Plus Minus Ahok Mendongkrak Risiko Jokowi

Oleh Hudzaifah

Jakarta, FNN - Ahok kembali menjadi viral di media massa cetak, televisi, radio maupun media sosial. Kali ini mantan narapidana penistaan agama itu akan diangkat menjadi bos di PT Pertamina, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) paling basah di negeri ini.

Sebelumnya pemilik nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu memang santer akan menjadi salah satu nominasi menteri Kabinet Indonesia Maju. Tapi setelah nama-nama menteri dan wakil menteri diumumkan, peluang Ahok pun pupus.

Setelah itu beredar kabar bahwa Ahok akan menjadi Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi setelah ditelusuri Ahok tak memenuhi syarat karena dalam karirnya sebagai Gubernur DKI banyak persoalan korupsi yang diarahkan kepadanya.

Belakangan Ahok bertemu Menteri BUMN Erick Thohir dan dikabarkan akan menjadi bos BUMN, wabil khusus Pertamina. Bahkan Presiden Jokowi sendiri diketahui yang mendorong Ahok jadi bos di Pertamina, entah sebagai Direktur Utama atau Komisaris Utama.

“Bisa keduanya. Kita tahu kinerjanya. Nanti penempatannya di mana, itu proses seleksi yang ada di Kementerian BUMN," ucap Jokowi hari ini.

Menteri BUMN Erick Thohir sendiri menyatakan proses seleksi akan selesai akhir bulan ini, sehingga awal Desember 2019 sudah bisa dilantik.

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan soal peluang Ahok menjadi salah satu bos di BUMN energi. Menurutnya Ahok sosok yang tepat karena ketegasannya untuk memimpi salah satu BUMN energi. Atau BUMN lain yang sakit membutuhkan kepiawaian dan keberanian Ahok.

Sampai di sini publik pun menyatakan aneka reaksi yang beragam. Pengarang buku Korupsi Ahok, Marwan Batubara berpendapat bahwa Ahok itu lebih pantas ditahan ketimbang diberi jabatan, mengingat banyaknya kasus korupsi yang melilitnya.

Mantan Ketua DPR Marzuki Ali menyampaikan keheranannya dengan rekomendasi Jokowi agar Ahok jadi bos Pertamina. Alasannya, banyak sekali temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkait dugaan korupsi Ahok, sebaiknya temuan BPK itu ditindaklanjuti aparat hujum dulu.

Sementara mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan mengatakan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah mengangkat petinggi BUMN dari orang bermasalah. Bahkan pejabat yang sedang duduk dalam jabatannya terindikasi bermasalah dan ditersangkakan, maka diberhentikan.

Dengan kata lain, Presiden Jokowi sedang mempertaruhkan risiko yang besar dengan rencana mengangkat Ahok sebagai bos Pertamina.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman berpendapat, kalau Ahok benar mau dicalonkan jadi Direktur Utama atau Komisaris Utama BUMN, maka Erick Tohir bisa dianggap melanggar Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015 tentang Persyaratan Menjadi Anggota Direksi dan Komisair BUMN.

Menurutnya Ahok tidak memenuhi syarat formal untuk menjadi Direksi maupun Komisaris BUMN sesuai Permen BUMN tersebut. Pada Bab II tentang Persyaratan Anggota Direksi BUMN dalam Permen BUMN Nomor 03/2015, pada poin A angka 3, tentang Persyaratan Formal, disebutkan direksi perseroan adalah orang perorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, perusahaan dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Tentang persyaratan formal poin 3 ini, walau bisa dimentahkan dengan dalih Ahok dipenjara bukan karena merugikan keuangan negara atau BUMN, tapi Ahok tersangkut di persyaratan materiil.

Yusri mengungkapkan pada Bab II huruf B angka 6 Permen BUMN Nomor 03/2015, disebutkan persyaratan materiil direksi perseroan adalah Perilaku yang baik. “Faktanya, yang bersangkutan (Ahok,red) berperilaku yang melecehkan, menistakan atau menghina agama lain sehingga dipenjara karena hal tersebut, itu berarti berperilaku tidak baik," ungkap Yusri.

Tentu saja dimata Jokowi, Ahok adalah special person. Selain yang membantu menghubungkan Jokowi dengan sumber pembiayaan kampanye Gubernur DKI Jakarta dan Pilpres 2014 dan mungkin saja 2019, maka Ahok layak diberi apresiasi.

Bagi Jokowi, Ahok adalah penentu nasibnya hingga menduduki jabatan RI-1. Wajar kalau diberi hadiah bos BUMN. Sebab kalau menjadi menteri, wakil menteri ataupun pengawas KPK, syaratnya sangat berat dan sulit bagi Ahok untuk menembus.

Sementara dengan menjabat bos BUMN--belum jelas apakah akhirnya menjadi Dirut atau Komut Pertamina, Inalum, Sarinah, dan lainnya—syarat itu masih debatabel.

Erick Thohir malah optimistis Ahok bisa dititipi di salah satu BUMN, memang yang paling basah adalah Pertamina. Bahkan Erick menjamin bahwa proses seleksinya sedang berlangung, diprediksi awal Desember sudah bisa dilantik.

Kasus Ahok

Jika di-rewind ke belakang, sebenarnya Ahok meninggalkan banyak perrsoalan hukum. Mulai dari kasus RS Sumber Waras, Taman BMW, Rusun Cengkareng, reklamasi pantura Jakarta, dana kompensasi, dan kasus-kasus lain yang menurut audit BPK mengandung unsur pelanggaran hukum.

