Pilpres adalah Masa Depan Keluargaku (Refleksi Imajiner Jokowi)
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
HARUSKAH aku berhenti mencampuri pilpres? Makin besar arus sosial-politik yang berbalik arah melawanku. Baru sekarang aku sadar sesungguhnya aku bukan menentang Anies Baswedan, melainkan suara orang tertindas. Dan mereka yang belum lupa pada cita-cita reformasi. Para cendekiawan ikut menudingku: Cukup Jokowi, cukup!
Malam yang basah kian sunyi saja. Di bawah kembang-kembang yang layu suara jangkrik yang merana seolah memberi tahu aku: hidup hanyalah kefanaan yang percuma. Fir'aun pun mati. Dan piramida yang mereka bangun hanya menjadi pengingat atas arogansi pemimpin dan penderitaan rakyat. Aku mulai takut.
Daftar panjang kesalahanku disodorkan kepadaku. Juga rentetan kebohonganku disertai nasihat, mungkin juga ejekan: "Sadarlah Jokowi. Berhenti di sini lebih baik daripada kelak menanggung aib".
Dulu aku mengira sebuah dusta bisa ditutupi dengan dusta yang lain. Nyatanya, ia beranak pinak dan tak mungkin lagi dikendalikan. Rupanya seseorang tak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu. Sekarang semua orang mencurigai setiap kata yang terlontar dari mulutku. Dia sedang berdusta lagi!
Para cendekiawan tak henti menunjuk kebijakan ugal-ugalan yang aku buat. Tadinya aku menertawai mereka sebagi barisan sakit hati yang menginginkan jabatan. Kadang aku mendiskusikan dengan pembantuku terkait kebijakan yg membuat gaduh di masyarakat. Bukan untuk mencari kebenaran, melainkan cara untuk membungkam para pengeritikku.
Maka dalam banyak kesempatan aku menakut-nakuti rakyat. Hati-hati dengan kaum radikal dan intoleran. Mereka mengusung politik identitas, mengancam Pancasila! Orang-orang semacam ini harus kita dengar aspirasinya? Tidak. Karena kita tidak mau "Islam rahmatan lilalamin" berubah menjadi Islam HTI atau ISIS.
Tapi org menganggap stigma ini hanya dalih untuk menjustifikasi kriminalisasi terhadap kaum oposisi. Para cerdik pandai yang dulu mendukungku mulai terbangun dari siuman. Aku kecewa, tapi aku tak heran. Mereka punya pikiran dan nurani. Dulu mereka gigih membela aku didasarkan pada pikiran dan hati nurani juga. Ketika belangku terungkap, ketika spirit reformasi lenyap dari pemerintahanku, wajar kalau mereka marah.
Aku terlalu percaya diri. Toh, rakyat banyak menyokongku, akademisi mengamini setiap pernyataanku, DPR mengabulkan semua yang yg aku mau, institusi-institusi negara dan cabang-cabang pemerintahan seiya sekata dengan aku. BuzzerRp pun tetap kencang memaki dan merundung siapa saja yang memprotes kebijakanku. Pokoknya, aku merasa bak pangeran dari kahyangan yang melenggang sempurna di muka bumi.
Dengan kuasa yang sedemikian besar, aku aman untuk menerabas konstitusi sekalipun. Biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Lihat, sejumlah RUU Omnibus Law yang hanya melayani kepentingan oligarki dan membuka luas ruang korupsi, semuanya lolos. Tentu layak kalau aku berbangga diri. Bukan hanya Soeharto, aku pun bisa mengubah DPR menjdi tukang stempel doang.
Bukan cuma itu. Masih banyak norma konstitusi yang aku jungkirbalikkan. KPK, MA, bahkan Mahkamah Konstitusi aku alihfungsikan menjadi alat politik untuk melayani kpentingan keluarga dan konco-koncoku. KSP Moeldoko aku suruh bermain di MA. KPK aku perintahkan ancam MA kalau tidak mengabulkan PK Moeldoko. Menteri dari partai yang tidak tunduk pada kemauanku, aku perintahkan untuk dikriminalisasi. Lalu, kubilang pada istriku: tak banggakah kau bersuamikan aku!? Kau mau apa sekarang, Nduk? Katakan!
