Quo Vadis Teroris Sebenarnya?

Oleh: Yusuf Blegur

Di tengah kisruh dan amburadulnya penyelenggaraan negara, rakyat kembali disuguhi aksi penangkapan terduga teroris. Menariknya, tindakan cepat Densus 88 menyasar beberapa ulama dan tokoh-tokoh Islam, saat beberapa kasus yang termasuk kategori extra ordinary crime lainnya seperti korupsi, persekongkolan pembunuhan, perusakan lingkungan dll. Kejahatan-kejahatan sistematik dan terorganisir yang membahayakan kehidupan rakyat, negara dan bangsa itu, terkesan ditutup-tutupi dan lambat penanganannya. Teror, teroris dan terorisme justru seperti menjadi hak prerogatif umat Islam. Islam cenderung disematkan menjadi rahim subur dari faham intoleransi, radikalis dan fundamentalis serta banyak lagi framing jahat yang berisi justifikasi negatif dan stereotip. Semua aspek historis dan keberlangsungan nilai-nilai yang menegaskan peran serta, sumbangsih dan kebesaran Islam yang menyebabkan NKRI masih berdiri tegak hingga saat ini. Seperti terdengar sayup-sayup dan nyaris tak berarti, saat negara dinilai memaksa menghadirkan dan berhadapan dengan teroris. Tindakan pencegahan dan penanganan terhadap teroris yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2018. Mengusik keingintahuan publik terutama dikalangan umat Islam. Bahwasanya, siapakah teroris yang sesungguhnya?. Di manakah di negara ini teroris berada?. Tak luput juga terbesit rasa penasaran, apakah yang sudah dilakukan negara dalam menghadapi teroris yang nyata dan tampak di depan mata?.

KONTROVERSI dan polemik penangkapan Ustad Dr. Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr. Ahmad Zain An Nazah dan Ustadz Dr. Anung Al-Hamat. Bukan saja seketika mengagetkan dan mengundang tanda tanya publik. Lebih dari itu menimbulkan persoalan psikis, kegelelisahan, dan menjadi teror bagi umat Islam. Pasalnya, penangkapan yang langsung diteruskan dengan tersangka teroris. Melibatkan beberapa orang yang notabene pegiat dakwah sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Dakwah Indinesia (PDRI) dan anggota Komisi Fatwa Majelis Umat Islam. Selain menjadi representasi kelembagaan umat Islam yang penting dan strategis. Salah seorang diantaranya juga pernah berinteraksi dengan presiden RI belum lama berselang. Peristiwa penangkapan mereka yang dianggap terafiliasi dengan teroris. Sejatinya menjadi indikasi adanya masalah serius dan membahayakan pemerintahan. Masalah-masalah prinsip terkait lemahnya pertahanan keamanan negara, rapuhnya ideologi Panca Sila dan keberlangsungan NKRI.

Seandainya saja Polri melalui Densus 88, telah bertindak dengan benar dan profesional. Publik patut memberi respek dan apresiasi. Apapun yang dilakukan aparatur keamanan terkait deteksi dini, pencegahan dan penanganan bahaya teror, teroris dan terorisme layak mendapat dukungan luas dari seluruh elemen bangsa. Namun hal itu tidak serta merta menghapus imej sinis dan sikap pesimis publik. Penanganan teroris di Indonesia terlanjur dimaknai dengan kedalaman apriori dan skeptis khususnya oleh umat Islam. Islam yang oleh persfektif global distempel sebagai agama kekerasan dan teroris, berimplikasi dieksploitasi sebagai komoditi politik pertahanan keamanan, politik anggaran dan politik pengalihan isu dalam skala nasional. Dilain sisi kejahatan-kejahatan yang sebangun dan linear dengan teroris. Seperti perampokan kekayaan sumber daya alam dan uang negara, penyimpangan demokrasi, penghancuran ekosistem lingkungan dan pelbagai kejahatan institusi negara yang yang mengorbankan rakyat. Terus-menerus mengalami pembiaran dan mencapai fase "colatelal damage'. Negara terkesan menjadi ambigu dalam mengangkat dan menyelesaikan permasalahan extra ordinari crime tersebut. Mirisnya lagi, dalam upaya penegakan hukum termasuk dalam menindak teroris guna menyelamatkan negara. Sebagian aparatur keamanan dihinggapi perilaku yang justru menebar teror itu sendiri. Rakyat secara terbuka mengalami maraknya kejahatan perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan serta semua yang merugikan kepentingan publik yang dilakukan banyak aparat keamanan. Kontradiksi dalam tubuh aparat ketika menjalankan tugas dan fungsinya, seperti menebar teror di hadapan rakyat. Rakyat dan negara sudah mengalami fase dimana akal sehat dan jiwa sudah tidak sanggup lagi mengenali siapa teroris yang sesungguhnya. Kalaupun tahu dan menyadarinya, cukup dengan menelan ludah, memakan batin dan rasa kemanusiaannya.

*Distorsi Intelejen dan Lemahnya Sistem Pertahanan Negara*

Alih-alih memetakan wawasan kebangsaan dengan pemahaman geografis, geopolitis dan geostrategis. Pemerintah justru malah asyik bermain api dengan cenderung merekayasa dan mengelola isu teroris yang mengalihkan persoalan riil banjir Sintang Kalbar dan kroni bisnis PCR saat rakyat kelojotan pandemi. Jangankan bersiap menghadapi proxy war, perang asimetri dan Chemical, Biological, Radio Active and Explosive (CBRE). Rezim kekuasan terlihat panik sekedar menghadapi melorotnya dinamika demokrasi dan menukiknya pertumbuhan ekonomi nasional.

