Presiden Lempar Handuk?
Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah.
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Sabru (28/03). Lockdown itu otoritas Pemerintah Pusat, titik. Begitulah keputusan presiden. Keputusan nggak bisa diganggu gugat. Rencana Anies, Gubernur DKI untuk lockdown Jakarta batal setelah kedatangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ke balai kota membawa pesan istana.
Intinya, lockdown bukan wewenang Gubernur. Dan Anies tak akan melockdown Jakarta tanpa seijin presiden. Bagi Anies, ini prinsip. Tak ada negara dalam negara. Sebagai Gubernur, Anies tak akan langgar aturan dan berseberangan dengan Presiden.
Meski Jakarta belum jadi lockdown, Anies harus kerja ekstra menghadapi penyebaran Covid-19 yang semakin masif. Pasalnya, Jakarta jadi epicentrum penyebaran virus mematikan ini. Berbagai langkah dilakukan Anies, termasuk test massal, menjemput pasien covid-19 di rumah, melakukan penyemprotan disinfectan, menutup semua bisnis pariwisata dan meliburkan ganjil-genap agar masyarakat tidak berjubel di public transportation.
Anies menyiapkan empat hotel dengan seluruh fasilitasnya untuk tenaga medis, menambah insentif Rp 250.000 setiap harinya. Ini adalah bagian dari support Gubernur Anies sebagai komandan perang melawan covid-19 di wilayah DKI.
Kepada seluruh warga DKI Anies minta mereka kerja dan belajar dari rumah selama 14 hari ke depan. Konsekuensinya, pemprov DKI menyiapkan anggran Rp 1,1 juta untuk keluarga tidak mampu. Persoalan logistik, Jakarta masih aman.
Semua langkah ini sesungguhnya adalah soft lockdown. Lockdown ringan-ringan saja. Tak melanggar aturan, juga tak bertabrakan dengan kebijakan pusat. Dan langkah Anies ini didukung oleh banyak pihak. Termasuk Kepala Satgas Covid-19 Pusat.
Langkah Anies belakangan diikuti oleh sejumlah Kepala Daerah. Malah Walikota Tegal, Dedy Yon Supri Yono, lebih nekad lagi. Dedy berencana akan melakukan lockdown lokal setelah satu orang positif Covid-19 dan satu orang meninggal karena covid-19. Lockdown dimulai tanggal 30 Maret nanti.
Sebelumnya, gubernur Papua, Lukas Enembe, juga melakukan lockdown. Langkah ini diambil Lukas Enembe untuk menyelamatkan warga Papua sebelum covid-19 masuk ke wilayah itu. Ini bukan saja langkah pro aktif, tetapi juga tindakan sangat berani, karena berlawanan dengan keputusan Presiden.
Langkah Walikota Tegal dan Gubernur Papua, memberi isyarat bahwa peringatan Presiden sepertinya tak didengar. Bagi mereka, nyawa rakyat mereka lebih penting. Akankah langkah dua kepala daerah ini diikuti oleh kepala daerah yang lain? Bagaimanapun keputusan gubernur Papua dan Walikota Tegal pasti berpengaruh terhadap daerah yang lain.
Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah.
Sementara penyebaran covid-19 makin hari semakin tinggi angkanya. Sudah tembus di angka ribuan. Sampai dengan Jum’at 27 Maret kemarin yang positif Covis-19 sudah mencapai 1046 orang. Dari jumlah tersebut, 87 orang diantaranya meninggal dunia.
Masifnya gelombang protes dan makin tingginya angka yang positif Covid-19 membuat Presiden mulai bimbang dengan keputusannya sebelumnya. Kali ini, Mahfuz MD sepertinya mendapat tugas khusus menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai dasar untuk melakukan lockdown lokal. Apakah ini artinya pemerintah pusat sudah give up? Lalu menyerahkan tanggung jawab ini ke masing-masing Pemerintahan Daerah?
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa