa setiap penundaan itu artinya penambahan kejahatan. Jadi semakin lama nanti semakin mungkin ada kejahatan baru terhadap fakta-fakta itu. Karena itu otopsi prinsipnya semakin cepat semakin baik supaya faktanya tidak hilang karena proses yang disebut penguraian fisik dari manusia.

Secara filosofis siapapun masih bisa diotopsi. Bahkan, mumi pun masih bisa diotopsi. Tapi ini proses yang bukan sekedar mempercepat otopsinya, tapi mempercepat spekulasi publik. Kan harusnya dihentikan cepat spekulasi publik supaya semua variabel yang non-kriminal itu bisa langsung dibawa ke pengadilan. Ini masalahnya empat bulan itu spekulasi juga makin panjang dan keterangan Pak Kapolri juga menunjukkan bahwa beliau sebetulnya masih memerlukan semacam dukungan. Karena itu, dia minta supaya semua mengawasi.

Seharusnya dia bilang “beri kami kepercayaan untuk mempercepat proses ini”. Kalau dibalik artinya kami belum punya kepercayaan atau publik belum percaya kepada kami, karena itu kami minta semua dukungan.

Jadi memang terlihat ini kasus yang sederhana yang jadi rumit karena dugaan-dugaan non-kriminal itu dipermainkan oleh pers sebetulnya untuk mendorong agar supaya ini dipercepat. Ini kalau pers bikin sensasi, itu berbahaya. Tetapi, pada saat yang sama sensasi itu harusnya ditutup melalui substansi yang harusnya dipercepat diprioritaskan melalui analisis otopsi.

Ini saya kira kita beruntung juga, dalam situasi sekarang ini di era sosial media ya, karena kalau dulu kan sangat mudah informasi dikanalisasi lewat media-media konvensional yang dikontrol oleh kekuasaan. Tapi dengan media sosial yang sekarang ini saya kira memang susah berkelit.

Tadi Anda menyinggung soal barang bukti yang namanya tubuh itu, yang saya kira sudah sekarang sudah lapangan becek itu. Padahal, polisi sendiri kan selalu punya alasan kalau menahan seorang tersangka. Alasannya kan selalu ada tiga:  khawatir melarikan diri; mengulangi perbuatannya; atau menghilangkan barang bukti. Nah, ini kalau semakin lama barang buktinya semakin hilang.

Itu yang saya minta selalu supaya kita fokus pada substansi, kepada barang bukti. Dan pembuktian kan harus didasarkan pada evidence awalnya. Sekarang evidence awalnya mungkin tumpuk-tumpuk.

Saya percaya Polri tentu tertekan. Tetapi, kembali pada prinsip bahwa hanya Polri yang mampu untuk mengungkap ini. Tidak mungkin orang lain mengungkap itu kan? Jadi, percuma sebetulnya kalau kita mendesak Polri, tapi Polri sendiri menganggap bahwa kami perlu bantuan.  Bantuan itu tentu adalah meminta supaya hal-hal lain jangan dulu dipersoalkan. Jadi kita fokus di situ.

Saya dukung Kapolri dan Kapolda mengatakan bahwa ada dua korban. Korban pertama adalah Yosua dan itu adalah hak keluarga untuk menuntut pengungkapan kasus ini, korban kedua adalah Ibu Putri yang sampai sekarang mungkin masih stres. Jadi, sebetulnya dua korban ini akan menghasilkan rangkaian pembuktian yang memungkinkan publik akhirnya pulih kepercayaan pada Polri. Jadi fokus pada dua korban ini.

Kesaksian Ibu Putri diperlukan, tapi karena yang bersangkutan masih stres, jangan diganggu. Jangan sensasinya ditambah sehingga berpotensi Ibu Putri untuk mengingat kembali peristiwa itu makin lama makin berkurang. Jadi biarkan Ibu Putri itu pulih sepenuhnya. Jangan diganggu psikologinya.

Yang kedua biarkan Yosua sebagai jenazah, almarhum tubuhnya itu berbicara sendiri. Karena tubuh korban itu, walaupun sudah jadi mayat, tapi mampu untuk berbicara melalui bahasa yang kita sebut sebagai forensik. Jadi fokus pada dua hal ini.

Nah, sekali lagi, tentu  pers ingin memenuhi rasa ingin tahu publik. Dan itu artinya ada panggung lain, yaitu panggung publik. Tapi panggung publik itu tidak boleh ditukartambahkan dengan panggung pengadilan. Kan itu intinya. Jadi selalu saya ingin agar supaya silahkan publik bikin imajinasi, tapi jangan imajinasi itu kemudian mengalihkan persoalan riilnya, yaitu ada dua korban yang sekarang harus betul-betul diberi kesempatan untuk berbicara. Jenazah masih bisa bicara melalui fasilitas forensik; Ibu Putri masih bisa berbicara melalui terapi psikologi. Itu intinya.

