Poros Tengah 3.0
Oleh Ahmad Fahmi - Seorang Warga warga NU tanpa KTA
Secara tidak disangka dan perlahan-lahan konstelasi koalisi seperti Poros Tengah mulai muncul dengan dideklarasikannya pasangan capres-cawapres Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar. Jika pada tahun 1999 parta-partai yang ikut adalah PKB, PAN, PPP, PK dan PBB serta Partai Golkar, maka kini adalah PKB, PKS dan Partai Ummat serta Partai Nasdem. Di tahun 1999 saya sangat semangat mengikuti langkah-langkah out of the box dari Amien Rais dan kawan-kawan yang berhasil menjadikan Gus Dur Presiden. Saya merasakan aura dan semangat Koalisi Perubahan saat ini mirip dengan Poros Tengah waktu itu, sehingga layak disebut Poros Tengah 3.0.
Dinamika terbentuknya Poros Tengah 1.0 sangatlah menarik untuk dibahas. Pencetus utamanya menurut saya adalah kegalauan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam yang seakan-akan dipaksa untuk memilih antara Habibie yang diusung oleh Partai Golkar atau Megawati yang diusung oleh PDI Perjuangan. Dari banyak diskusi yang dilakukan oleh banyak tokoh Poros Tengah akhirnya mengkristal usulan yang dipelopori oleh Amien Rais untuk mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Hingga saat terakhir banyak sekali yang melihat ide ini sebagai lelucon politik atau yang sinis dengan menyebut poros tengah dengan singkatan pongah alias sombong. Dalam dinamika Poros Tengah 1.0 ini ada pernyataan Gus Dur yang melekat di ingatan saya yang isinya kira-kira begini: Amien Rais mencalonkan Gus Dur sebagai Presiden, Gus Dur mencalonkan Megawati sebagai Presiden, mestinya sekarang Megawati mencalonkan Amien Rais sebagai Presiden, jadi mbulet gitu. Betapa santai dan humorisnya Gus Dur dalam politik yang sedang tegang waktu itu.
Kita tahu, hingga saat-saat terakhir Ketua Umum DPP PKB Matori Abdul Jalil tetap mencalonkan Megawati sebagai capres karena itu adalah Keputusan resmi Muspim PKB tanggal 16 Agustus 1999. Bagi yang tertarik merasakan dinamika di dalam tubuh PKB waktu itu, link ini bisa membantu Poros Tengah Setelah PKB dan PDIP Besanan .
Tidak kalah menariknya dinamika yang terjadi di antara partai-partai yang digalang ke dalam Poros Tengah oleh Amien Rais. Jika PAN, PK (nama lama PKS) dan PPP bersemangat membantu Amien Rais menggalang Poros Tengah 1.0 dan menyetujuin pencalonan Gus Dur sebagai calon Presiden, tidak demikian halnya dengan PBB. Hingga saat terakhir menjelang pemungutan suara, Yusril Ihza Mahendra tetap mencalonkan diri sebagai calon Presiden pada Sidang Umum MPR 1999. Namun setelah diajak diskusi dan didesak oleh para penggagas Poros Tengah akhirnya menarik pencalonannya itu. Sepertinya Yusril Ihza Mahendra tidak sukarela menarik pencalonannya itu jika dilihat pada video ini Pemilihan Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 pada menit 2:40 Yusril menampik ciuman AM Fatwa dari Fraksi Reformasi yang gembira karena Yusril mengundurkan diri sebagai calon Presiden. Berbeda ekspresi dengan Hartono Mardjono anggota fraksi PBB yang ada di sebelahnya yang sepertinya bersemangat atas pencalonan Gus Dur sebagai Presiden.
Walhasil banyak muncul hal-hal tak terduga pada Sidang Umum MPR 1999 itu, misalnya Amien Rais bisa terpilih menjadi Ketau MPR meskipun partainya yaitu PAN hanya meraih posisi kelima perolehan suara pemilu dengan raihan 7.1 %. Atau ketika Megawati dijadikan wapres setelah sehari sebelumnya kalah oleh Gus Dur, dicalonkan bukan oleh PDI Perjuangan tetapi oleh PKB atas inisiatif Ketua Umumnya Mathori Abdul Jalil dan atas permintaan Gus Dur.
Spirit Poros Tengah 1.0 itu saya bisa saksikan langsung ketika Amien Rais menjadi pembicara pada maulid di majelis taklim KH Muhammad Yunus Sasi, kyai Betawi dari Kramat Jati di pertengahan tahun 2000. Para kyai Betawi yang afiliasinya NU itu bersemangat menyambut kehadiran Amien Rais, bisa jadi pada waktu itu pengaruh Amien Rais di kalangan mereka lebih besar dari Gus Dur.
Saya masih ingat kata-kata pembuka Amien Rais pada ceramah maulid itu, meski formulasi kata-katanya saya lupa. Intinya yang dikatakan Amien Rais adalah umat Islam seharusnya bersyukur karena punya Presiden yang namanya Abdurrahman Wahid, punya ketua MPR yang namanya Amien Rais serta punya Ketua DPR yang namanya Akbar Zahiruddin Tanjung karena mereka semua berasal dari aktifis pergerakan Islam.