"Power tend to corrupt - absolutely power, absolutely corrupt". Adagium itu terasa menggejala dalam tata kelola negara yang dijalankan pemerintahan sekarang ini. Kekuasaan yang semakin otoriterian dan diktatorian, pada akhirnya membuat negara menjadi begitu represif dan menggunakan tangan besi dalam menjalankan roda pemerintahan. Terlebih kepada anasir-anasir kekuatan yang dianggap mengancam dan membahayakan kepentingan kekuasaan.

Institusi dan kelembagaan negara dibuat semakin berjarak dengan dinamika rakyat. Ketidakmampuan mengelola geliat dan respon rakyat terhadap penyelenggaraan negara. Membuat kekuasan semakin kalut dan kalap menyikapi tuntutan rakyat. Suara-suara rakyat yang substansinya merupakan aspirasi kritis dari upaya refleksi dan evaluasi negara dan kebangsaan. Selalu ditempatkan sebagai ujaran kebencian, agitasi dan propaganda yang merongrong ideologi, mengancam kedaulatan dan membahayakan keberadaan negara dan bangsa. Aspirasi rakyat yang tidak sesuai selera kekuasaan, senantiasa dianggap oposisi dan musuh kepentingan pemerintah. Semua bahasa dan tindakan yang tidak masuk dalam skenario kekuasaan dianggap sebagai potensi gangguan stabilitas dan keamanan negara. Kekuasaan dengan mudahnya menempelkan identifikasi dan klasifikasi perbuatan menghasut, tindakan makar dan gerakan teroris dan semua yang bertentangan dengan penyimpangan kekuasaan (abuse of power).

Kegagalan kepemimpinan dan bangunan sistem pertahanan negara. Secara otomatis diikuti hancurnya kebijakan strategis dari petugas dan badan intelejen negara. Menyebabkan negara menjadi ajang unjuk kekuatan dan kekuasaan rezim semata. Fungsi dan peran intelejen hanya diberlakukan sebagai alat kekuasaan bukan sebagai alat negara. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan langsung ada pembajakan negara, ada manipulasi negara yang dilakukan kekuasaan.

Rezim pemerintahan yang menjadi boneka oligarki, hanya bekerja mempertahankan dan membangun kesinbungan kekuasaan semata. Rezim kekuasaan secara kasat mata dapat dilihat dari praktek-praktek penyelenggaran negara yang tunduk pada kekuatan asing, namun begitu bengis dan dzolim pada rakyatnya sendiri. Membunuh demokrasi dan mengangkangi syariat Islam guna menyempurnakan kekuasaan tiran. Perilaku rezim yang menjadi representasi sekaligus sub-koordinat dari kapitalisme dan komunisme global. Pada hakekatnya merupakan perwujudan wajah baru yang modern dari kolonialime dan imperialisme. Sejatinya, baik kapitalisme dan komunisme global. Menjadikan Islam sebagai kekuatan yang menghalangi dan mengancam kepentingan kedua ideologi itu yang berasal dari produk pemikiran dan nafsu syahwat manusia. Islam akan terus diberondong dengan senjata liberalisasi dan sekulerisasi sepanjang berlangsungnya kehidupan dunia. Sembari terus memuntahkan amunisi intoleran, radikal dan fundamental bagi Islam dan semua kepentingan syariat serta aqidah umat yang mengikatnya. Termasuk memicu pelatuk teroris yang ditembakan ke umat Islam.

Begitupun dengan isu teroris yang kadung menjadi senjata andalan kekuasaan dalam memberangus musuh politiknya. Setelah gagal dengan narasi intoleran, radikal dan fundamental. Seiring liberalisasi dan sekulerisasi, isu teroris terkadang dirasa penting dan efektif melemahkan umat Islam. Di lain sisi, negara dan aparatur keamanannya sering gagap dan gagal menghadapi teror, teroris dan terorisme di Maluku (RMS) dan di Papua. Meskipun masih termasuk wilayah dalam negeri, pemerintah begitu serba permisif dan lemah terhadap pemberontakan dan makar baik di Maluku maupun di Papua. Saking terafiliasinya wilayah Maluku dan Papua dengan dunia internasional. Rezim kekuasan melunak, sehingga harus mengganti istilah teroris dengan gerakan kelompok kekuatan bersenjata (KKB). Dilain sisi masih dalam NKRI, Densus 88 begitu spartan dan terukur terhadap persangkaan teroris terhadap para Ulama dan pemimpin Islam yang tak seia-sekata dengan rezim. Perhatian Densus 88 begitu detail dan fokusnya hingga sampai ke kotak amal dan pohon sawit. Berbeda dengan perlakuan terhadap Papua yang tak terurus.

Jadi, harusnya rakyat keseluruhan sudah bisa memahami sebenar-benarnya apa dan siapa teror, teroris dan terorisme, yang kerapkali dialamatkan ke agama Islam dan umatnya. Setidaknya bisa membedakan mana yang menjadi kemurnian jihad fisabilillah, mana ketulusan perjuangan yang menuntut keadilan sosial serta mana yang terafiliasi dan menjadi sumber penciptaan teror, teroris dan terorisme baik di dunia dan di Indonesia.

Tentunya sambil merenung dan bertanya pada rumput yang membisu. Mungkinkan aparatur pemerintah justru telah menciptakan teror?. Apakah sistem politik telah mengusung kekuatan teroris?. Atau bisakah negara telah melahirkan terorisme bagi rakyatnya sendiri dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

348

Related Post