Saya kira masih ada satu lagi yang perlu mendapat perhatian, ini berkaitan dengan Brigadir Richard Eliazer, yang disebut sebagai pelaku penembakan. Kalau kita lihat, ini anak muda. Dan dia dalam situasi semacam ini posisinya rawan, dia menjadi tersangka atau dia menjadi “korban”, dalam artian sensasi publik atau prasangka publik. Karena sampai sekarang orang masih atau publik tidak terlalu percaya bahwa Eliazer itu anak muda, usianya kalau nggak salah 24 tahun, sebagai pelaku penembakan.

Kemudian orang jadi bertanya-tanya sebenarnya dia ini hanya orang yang dikorbankan atau memang betul-betul dia dalam pusaran itu, karena dia membela diri dan terjadi tembak-menembak, seperti versi polisi dengan Brigadir Yoshua.

Itu hal yang juga ditunggu orang kan. Jadi Richard harus kita tetapkan statusnya. Kalau dianggap bahwa dia potensial untuk dijadikan tersangka dan kemungkinan dia juga ingin minta perlindungan, dia musti mendapat perlindungan hukum dan psikologis juga.

Jadi tanda tanya itu tetap ada di publik. Siapa ini Richard, sudah keburu disebut sebagai eksekutor. Tapi kemudian dianggap iya karena membela diri. Lalu versi lain berkembang lagi tuh, macam-macam. Itu soal pemilikan senjata, keahlian, atau hak untuk menyandang senjata laras pendek.

Jadi, semua info ini kan publik ingin minta Pak Kapolri coba lebih eksplisit. Tetapi, kita juga paham Kapolri lagi berselancar di dalam opini publik yang macem-macem. Nah, berselancarnya itu tidak lagi dianggap sebagai hal yang terkait langsung dengan kasus kriminalnya, tetapi orang mulai menduga berselancarnya Pak Kapolri itu terkait dengan persaingan di antara petinggi-petinggi Polri.

Jadi masuklah semua itu dalam kesulitan kita untuk memastikan ini kapan selesai? Apa menunggu isu persaingan selesai baru menunggu data-data polisi dibuka? Kan itu pertanyaan riil dari publik. Jadi kita balik lagi, masuklah pada prinsip scientific analyzed, yaitu bertanggung jawab terhadap data yang temukan dan mulai mencari hubungan kausal antar-data.

Saya kira itu poinnya yang kita musti fokuskan. Sensasinya ya itu memang bumbu yang tidak bisa dihindari, tetapi sebagai bumbu dia bukan inti dari makanan. Dia hanya menyedapkan dan kadangkala bumbu itu juga berbahaya. Nutrisinya bisa hilang karena ditumpuk dengan bumbu-bumbu yang berlebih.

Oke, kita balik ya, fokus pada dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Orang menduga-duga begitu kenapa kasus yang sederhana kok bisa jadi panjang seperti ini, karena melibatkan para Jenderal, keluarga Jendral, Pak Ferdy Sambo. Dan tadi Anda juga menyebut bahwa saya kira dua interpretatif terhadap pernyataan Pak Listyo Sigit agar publik ikut mengawasi. Sebenarnya kan tanpa publik mengawasi, kalau itu berjalan biasa saja sudah jadi domainnya polisi. Dan itu pekerjaan mudah.

Tapi kenapa mesti diawasi? Apakah ini juga tadi itu berkaitan dengan adanya dugaan-dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Kalau di media sosial malah disebut-sebut bahwa ini berkaitan dengan semacam kejahatan di kalangan para petinggi Polri karena orang sebut sebagai well organized crime.

Itu yang saya deteksi bahwa ada semacam frustasi kecil pada Pak Kapolri sehingga musti memakai kalimat itu, “nanti mohon dibantu diawasi”. Sebetulnya, dari awal memang nada itu nada permainan atau nada variabel politik atau persaingan itu sudah ada di hari-hari pertama dengan ucapan Pak Mahfud. Pak Mahfud sendiri yang bilang, jangan lindungi tikud di situ.

Urusan apa Pak Mahfud bilang begitu? Belum ada otopsi kedua pun Pak Mahfud sudah ngomong begitu. Belum ada problem upaya untuk mencari CCTV Pak Mahfud saudah ngomng begitu. Itu juga nggak boleh sebetulnya Pak Mahfud mengucapkan “jangan ada tikus bersarang atau dilindungi tikus kecil itu”.

Demikian juga Pak Jokowi, dua kali mengucapkan “Saya ingin ini dibongkar”. Ya iyalah, tugas polisi itu. Apalagi PDIP yang juga gencar untuk mempercepat segala macam, soal yang masih jadi isu publik. Jadi dua variabel itu, yaitu partai politik PDIP dan istana melalui Pak Mahfud dan Pak Jokowi, menunjukkan bahwa ada tekanan untuk mempercepat.

Nah, tekanan itu sebetulnya membebani Polri. Kan Polri punya mekanisme. Jadi dari awal memang sifat politisnya sudah muncul. Harusnya diam dong. Bahkan Pak Presiden nggak boleh bikin komentar, Pak Mahfud atau PDIP, supaya Pak Sigit tidak tertekan. Kan itu intinya. Sekarang Pak Sigit menganggap bahwa kita butuh bantuan publik. Publik lagi wacth sekarang justru. (ida/lia)

508

Related Post