Tak mengapa semuanya hancur kalau tak mengikuti kemauanku, karena kehancuran yang datang dari tindakanku memperlihatkan besarnya kekuasaanku. Efeknya menimbulkan ketakutan pada siapa saja. Dus, memudahkan aku mengatur segalanya, termasuk mengatur koalisi partai-partai dan siapa yang harus mereka capreskan. Siapa saja boleh asal jangan Anies. Dia terlalu anggun dalam perkataan dan sikap. Dus, terlihat lebih elok ketimbang aku. Mana bisa aku terima?
Aku benci dan dendam padanya. Setelah mengalahkan loyalisku, Ahok, dia menghentikan proyek reklamasi milik kroni-kroniku. Jelas dia tak menghargai aku. Padahal, semua org telah mentahbiskan aku sebagai penguasa tunggal negeri ini. Apakah dia lebih besar dari para jenderal -- Moeldoko, Prabowo, Wiranto, dan LBP -- yang patuh pada perintahku?
Berani-beraninya dia mau dicapreskan! Padahal, sudah aku bilang kepada banyak orang untuk disampaikan kepadanya bahwa pilpres adalah mainanku dan dia tak boleh ikut serta.
Dia hanya senyum. Senyum yang lebih pahit daripada jadam. Bahkan, belakangan ini sudah berani dia mengeritik pikiran dan kebijakanku. Maka, biarlah aku bicara terus terang kepada dunia bahwa aku akan memihak capres yang aku sukai. Mau marah? Silakan.
Aku undang para pemimpin media dan content creator ke Istana untuk menjelaskan bahwa aku tak akan netral demi masa depan bangsa dan negara. Kalau presiden penggantiku melanjutkan legacy-ku, dalam waktu 13 tahun Indonesia akan keluar dari middle income trap. Pendapatan per kapita kita tak akan kurang dari US$ 10 ribu.
Aku perhatikan wajah tamu-tamuku. Sepertinya mereka tak percaya pada omonganku. Mereka lebih fokus pada niatku untuk mencurangi jalannya pilpres. Seolah mereka berkata: "Tidak elok skema yang kau mainkan. Sebagai presiden, kau harus netral dan adil."
Memang Anies tak aku rekomendasikan untuk menjadi penggantiku. Rasa-rasanya mereka bisa menebak alasanku: dia akan membatalkan IKN. Apakah dia tak tahu bahwa proyek mercusuar itu akan menjadi satu-satunya legacy-ku yang akan diingat bangsa ini sepanjang masa? Banyak orang bilang itu proyek mubazir dan tidak bermoral di tengah kemiskinan rakyat. Aku balik bertanya: Apakah kemiskinan rakyat lebih penting daripada ambisiku? Aku Jokowi, ingat itu!
Anies bilang dia akan melanjutkan pembangunan IKN karena UU-nya sudah ada. Bah, seperti aku tak mengenal dia saja. Dia tokoh yang sangat rasional dan selama memimpin Jakarta dia selalu memprioritaskan keadilan sosial dalam setiap kebijakannya. Karena itu, aku yakin dia akan membatalkannya.
Lagi pula, tidak ada investor domestik maupun mancanegara yang tertarik berinvestasi di sana meskipun semua kemudahan sudah aku sediakan. Pembangunannya akan menggunakan porsi APBN yang sangat besar. Belum lagi proyek ini tidak populer. Maka tidak masuk akal Anies akan melanjutkannya. Negara bisa bangkrut disebabkan utang yang sudah mengkhawatirkan.
Bahkan, seharusnya aku sendiri yang menghentikan ambisiku. Tapi aku sudah terlanjur berkoar. Berbohong pula bahwa APBN tak akan digunakan. Membatalkannya hanya akan menjatuhkan gengsiku dan membenarkan posisi para pengkritik. Padahal, sifat mengalah bukan watakku.