Sayangnya Poros Tengah 1.0 itu berakhir tragis dengan lengsernya Gus Dur kurang lebih setahun setelah ceramah maulud Amien Rais itu. Sebagai orang yang semangat dengan konsep Poros Tengah 1.0 itu saya merasa seperti anak yang melihat orang tuanya cerai, sedih, tak mau menerima kenyataan, tidak mau memilih ayah atau ibu, menyalahkan keadaan, dan bercampur baur segala perasaan. Secara politis afiliasi partai ideal saya adalah PPP di mana NU dan Muhammadiyah bekerjasama, bukan seperti PKB yang sangat NU atau PAN yang sangat Muhammadiyah. Mungkin sebab itu saya tidak mampu memilih Gus Dur atau Amien Rais, saya maunya Gus Dur dan Amien Rais. Dalam PPP itu ada semangat ukhuwah Islamiyah seperti itu.
Bagus sekali pasangan AMIN mau membawa trilogi ukhuwah NU menjadi konsepnya secara simultan yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah, tanpa perlu mempertentangkannya satu sama lain. Setelah Gus Dur lengser partai Islam atau berbasis massa Islam malu-malu mengemukakan ukhuwah islamiyah karena dianggap sebagai lawan dari ukhuwah wathaniyah.
Poros Tengah 2.0 terjadi pada tahun 2009 ketika PKS (57 kursi), PAN (46 kursi), PPP (38 kursi) dan PKB (28 kursi) dengn dijangkari oleh Partai Demokrat (148 kursi) mencalonkan pasangan SBY-Boediono yang menang satu putaran dengan hasil 60,8 % mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Meskipun Poros Tengah 2.0 calonnya SBY, waktu itu saya lebih memilih Jusuf Kalla.
Seperti kita ketahui pada pilpres 2014 dan 2019 tidak ada sama sekali koalisi Poros tengah, meskipun sebenarnya pada kedua pilpres ada inisiasi-inisiasi untuk itu yang sayangnya tidak berhasil. Yang paling terkenal adalah pertemuan Cikini yang diadakan di rumah Ratna Hasyim Ning di Jl. Cikini Raya, Jakarta pada tanggal 17 April 2014 untuk membicarakan pilpres 2014. Pada Pilpres 2024 ini sepertinya jika tidak ada halangan terbentuk Poros Tengah 3.0 lewat koalisi Perubahan.
Sebenarnya Koalisi Perubahan belum bisa disebut sebagai Poros Tengah 3.0 jika kita memakai kriteria sebutan poros tengah lebih kaku dengan mengacu ke Poros Tengah 1.0. Pemicu utama Poros Tengah 1.0 adalah partai-partai Islam atau berbasis massa Islam tidak mau dipaksa-paksa hanya untuk memilih Megawat atau Habibie, sehingga mereka mencari alternatif untuk menghindari keterbelahan secara frontal. Istilah tengah pada kata Poros Tengah itu maksudnya mencari jalan tengah di antara Habibie yang dianggap kanan dan Megawati yang dianggap kiri. Jika konsep itu kini kita terapkan itu pada Pilpres 2024, untuk menghindari pengkubuan frontal antara perubahan (Anies Baswedan) dan keberlanjutan (Prabowo/Ganjar) maka perlu dicari calon Presiden Alternatif sebagai penengah. Berfungsi sama seperti Gus Dur di tahun 1999, capres ini ada untuk menghindari keterbelahan bangsa Indonesia jika salah satu dari dua kubu yang berhadapan frontal itu menang. Saya melihat calon Presiden alternatif itu adalah Mahfud MD dan partai-partai yang menjadi pengusungnya adalah koalisi Partai Golkar (85 kursi) dan PAN (44 kursi) cukup jumlahnya untuk melewati treshold yang 115 kursi DPR. Pasangan cawapres untuk Mahfud MD bisa jadi adalah Airlangga Hartarto atau Erick Thohir. Skenario ini bisa jadi muncul setelah Prabowo Subianto memilih Gibran sebagai cawapres. Tapi skenario ini hanya mungkin terjadi jika Partai Golkar dan PAN tiba-tiba menjadi bandel mengikuti jejak Partai Nasdem dan PKB yang sudah bandel lebih dulu. Semua itu tergantung nyali Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan.
Jika itu terjadi maka jumlah pasangan capres akan menjadi 4 pasang. Berkah untuk warga NU yang tidak perlu pusing memilih, karena satu-satunya capres yang berasal dari kalangan NU hanyalah Mahfud MD. Potensi kemenangannya pun bisa menjadi tinggi secara tak terduga, sama seperti pecapresan Gus Dur yang awalnya banyak dilihat sebagai lelucon politik, tetapi akhirnya bisa menang dari Megawati dengan skor 373 suara berbanding 313 suara atau 54 %. (*)