Pileg Tertutup, Akankah Pilpres Juga Tertutup?
Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PDIP sangat bersemangat ikut mendorong pileg tertutup. Apa alasan? Dan apa kepentingannya? Dua pertanyaan yang berbeda bobot.
Alasan ke publik akan selalu normatif, rasional dan ideal. Meminimalisir money politics, katanya. Bukankah money politics itu pelanggaran hukum? Ada pidananya? Mengapa sistemnya yang diubah, bukan penegakan hukumnya yang ditegakkan sebagai upaya pencegahan?
Apakah ketika hukum tidak berhasil mengawal sebuah sistem, lalu sistemnya yang diubah? Sampai kapan cara berpikir seperti ini terus menjadi solusi? Apakah negara sudah terlalu apatis terhadap penegakan hukum? Apakah hukum sudah tidak bisa lagi mengontrol pelanggaran pemilu?
Ketika security tak lagi bisa mengamankan rumahmu, jangan pindah rumah. Tapi, ganti security-nya. Itu cara berpikir yang bener. Masalahnya ada di security, bukan di lokasi rumahmu. Paham?
Lalu, apa kepentingan PDIP mendorong pileg tertutup? Dan mengapa 8 partai lainnya kekeuh menolaknya?
Ini soal elektabilitas. Cermati berbagai survei. Elektabilitas PDIP paling stabil. Mengapa? Karena semua kader PDIP, baik di DPRD maupun DPR, lebih dominan identitas partainya. Kader PDIP tidak menonjolkan identitas personalnya. Ketika ada survei partai, maka elektabilitasnya stabil.
Sementara di partai lain, faktor siapa caleg yang maju akan sangat mempengaruhi elektabilitas partai tersebut. Karena itu, partai-partai ini butuh person. Butuh ketokohan yang bisa dijual. Butuh sosok yang bisa meraup suara untuk partainya. Butuh caleg yang bisa menghasilkan kursi di DPR maupun DPRD.
Pindah partai dan munculnya tokoh baru di sejumlah partai menjadi fenomena yang akrab di setiap pemilu. Artis ini masuk partai anu, mantan pejabat ini jadi caleg partai di sana, dll. Jika sejumlah tokoh yang diharapkan mampu menjadi pendongkrak perolehan suara partai ini tidak muncul namanya di pemilu, maka sulit bagi partai itu menambah kursi di DPR maupun DPRD. Jadi, wajar jika di luar PDIP, semua partai yang punya kursi di DPR menolak pileg tertutup.
Di sisi lain, usul pemilu tetutup untuk anggota legislatif berpotensi menjadi tujuan antara. Bukan tujuan finalnya. Jika pileg tertutup goal di Mahkamah Konstitusi (MK), kemungkinan akan merember ke pilpres tertutup. Tugas berikutnya adalah mengamandemen UUD. Arahnya? Pilpred 2024, presiden dipilih oleh MPR.
Jika pemilu.legislatif tertutup, maka semakin terbuka untuk mendorong pilpres tertutup. Presiden tidak dipilih oleh rakyat lagi, tapi oleh MPR. Kembali seperti masa Orde Baru.
Bagi bakal capres non-potensial, pilpres tertutup lebih menguntungkan. Bakal capres yang ektabilitasnya gak bergerak, gak naik-naik, selalu rendah dan tertinggal dari bakal capres yang lain, mereka dengan kekuatan partai dan uangnya lebih berpeluang untuk menang pada pemilihan di MPR.
Dalam pilpres terrutup, yang dibutuhkan bukan lagi dukungan rakyat, tapi dukungan partai. Yang diperlukan bukan suara rakyat, tapi suara anggota MPR. Di sini, transaksinya akan lebih simpel. Jual beli suara lebih mudah dikondisikan. Suara rakyat? Tidak penting lagi. Capres tidak butuh. Nasib lembaga survei? Nganggur! Sepi job.
Ini bukan hanya soal pileg tertutup. Ini bukan sekedar sabotase suara caleg oleh partai. Tapi, ini bisa merembet ke pilpres tertutup dimana suara rakyat juga akan disabotase oleh partai melalui anggota MPR.
Pemilu tertutup layak dicurigai sebagai bagian dari sekenario untuk mengembalikan pilpres model lama yaitu presiden dipilih oleh MPR.
Jakarta, 5 Januari 2023