PK Moeldoko Merusak Demokrasi, Presiden Tidak Boleh Diam
Oleh M. Din Syamsuddin - Guru Besar Politik Islam FISIP UIN Jakarta
ADANYA pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Moeldoko atas kasus klaim kepemimpinan Partai Demokrat patut dinilai merusak demokrasi Indonesia. Bagaimana tidak, seseorang yang bukan anggota partai dan tidak memiliki kartu anggota yang sah dapat merebut keketuaan partai, dan setelah dinyatakan salah oleh pengadilan masih mengajukan PK ke Mahkamah Agung.
Apalagi, menurut berita, dia tidak mendasarkan PKnya atas novum (bukti baru). Hal ini dapat dinilai dari sudut etika politik sebagai pembajakan demokrasi, yaitu seseorang melalui rekayasa permusyawaratan merebut kepemimpinan partai, dan setelah dinyatakan kalah oleh pengadilan masih ngotot mengajukan PK tanpa bukti baru yang meyakinkan.
Mungkin ada keyakinan bahwa Mahkamah Agung akan mengabulkannya mengingat posisinya yang strategis di lingkungan Istana Presiden (yaitu sebagai Kepala Staf Presiden), namun publik meyakini bahwa para hakim yang berkomitmen kepada kebenaran dan kejujuran di Mahkamah Agung tidak akan mengabulkannya.
Dalam kaitan ini, Presiden Joko Widodo seharusnya tidak diam tapi harus menegur bawahannya yang melanggar etika politik. Kalau tetap didiamkan maka akan mudah dituduh Presiden ikut bermain dan cawe-cawe negatif dan dekonstruktif.
Cukup luas dugaan bahwa semuanya itu adalah bagian dari upaya menjegal Partai Demokrat agar tidak qualified mengusung atau mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Jika hal demikian terjadi maka itulah yang disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Saya yakin perilaku itu akan mendapatkan penolakan dari rakyat yang cinta kejujuran dan keadilan.
Sebaiknya Moeldoko mundur dari ambisinya, dan Presiden Joko Widodo harus menegurnya, bukan diam tanda setuju. (*)