Prihatin Golkar
Oleh: Ady Amar - Kolumnis_.
PARTAI Golkar masuk dalam radar yang mesti dibegal, dan itu dengan pergantian ketua umumnya, Airlangga Hartarto. Dimungkinkan lewat Munaslub.
Sepertinya begal partai ini jadi andalan rezim dalam menempatkan partai politik dalam ketiak kekuasaan.
Membegal Golkar seperti memakai-mengulang skenario saat membegal PPP dengan mencopot ketua umumnya, Suharso Monoarfa, itu memang tampak lebih efektif, tidak bertele-tele memakan waktu panjang, yang itu belum tentu berhasil.
Agar tak menimbulkan riak perlawanan, maka jabatan Suharso Monoarfa sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, tetap dipertahankan. Maka, menggusurnya cukup lewat forum Mukernas, September 2022, itu berjalan mulus. Diangkatlah orang kepercayaan Presiden Jokowi, Muhamad Mardiono, sebagai Plt Ketua Umum PPP.
Tak muncul sedikit pun perlawanan _stakeholder_ PPP. Semua seperti bisa menerima keadaan saat "Ka'bah" itu dirubuhkan marwahnya, tanpa ada yang bisa membelanya. Semua pengurus partai dari pusat sampai daerah diam membisu, bengong seperti saat petir menyambar. Begal PPP bisa dikatakan sukses sebenarnya.
Beda saat membegal Partai Demokrat, lewat Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, itu memerlukan waktu panjang. Skenario seperti dibuat dadakan, sehingga yang muncul perang internal antara KSP Moeldoko versus Menkumham Yasonna H. Laoly. Bertele-tele dan Moeldoko kalah di semua tingkat pengadilan.
Kasus begal Demokrat masih menunggu putusan MA, itu lantaran Moeldoko pantang menyerah dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Rasanya juga akan keok, dan yang sah sebagai Ketua Umum Demokrat tetaplah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Begal Demokrat bisa dikatakan gagal segagalnya.
Mari fokus pada upaya begal Partai Golkar.
Jika saja membegal Golkar itu tetap dilakukan, pastilah tidak semudah membegal PPP. Sedikit lebih rumit. Akan ada perlawanan internal muncul yang berharap tidak perlu ada Munaslub, memilih konsentrasi menghadapi Pemilu 2024. Sedang yang menghendaki menggusur Ketua Umum Airlangga Hartarto juga sebanding, ditambah pasokan energi istana yang ingin menggusurnya, itu punya nilai tambah kekuatan tersendiri.
Adalah Ketua Dewan Penasihat Golkar Luhut Binsar Panjaitan-lah yang bisa disebut orang di balik layar menggusur Airlangga Hartarto. Memakai beberapa senior Golkar untuk memanaskan suasana di internal Golkar untuk adanya Munaslub. Luhut memang terang-terangan di ruang terbuka menyatakan diri siap menjadi Ketua Umum Golkar.
Keinginan Luhut, lebih tepat manuver Luhut, itu bukan semata untuk membesarkan Golkar, tapi lebih bersifat politis pragmatis "mengamankan" Golkar untuk tidak dibawa mendukung capres yang tidak "direstui" istana, dan itu Anies Baswedan. Langkah Luhut ini lebih pada membonsai Golkar untuk tetap dalam kendali istana. Maka, membaca kesiapan Luhut untuk menjadi ketua umum Golkar dicukupkan saja pada tataran guna menghadang Anies Baswedan mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Tidak perlu melihatnya pasca Pilpres, itu terlalu jauh.
Manuver Luhut itu lebih mudah bersambut, karena ia politisi senior yang punya jabatan prestis meski jabatannya itu bukan pengambil keputusan, tapi tetap saja ia lebih leluasa memainkan bidak-bidaknya melawan _vis a vis_ faksi di internal Golkar di pihak lain, yang itu menolak manuvernya. Sepertinya akan ada perlawanan seimbang, yang sulit diprediksi siapa pemenang dalam pertarungan di elite Golkar itu. Siapa pun pemenangnya, itu akan berdampak pada soliditas Partai Golkar.
Dimunculkan pula nama-nama lain yang jika tidak Luhut yang sebagai ketua umum, maka nama Bambang Soesatyo--saat ini Ketua MPR RI--meski Bambang belum jelas-jelas menyatakan kesediaannya. Tapi ada satu lagi pembantu Presiden Jokowi, yang memang selalu pasang badan, Bahlil Lahadalia--Menteri Investasi Indonesia merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal--yang menawarkan diri siap menjadi Ketua Umum Golkar.
Bahlil yang bertubuh kecil mungil, ini memang lincah bak kancil, tapi tidak dalam kisah "Kancil Mencuri Timun", tapi mencuri perhatian dalam memenuhi hasrat Jokowi. Bahlil pandai membaca arah angin. Tidak perlu apa yang diutarakannya itu jadi kenyataan. Terpenting buatnya, ia pasang badan dengan keinginan Jokowi dalam "menyelamatkan" Golkar untuk tetap pada jalur keinginan istana. Bahlil sadar betul bahwa perannya meramaikan gonjang-ganjing begal Golkar, itu sekadar peran pembantu. Tapi itu pastilah cukup bisa menyenangkan Sang Bos, Jokowi. Pastinya Itu punya tambahan nilai plus tersendiri buatnya.
Kita akan lihat setidaknya dalam pekan depan "perang" faksi di Golkar akan dimenangkan pihak mana, dan itu akan menentukan konstelasi politik nasional menuju Pilpres 2024. Sungguh prihatin melihat Partai Golkar, yang bisa bernasib seperti PPP, atau muncul seperti Partai Demokrat yang berani melawan begal istana dengan gagah berani. Sepertinya memang cuma ada dua pilihan kemungkinan yang tersedia bagi Partai Golkar. Belum tersedia pilihan lain, meski semua dalam politik serba dimungkinkan.**