Presiden Keluar dari Rambu Rambu Konstitusi
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih
RENTETAN kejadian politik busuk terus terjadi. Partai Berkarya yang identik dengan keluarga Cendana, dan dianggap berpotensi menggangu kekuasaan, diambilalih oleh Muhdi PR dari kepemimpinan dari Tommy Soeharto.
Pengambilalihan partai tetap dengan modus yang sama, pada Maret 2020, sejumlah kader Partai Berkarya membentuk Presidium Penyelamat Partai, terjadilah Munaslub.
Dari Munaslub itu, Muchdi Purwopranjono terpilih sebagai ketua umum dan Badaruddin Andi Picunang sebagai Sekretaris Jenderal. Secepatnya Kemenkumham mengesahkan lewat SK yang diterbitkan kementerian tersebut mengesahkan Partai Berkarya di bawah pimpinan Muhdi PR.
Kejadian dramatis terus terulang ketika penguasa merasa terganggu dengan munculnya capres Anies Baswedan, sebagai pengusung Partai Demokrat akan dipatahkan.
Lagi dengan modus yang menciptakan Munaslub, masuk ke ranah PTUN, perampok partai dimenangkan oleh PTUN dan disyahkan oleh Menkumham. Patahlah Partai Demokrat, otomatis Anies Baswedan sebagai terpental dari capres 2024.
Sebelumnya kongres Partai Amanah Nasional (PAN) dibuat ribut dan dalam perjalanan waktu harus dibersihkan dari tokoh pendiri partai PAN yang berseberangan dengan penguasa dan diserahkan ke Zulkifli Hasan yang relatif jinak dan bisa dikendalikan penguasa.
Rentetan kejadian politik yang anomali menyimpang dari kondisi normal karena pengaruh berkuasa yang ingin tetap berkuasa, munculnya rekayasa dramatis bersumber dari rekayasa penyakit demokrasi adalah adanya ketentuan Presidential Treshold (PT) 20% kursi atau 25% suara, yang telah diberlakukan sejak Pemilu pilpres pertama tahun 2004.
Dampak ikutannya makin runyam dan parah, presiden terkesan keluar dari rambu-rambu konstitusi: Presiden Jokowi dan lingkaran dalamnya mempertimbangkan opsi untuk menunda Pemilu 2024 sekaligus memperpanjang masa jabatan Presiden.
Sejalan dengan strategi penundaan pemilu, sempat muncul ide untuk mengubah konstitusi guna memungkinkan Presiden Jokowi menjabat lebih dari 2 periode.
Setelah rekayasa ini kandas muncul rekayasa lanjutan, strategi mengkerdilkan KPK berjalan beriringan dengan strategi memperalat hukum sebagai instrumen dalam strategi pemenangan pilpres 2024. Calon presiden dari penguasa harus aman dan menang pada Pilpres 2024.
Setelah penguasa merasa bisa memperdaya sebagian ketum partai, tidak ada habisnya akan bulus terus berlangsung disiapkan komposisi hakim Mahkamah Konstitusi untuk antisipasi dan memenangkan sengketa hasil pilpres 2024.
Di ujung cerita rekayasa busuk yang akan menghancurkan proses demokrasi bisa berjalan secara normal. Paska Anies Baswedan bisa diamputasi maka capres Prabowo Subianto (PS) juga dalam ancaman dikerdilkan dengan membatasi parpol yang boleh koalisi dengan dengan PS.
Sesungguhnya ada rekayasa tersembunyi, ketika PS bisa dipatahkan tanpa partner koalisi partai untuk memenuhi PT 20 %, maka terjadilah Capres tunggal Ganjar Pranowo. Seandainya rekayasa ini terjadi maka dipastikan akan ditolak oleh KPU.
Kembalilah pada skenario awal perpanjangan masa jabatan Presiden atau hidup kembali masa jabatan presiden untuk periode ke tiga.
Semua opsi di atas, penguasa saat ini tidak berdiri sendiri ada pengendali kekuatan yang lebih besar mengendalikan proses politik di Indonesia yang ingin tetap menancapkan kekuasaannya.
Pertarungan kekuasaan Cina dan Amerika di Indonesia masuk begitu dalam dan penguasa saat ini seperti tidak berdaya menghadapinya.
Ke mana proses politik Indonesia akan berlabuh, hancur atau Indonesia bisa kembali dan bangkit. Kata kuncinya adalah harus ada kekuatan rakyat mendobrak negara kembali ke UUD 45, baik sebelum atau sesudah Pilpres 2024. Idealnya sebelum Pilpres 2024; Indonesia sudah bisa kembali ke UUD 45.
Kalau itu tidak terjadi Indonesia akan terus meluncur pada kekacauan dan kehancuran. Presiden keluar dari rambu rambu konstitusi, saat ini dalam kondisi tidak berdaya tersisa justru ketakutan paska lengser dari kekuasaannya. *****