Politik Identitas untuk Menyudutkan, Melemahkan dan Menyerang Umat Islam
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DALAM diskusi kajian politik Merah Putih, seorang mahasiswa UIN mendapatkan giliran pertama, untuk presentasi topik Politik Identitas, langsung ambil secarik kertas dari sakunya dengan gaya dan percaya diri, langsung membaca sebuah pantun :
"Membeli panci hitam - tiba dipasar tiban. Waktu dulu membenci islam, dekat pemilu ikut pengajian"
"Mengaku pendekar silat - kaki dilipat membaca ayat. Beredar foto pejabat sholat - agar dapat simpati rakyat."
"Orang dituntun naik kereta - si Minah menuju Jakarta. Saya berpantun sesuai fakta. Bukan fitnah tapi nyata“ Merekalah pendekar politik identitas.
Tanpa rasa malu, begitu keluar berkamonflase kumat lagi cuap cuap bahwa penggunaan politik identitas adalah berbahaya, praktik politik identitas bisa merusak sendi-sendi persaudaraan antar anak anak bangsa. Langganan kesurupan setiap saat tanpa merasa risi dan berdosa.
Inkubasi dari ingatan rasa dendam kekalahan Ahok di Pilkada DKI melahirkan narasi politik identitas Penguasa pendendam kering negawaran.
Istilah “politik identitas” pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974.
Kalau didefinisikan dalam kalimat sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka secara bersama sama.
Para aktor politik sadar betul bahwa para setiap Pemilu/Pilpres untuk menang tidak cukup mengandalkan adu gagasan dan tawaran-tawaran rasional tentang bagaimana menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, memerangi terorisme, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya. Mereka merasa perlu jualan identitas untuk menarik calon pemberi suara.
Apakah cara menjual identitas seperti itu memang diharamkan di Indonesia sehingga penguasa begitu bernafsu dan masif melarang praktek politik identitas dan harus dihindarkan oleh setiap orang yang berkampanye untuk menarik simpati massa?
Sesungguhnya politik identitas sah sah saja diterapkan di Tanah Air kita karena memang tidak ada ketentuan yang melarangnya. Sebab, Indonesia menganut paham demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 28, menghargai atas hak asasi manusia, yang isinya merupakan penguatan identitas warga negara. Sementara itu UU Nomor 2 tahun 2008, dinyatakan bahwa asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, ayat kedua, parpol dapat mencantumkan identitas tertentu yang mencerminkan parpolnya.
Dengan demikian sah sah saja orang memilih calon pemimpinnya karena jujur, sederhana, dia tampan, karena dia taat dalam menjalankan perintah agamanya dan sebagainya. Sehinga masyarakat boleh boleh saja jika memilih berdasarkan suku, ras dan agama. Yang tidak boleh dilakukan adalah memaksa orang untuk memilih yang bukan pilihannya.
Bahkan dalam sejarahnya politik identitas ini dipakai oleh elite politik bangsa kita untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Waktu itu Politik identitas digunakan sebagai salah satu strategi untuk melepaskan Indonesia dari Belanda.
Identitas tersebut menegaskan bahwa fenomena ini menjadi bingkai dasar tentang kemerdekaan Indonesia. Jong Islamic Bond yang melibatkan diri ke dalam Sumpah Pemuda, kian memperkuat bahwa identitas Islam memiliki pengaruh dalam kemerdekaan Indonesia.
Jangankan di Indonesia, di negara yang penuh sesak dengan sentimen-sentimen komunal, isu-isu identitas masih berperan penting dalam kontestasi pemilu seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Di negara-negara Barat itu, pertarungan politik tidak hanya ditentukan oleh isu-isu rasional seperti layanan kesehatan dan cara mengatasi pengangguran, tetapi juga diwarnai oleh isu-isu yang kental muatan identitas seperti keberadaan imigran, aborsi, homoseksualitas, pemakaian hijab dan cadar, dan seterusnya.
Dalam buku yang berjudul “kewargaan multicultural” karya Willy Kylmlicka maka akan tergambar disana betapa soal identitas ini menjadi jualan untuk menarik simpati massa dalam pemilihan calon pemimpinnya.
