Polisi Kok Menjadi Pembunuh Rakyat

KABAR duka itu datang dari Lapangan Sepak Bola Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sebanyak 182 orang tewas dan ratusan lainnya diangkut ke rumah sakit guna mendapatkan pertolongan medis seusai pertandingan yang berlangsung Sabtu, 1 Oktober 2022 malam.

Tragedi memilukan itu terjadi setelah Persebaya Surabaya menang melawan Arema FC. Kabarnya, pendukung Arema FC marah dan menyerbu lapangan, karena kesebelasan pujaannya kalah di kandang sendiri. Polisi reaktif dan menembakkan gas air mata. Maksudnya, supaya penonton bubar. Malangnya, penonton malah menjadi korban akibat saling dorong dan akhirnya terinjak-injak.

Angka korban masih simpang-siur, karena ada yang menyebutkan 174 orang, 130 dan 127 orang. Jumlah tersebut bisa saja berubah-ubah. Akan tetapi, yang pasti jumlahnya di atas 100 orang, termasuk dua anggota polisi. Sebuah peristiwa "pembunuhan massal." Tragedi sepak bola yang memilukan.

Kita berduka atas tragedi yang  sangat memilukan itu. Apalagi, di antara korbannya banyak anak remaja dan bahkan masih ada anak kecil. Berdasarkan kabar yang beredar baik di media mainstream maupun media sosial (medsos), ada  pasangan suami-istri beserta anaknya yang tewas. Maklum, sepak bola adalah olahraga rakyat dan sangat diminati oleh banyak keluarga di Indonesia.

Tragedi sepak bola! Itulah yang pantas dikatakan atas peristiwa tersebut. Kita sedih dan pilu. Kita prihatin dan marah. Kita berduka atas peristiwa yang semestinya tidak terjadi seperti itu. Andaikan aparat kepolisian tidak melakukan tindakan brutal dengan menembakkan gas air mata ke arah penonton, termasuk yang berada di tribun, jumlah korban dipastikan tidak sebanyak itu.

Aparat kepolisian atas perintah atasannya - bisa Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) setempat atau Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur - menembakan gas air mata sambil mengejar, menendang dan menginjak penonton yang sudah terkapar.  Ini bisa kita tonton di video yang beredar.

Perintah atasan atau komandan sudah jelas. Sebab, tanpa perintah komandan, tidak mungkin polisi di lapangan menembakkan gas air mata. Tanpa ada komando, tidak mungkin mereka yang bertugas di lapangan yang rata-rata berpangkat rendah melakukan hal itu.

Buktinya ada perintah menembakkan gas air mata ke arah penonton jelas. Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Nico Afinta menyebutkan penembakan gas air mata itu sesuai prosedur. Artinya, ia menyetujui penembakan gas air mata di lapangan bola tersebut  Bahkan, diduga ia memerintahkannya. Prosedur yang mana yang sesuai?

Padahal, induk organisasi sepak bola internasional FIFA (Federation International de Football Association) dengan tegas dan jelas melarang penggunaan gas air mata dalam usaha menghalau atau menghentikan keributan di lapangan bola. Apa yang dilarang FIFA tentu sangat beralasan. Bisa jadi petinggi kepolisian di negeri ini tidak mengetahuinya atau pura-pura tidak tahu.

Kita marah ketika membaca maupun menonton berita peristiwa yang terjadi pada saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu. Apakah petinggi polisi yang bertanggungjawab dalam peristiwa itu memiliki nurani dan Pancasialis. Kalau ia, segeralah Anda mundur dari jabatannya. Kalau tidak mundur, Anda tidak bernurani dan tidak Pancasilais.

Hei Kapolda Jatim, Nico Afinta! Anda tidak cukup hanya minta maaf dan mengatakan prihatin. Anda harus jantan, segera mundur. Demikian juga Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), Mochamad Iriawan- yang juga pensiunan polisi, segeralah mundur, sebelum FIFA menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada persepakbolaan nasional. Anda jangan bangga menjadi Ketua Tim Investigasi PSSI. 

Harus disadari, yang terjadi di Malang itu secara tidak langsung merupakan pembunuhan massal yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia. Kok polisi yang mestinya menganyomi masyarakat, malah brutal menembakkan gas air mata.

Rakyat sudah banyak yang marah dan muak atas kelakuan polisi, terutama setelah kasus pembunuhan anggota polisi Josua Hurabarat yang dilakukan oleh komplotan polisi, Irjen Ferdy Sambo. Apakah polisi yang digaji rakyat (uang APBN - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)  harus menjadi pembunuh? 

Apakah senjata yang dipegang anggota polisi, termasuk gas air mata, yang juga dibeli dari uang rakyat diperintahkan untuk membunuh rakyat. Apakah Polri sudah berubah menjadi   'drakula' yang setiap saat siap membunuh rakyat? 

Ayo, segera benahi institusi Polri. Singkirkan anggota polisi yang tidak merakyat. Bersihkan polisi yang masih berjiwa militer.  Mumpung rakyat masih bisa menahan diri dan baru melampiaskan amarahnya lewat medsos.

1789

Related Post