Tapi untungnya rezim yang memimpin negeri ini adalah orang-orang yang dekat dengan Ahok. Sehingga sosok yang belakangan menjadi kader PDIP ini seperti tak tersentuh hukum.

Adapun penetapannya sebagai terpidana kasus penistaan agama terjadi berkat tekanan kuat dari ummat Islam yang tergabung dalam gerakan 212.

Berdasarkan buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok yang ditulis Marwan Batubara, sedikitnya ada 7 kasus besar yang melilit Ahok sejak menjadi Wakil dan Gubernur DKI Jakarta.

Pertama, berdasarkan hasil audit resmi BPK, Ahok terindikasi terlibat korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras. Bahkan dalam prosesnya Ahok telah melakukan 6 pelanggaran yang serius sehingga negara dirugikan sebesar Rp191 miliar karena membeli lahan sendiri.

Kedua, kasus lahan Taman BMW. Ahok diduga terlibat korupsi dalam pelepasan lahan Taman BMW seluas 12 hektar di Sunter di Jakarta Utara. Lahan itu sedianya akan digunakan untuk dibangun Jakarta International Stadium (JIS) Persija. Tapi lahan itu ternyata dikuasai PT Buana Permata Hijau (BPH).

Ketiga, kasus lahan Rusun Cengkareng. Kasus ini berawal ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2015 seharga Rp668 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno. Pembelian dilakukan Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta (sekarang bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta). Lahan itu dibeli untuk pembangunan rumah susun (rusun).

Pembelian itu belakangan dipermasalahkan saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, lahan itu juga terdata sebagai milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) DKI Jakarta. Jika demikian, Pemprov DKI telah membeli lahannya sendiri.

Keempat, penyelewengan dana corporate social responsibility (CSR) yang merupakan kompensasi dari para pengembang. Harusnya dana itu dimasukkan dulu ke dalam APBD DKI, baru digunakan sesuai perencanaan dan pagu anggaran yang disediakan. Nyatanya dana itu langsung digunakan untuk berbagai fasilitas seperti jalan lingkar Semanggi, baru diappraisal nilainya di-netting ke dalam APBD.

Kelima, penyimpangan dana non budgeter. Berbagai proyek pembangunan di DKI Jakarta selama dipimpin Ahok disusun dan ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan DPRD DKI Jakarta dan tanpa menggunakan dana APBD DKI Jakarta. Intinya, Ahok menggunakan dana pengusaha untuk pembangunan fasilitas publik.

Menurut Ahok, pembangunan yang menggunakan APBD prosesnya rumit, sehingga dia memilih cara cepat dengan mengumpulkan dana kompensasi dari para pengembang proyek di Jakarta dan Ahok merasa itu adalah wewenang diskresinya.

Direktur Utama Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Kepada penyidik KPK, dia menyatakan ada 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, yang anggarannya akan dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau Agung Podomoro membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp1,6 triliun. Namun mekanisme ini melanggar aturan yang ada dan tak bisa dipertanggungjawabkan.

Keenam, kasus reklamasi Teluk Jakarta. Pada tahun 2015 (masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok), pembangunan di Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Namun dalam prosesnya pulau yang dibangun di proyek reklamasi ini tanpa menggunakan izin lingkungan (Amdal), penerbitan IMB tanpa penjelasan rencana tata ruangnya, bahkan tanpa IMB.

Ketujuh, kasus-kasus korupsi Ahok di Belitung Timur. Mantan Bupati Belitung Timur yang juga menjadi pasangan Ahok dalam Pilkada Kabupaten Beltim, Khairul Effendi, pernah mengungkap buruknya kinerja Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Bupati Beltim.

Pada hari Rabu, 9 Desember 2014, Komite Masyarakat Peduli Penyalahgunaan Kekuasaan (Kompak Babel), LSM Alamak Babel, Maki Babel, melaporkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ke KPK atas dugaan perusakan hutan lindung dan penambangan ilegal di Gunung Nayo, Belitung Timur, dengan nomor aduan (2014-12-000152). Penambangan pasir kuarsa di kawasan hutan lindung ini mulai ditangani kepolisian pada tahun 2010, dan pada awal tahun 2011 dilimpahkan kasusnya untuk ditangani Polda Bangka Belitung.

Bersama Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan Provinsi, waktu itu polisi telah menemukan lokasi penambangan pasir kuarsa CV Panda yang dimiliki oleh Ahok berada di kawasan hutan lindung. Hal itu berdasarkan Peta 410 (SK Menhut 410 thn 1986) dan Peta 357 (SK menhut 357 thn 2004). Namun hingga saat ini belum ada kejelasan kelanjutan proses hukum kasus ini. Fakta dari rekam kronologis, dapat diketahui kalau tahun 1992 - 1998 CV Panda melakukan operasi produksi pasir kuarsa di kawasan hutan lindung tadi dan baru berhenti pada 20013. Artinya perusahaan CV Panda melakukan penambangan terlarang selama kurang lebih 9 tahun, dan hal ini jelas pelanggaran hukum yang patut dipidana.

Dengan rekam jejak Ahok yang sangat buruk di atas, terutama dalam hal dugaan korupsi, sepertinya Jokowi sedang bermain-main dengan risiko kepemimpinannya. Nama baik Jokowi bisa jadi buruk dibuatnya, seburuk tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Ahok.

Kita lihat saja seberapa kuat Jokowi mengangkat kembali barang rongsokan yang bernama Ahok, tokoh tak kredibel, pemarah, dan cenderung merugikan negara. Prosesnya sangat menarik untuk dinikmati...!

Penulis adalah wartawan senior.

503

Related Post