Mereka mengamalkan politik identitas dan itu sah sah saja karena memang bagian dari dinamika demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula dalam Buku Politics and International relations comparative politics, yang ditulis oleh Pippa Norris (Editor), 1997, Harvard University, Massachussset yang juga membicarakan soal politik identitas dalam perekrutan caleg oleh partai politik di banyak negara di Eropa.
Mengapa sekarang politik identitas itu di Indonesia tiba-tiba menjadi sesuatu yang haram dan salah, seakan saat ini politik identitas itu bertentangan dengan dasar negara sehingga harus dilarang.
Asal usul larangan politik identitas di Indonesia adalah pasca pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta yang berhasil mengantarkan Anis-Sandi sebagai pemenangnya. Paska kemenangam Anies partai partai pengusung beserta elemen pendukungnya sering diserang oleh para buzzer sebagai pihak yang mengusung kampanye identitas.
Para buzzer itu begitu rajin menyerang elemen elemen pendukung Pilkada Jakarta 2017 dengan sebutan “kadrun” yang identik ke arab araban, penjual ayat dan penjual agama untuk menangguk suara. Mereka bahkan menyerang pribadi seorang Anies Baswedan sebagai keturunan Yaman yang numpang tinggal di Indonesia.
Narasi narasi yang bernada kebencian tersebut bisa jadi merupakan wujud sakit hati setelah kandidat yang mereka usung selama Pilkada DKI 2017 berhasil dikalahkan oleh politik identitas yang memang lebih murah harganya.
Ahok saat itu yang didukung penguasa bahkan terang terangan didukung Jokowi sebagai presiden dan sumberdaya finansial (uang), sembako dan buzzer dalam kampanyenya, harus tumbang.
Rupanya kekalahan tersebut begitu membekas sehingga menimbulkan luka yang mendalam, sulit sekali disembuhkan sehingga menimbulkan dendam yang terus terpelihara. Dari rasa dendam itulah lahir larangan Politik Identitas.
Munculah framing macam-macam bahwa tokoh-tokoh yang berbicara soal agama atau mengenakan atribut agama Islam seperti jilbab, baju gamis atau sejenisnya dianggap sebagai radikal, intoleran bahkan dituduh sebagai penjual agama.
Tetapi anehnya ketika pemilu akan tiba, tanpa rasa malu para penguasa yang melarang politik identitas justru menggunakan politik identitas untuk menjual diri menarik simpati.
Tiba tiba berganti penampilannya. Bagi tokoh wanitanya, yang biasanya tidak mengenakan jilbab langsung memakai jilbab. Sementara yang laki laki memakai songkok atau gamis sebagai simbol perubahan perilakunya biar terkesan islami dan taat agama.
Mereka juga mulai rajin mendatangi tempat tempat ibadah seperti masjid atau mushola. Tidak lupa datang ke pesantren, panti asuhan dan lembaga lembaga keagamaan lainnya.
Untuk mengesankan bahwa dirinya identik dan sejalan dengan aspirasi target yang didatanginya. Bahkan ada diantaranya yang nekad jadi imam sholat pada hal tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.
Fenomena tersebut tentu saja merupakan bagian dari pengamalan dari politik identitas yang selama ini di-framing oleh mereka dilarang. Mereka semua manusia munafik.
Kampanye anti politik identitas yang marak akhir akhir ini hanya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan untuk menjegal calon yang tidak dikehendaki penguasa karena minim prestasi.
Kampanye anti politik identitas digunakan oleh kelompok pro-status quo untuk modus stereotyping, stigmatisasi serta labelisasi pada kelompok kritis di luar pemerintahan yang tidak sejalan dengan kebijakan penguasa. Tujuannya, menutup keran aspirasi kelompok kritis untuk membungkam suara korektif kepada penguasa.
Di samping ada agenda besar digunakan untuk menyerang Capres yang menurut mereka berbau agama Islam . Bahkan untuk, menyudutkan, melemahkan dan menyerang umat Islam Indonesia yang mayoritas. ****