Apalagi sudah ada dana APBN yang digunakan dan hutan di sana sudah gundul. Aku akan terlihat bebal. Kepala batu pula. Tapi orang bilang presiden harus berani mengambil keputusan strategis yang dianggap benar sekalipun harus melawan opini publik.
Diam-diam ada yang membisikki aku: "Pak, lebih baik terlihat bebal tapi menyelamatkan duit rakyat daripada pongah yang menjerumuskan negara ke dalam kebangkrutan." Langsung aku bentak: "Tahu apa, kamu!" Biar dia tak mengulangi pernyataan yang mengintimidasi aku itu. Apapun yang akan terjadi aku mau IKN tetap berlanjut.
Yakin aku, kalau nanti menang, Ganjar Pranowo akan didorong Megawati untuk menuntaskannya. Bukankah pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan adalah rencana Bung Karno dan Mega selalu memelihara legacy dan cita-cita ayahnya? Prabowo pun akan melanjutkan kalau pemerintahannya ingin mendapatkan dukungan Mega.
Ada hal lain lagi yang aku takutkan dari Anies. Bukan tidak mungkin dia akan menghadang dinasti politik dan bisnis keluargaku. Tentu saja dia tak punya niat itu. Tapi ingat, Anies bekerja berdasarkan aspirasi rakyat dan cita-cita kemerdekaan. Bila rakyat menuntut dia membasmi KKN, dia tak punya pilihan lain.
Tommy Soeharto saja bisa dikerangkeng karena masalah KKN pasca ayahnya lengser. Cita-cita kemerdekaan yang dimaksud Anies adalah mengerahkan seluruh sumber daya bangsa untuk menghadirkan keadilan sosial bagi semua. Kasihan, sudah terlalu lama rakyat ditelantarkan oleh penguasa. Pasti IKN tidak termasuk cita-cita kemerdekaan.
Jalan menjegal Anies belum tertutup. Aku masih punya kartu untuk dimainkan. Sekarang aku menekan MA terkait upaya Moeldoko mencopet Demokrat sehingga Koalisi Perubahan untuk Persatuan bubar.
Aku juga masih bisa paksakan Firli Bahuri menjerat Anies dalam kasus "korupsi" apa saja. Proyek pembangunan Jakarta selama kepemimpinannya pasti bisa dieksploitasi untuk dijadikan masalah. Walakin, negara bisa tergelincir ke dalam kekacauan bila dia disingkirkan secara vulgar. Anies sekarang telah menjadi ikon perubahan yang didambakan rakyat.
Sementara, apapun alasan pemerintah untuk mendepaknya dari kontestasi pilpres tak akan ada orang yang percaya. Setan pun tidak. Aku juga akan ditekan negara-negara demokrasi untuk menyelenggarakan pemilu secara fair. Dus, aku akan menghadapi musuh dari dalam maupun luar. Apa yang mesti aku lakukan?
Jalan paling aman dan bisa diterima kawan maupun lawan adalah membentuk koalisi besar -- terdiri dari PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, PAN, PPP -- dengan pasangan Ganjar dan Prabowo melawan Anies.
Sayangnya, Prabowo ogah kalau hanya menjadi cawapres Ganjar. Bila posisinya dibalik, Mega pasti tak mau Ganjar menjadi cawapres Prabowo. Kalau ada tiga atau empat koalisi, dimana Ganjar, Prabowo, Anies, dan Airlangga Hartarto yang bersaing, maka Anies berpotensi menang.
Keadaan memang sulit. Haruskah aku menyerah pada realitas politik apa adanya? Tidak. Aku harus terus cawe-cawe untuk memastikan capresku terpilih dan keluargaku aman pasca aku lengser. Meskipun ada saja orang yang menertawai jalan pikiranku. Mana mungkin orang yang tak lagi berkuasa bisa mengatur orang yang sedang berkuasa. Mimpi kali. Ya namanya usaha siapa tahu berhasil.
Tangsel, 7 Juni 2023