Pita Putih di Lengan, Bagai Menyambut Oposan dengan Karpet Merah

Oleh Ady Amar *)

PEEMINTAAN Amien Rais pada sahabatnya, Syafii Maarif, pada suatu kesempatan tampaknya bersambut. Permintaan agar Pak Syafii lebih berani bersikap tegas... Istilah Pak Amien, lebih sering benahi hal yang mungkar. Jangan hanya amar ma'ruf saja.

Apakah permintaan Pak Amien, itu yang lalu membuat Pak Syafii bersikap, atau memang sikap itu keluar dari dirinya, tanpa kendali orang lain. Bersikap lantaran tidak tahan melihat pegawai KPK dipecat dengan sewenang-wenang.

Menanggapi pemecatan 57 pegawai KPK, memaksa Pak Syafii berkomentar yang lebih "nahi mungkar". Ia menyebut, bahwa sebenarnya keputusan untuk melakukan pemecatan terhadap Novel Baswedan cs. itu memang tidak beres sejak awal.

Menurutnya, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam hal ini cuma digunakan alasan saja. Tambahnya, perlakuan terhadap pegawai KPK itu kental dengan nuansa dimensi politik tertentu. Pak Syafii memang tidak sampai meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap tegas. Mengambil peran yang dipunya, menganulir keputusan pemecatan para pegawai KPK dengan bersandar pada temuan Ombudsman dan Komnas HAM.

Ombudsman telah menemukan banyak kecacatan administrasi, serta didapati sejumlah temuan pelanggaran hak asasi manusia oleh Komnas HAM. Entah mengapa Presiden Jokowi tidak bersandar pada temuan dua lembaga kredibel itu. Diamnya itu bisa dibaca, ia bersepakat dengan pimpinan KPK dengan langkah pemecatan itu.

Meski tidak sampai mendesak Presiden Jokowi, setidaknya Pak Syafii telah bersikap, bahwa ada ketidakadilan dalam proses pemecatan pegawai KPK, dan itu sarat politik. Tanggapannya itu sudah cukup menjelaskan sikap beliau ada di mana. Jangan meminta berlebih pada Pak Syafii.

Skenario Tuhan

Nafsu pimpinan KPK menyingkirkan mereka, itu bisa terlihat dengan jadwal pemecatan yang semula berakhir tanggal 1 November, dimajukan tanggal 30 September 2021.

Tanggal dan bulan pilihan Firli Bahuri, Ketua KPK dan komisioner lainnya pada tanggal 30 September, mengingatkan pada peristiwa kelam mengerikan, peristiwa G30S/PKI. Peristiwa dibantainya 7 Jenderal dan 1 perwira oleh PKI. Tampaknya mereka khilaf memakai tanggal dan bulan itu. Atau bisa jadi itu skenario Tuhan, yang menyamakan pemecatan itu dengan peristiwa kelam negeri ini.

Pilihan tanggal dan bulan pemecatan itu menegaskan, adanya "pembunuhan" atas mereka yang mendedikasikan diri pada pemberantasan korupsi, yang dibalas dengan pemecatan sewenang-wenang. Meminjam istilah Pak Syafii Maarif, "kental dengan nuansa dimensi politik".

Presiden Jokowi memang tidak bersikap atas pemecatan 57 pegawai KPK itu. Tapi dihari akhir tanggal pemecatan, lewat Kapolri ada tawaran pada pegawai KPK yang tidak lulus TWK, yang akan ditampung di Polri sebagai ASN. Itu konon ide murni Presiden Jokowi. Tawaran itu tampaknya belum direspons pegawai KPK, bersedia atau tidaknya mereka dengan tawaran itu.

Tawaran itu memang bukan solusi yang mengenakkan. Mereka yang dipecat itu tidak sedang mencari pekerjaan, tapi melawan kesewenang-wenangan pemecatan dengan dalih tidak lulus TWK.

Pita Putih di Lengan

Pegawai KPK yang dipecat itu mengenakan pitah putih di lengan kiri, dan bunga mawar di tangan sebagai simbol matinya semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemandangan itu tampak di hari akhir mereka harus meninggalkan markas KPK. Tragis memang, mereka yang berdiri di garis paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi harus tersingkir.

Pemandangan menyesakkan tampak saat pegawai KPK yang lulus TWK, melepas kawan yang "dikorbankan" dengan mengharukan. Lambaian tangan tanda perpisahan, dengan suara lirih terucap, "Sampai jumpa teman-teman..." Tampak diantara mereka ada yang menyeka air mata.

Mereka yang tersingkir itu sejatinya pahlawan. Mengabdi belasan tahun dengan sarat prestasi, tapi jasanya diakhirkan dengan pemecatan semena-mena. Akal sehat menyebut, mereka memang tidak diinginkan. Muncul rumor, itu kemenangan lobi dari mereka yang ingin melemahkan KPK. Dimulai dari revisi UU KPK, dan berlanjut pada "dibabatnya" pegawai KPK yang bekerja sepenuh hati, dan itu lewat pintu TWK.

Mereka yang dipecat itu, pastilah akan tetap konsen bekerja untuk pemberantasan korupsi. Entah dengan cara apa dan di mana mereka akan bergerak. Medan juang pada proyek kebaikan, itu tidaklah hanya dibatasi oleh tembok dalam gedung KPK.

Di luar gedung KPK karpet merah dibentangkan, disediakan untuk mereka melangkah dan bahkan menari bersama elemen bangsa lainnya, yang memilih berseberangan sebagai penyeimbang pemerintah pada kebijakan-kebijakan yang dibuat. Itu setelah parlemen bersetubuh erat dengan kekuasaan, sulit bisa diharapkan fungsi kontrolnya menajam.

Kelompok penyeimbang, biasa orang menyebut oposan, seolah mendapat amunisi dengan hadirnya 57 pegawai KPK yang terzalimi. Berharap mampu menggerakkan kesadaran masyarakat akan hak-haknya.

Selamat datang para pahlawan sebenarnya, selamat berjuang di tempat yang lebih luas untuk bersuara apa yang bisa disuarakan, yang suara itu mustahil tersekat, terkekang oleh tembok birokrasi. (*)

*) Kolumnis

269

Related Post