Piala Dunia Mereduksi Islamophobia
Qatar bukan hanya menampilkan kemewahan sekaligus keramah-tamahan yang prestisius bagi penggila sepak bola dunia. Selain mengikis Islamophobia lewat penyelenggaraan sepak bola paling akbar sejagad, banyak momen yang menjadi pembuktian umat Islam juga penuh prestasi, kehormatan dan kebanggaaan bagi peradaban dunia.
Oleh Yusuf Blegur - Pemerhati Politik dan Kebangsaan
DARI sepak bola Piala Dunia 2022 di Qatar, penduduk bumi dapat belajar tentang arti kemenangan dan kekalahan. Sekuat apapun tim dengan nama besar yang disandangnya, ia tak harus selalu menang dan menjadi juara. Selalu ada waktunya untuk bisa menerima kenyataan pahit. Kekalahan dari tim yang bahkan tidak diperhitungkan dan dianggap lemah. Begitupun negara-negara yang memilik pretasi dan sangat disegani, tersingkir oleh negara dengan tim sepak bola yang cenderung diremehkan.
Pencapaian menakjubkan Maroko sampai pada babak semifinal ajang sepak bola paling bergengsi di dunia itu mencuri perhatian umat Islam, Maroko yang geliat sepak bolanya tak lepas dari syariat Islam dengan doa dan shalawat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam saat sebelum bertanding, prestasinya berhasil mengguncang dunia. Semilir ghiroh Islam menghembus di lapangan hijau. Membuka mata masyarakat internasional khususnya penggila bola. Pesta bola di Qatar juga membuncah dominasi tim kuat tak selamanya menguasai sepak bola dunia, yang selama ini hanya menjadi tradisi negara- negara dari benua Eropa dan Amerika Latin. Jerman, Uruguay, Belgia, Portugal, Meksiko, Brazil dll., yang menjadi negara besar dalam sepak bola harus angkat koper lebih awal pulang ke negerinya dari Piala Dunia Qatar 2022. Saudi Arabia yang sempat mengalahkan Argentina di fase awal grup, juga menjadi fenomena bahwa dalam sepak bola segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk tim sepak bola yang tak dihitung kekuatannya, seiring waktu bisa menjungkalkan tim papan atas.
Menariknya, perhelatan sepak bola paling bergengsi dan kerapkali membawa isu-isu internasional seperti rasis, perang, LGBT dlsb, saat Qatar menjadi tuan rumah, pesta unjuk skill individu dan team work kesebelasan banyak negara itu, terlihat menjadi berbeda dan lebih unik dari even yang sama sebelumnya.
Diferensiasi Qatar yang mewah namun ramah dan bersahabat dalam menjamu tim peserta dan para supporternya, terlihat dari fasilitas stadion berkelas yang tersedia, arsitektur bangunan dan keindahan kota serta kegiatan-kegiatan memperkenalkan seni budaya dan religi di luar perhelatan sepak bola di negeri gurun pasir tersebut. Qatar, negeri dari semenanjung kecil di jazirah Arab yang kaya minyak itu, benar-benar memanjakan penduduk dunia penggemar sepak bola yang mengunjunginya dengan wisata spiritual dan peradaban salah satu negara muslim. Saat penyelenggaraan Piala Dunia, negara Keemiran di Timur Tengah yang menawan itu, menyempatkan melakukan syiar dan dakwah kepada banyak penduduk yang menjadi tamu negaranya.
Mulai dari menolak kampanye LGBT di lapangan hijau dengan aturan dan tindakan tegas, Qatar juga begitu terbuka dan hangat mengajak suporter atau yang sekadar ingin menyaksikan turnamen sepak bola dunia itu, mengunjungi masjid dan tempat budaya Islam lainnya. Qatar, seeakan ingin menunjukkan Islam itu bukan peradaban dunia yang terbelakang, apalagi intoleran, radikalis dan fundamentalis.
Qatar juga memberi isyarat kemakmuran rakyatnya yang juga menjadi representasi dunia Islam, sangat jauh dari terorisme. Qatar begitu menakjubkan mereduksi gerakan Islamophobia meski, hanya sekadar melalui sepak bola.
Boleh jadi, seperti gelaran sepak bola dunia yang membuktikan tak ada kekuatan yang sejati yang tak bisa dikalahkan. Begitupun sebaliknya, yang lemah tak bisa selamanya dianggap sepele dan tak berdaya.
Lewat ajang Piala dunia 2022, Qatar bagai sedang berbisik kepada dunia Islam itu agama yang indah dan penuh keberadaban, jauh dari stigma buruk dan stereotif yang selama ini dibangun dunia barat.
Bagaimana dengan sepak bola Indonesia?. Apakah timnas tak ubahnya dengan negara yang dipenuhi mafia? Miskin prestasi tapi lebih banyak represi, tragedi dan mungkin juga latah ikut-ikutan Islamophobia.
*) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.*
Bekasi Kota Patriot, 11 Desember 2022/17 Jumadil Awal 1444 H.