Raja-rajaan di Negara Demokrasi: Ketika Petruk Dadi Ratu
Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard.
0leh Ady Amar - Kolumnis
Menjadi raja-rajaan saat kanak-kanak dulu kala, itu jadi prestasi tersendiri. Menjadi raja, meski sekelas raja-rajaan, itu penuh kebanggaan. Kebanggaan yang disimpan hingga dewasa. Bagaimana tidak, ia terpilih memerankan seolah raja seutuhnya, yang melihat semua peran lain jadi kecil. Meski terkadang peran jadi raja itu muncul cuma sekali dua kali saja sepanjang episode kisah itu dibuat.
Terpilih berperan jadi raja di antara para kawan yang lain, itu punya persyaratan yang mesti dipenuhi. Semacam kesepakatan yang disepakati diam-diam, yang kemudian jadi pakem untuk tidak dilanggar. Jadi kesepakatan baku yang mesti dipatuhi. Di mana yang memerankan sebagai raja adalah yang paling segala-galanya di antara mereka. Paling tampan, tinggi semampai, dan jika mungkin dengan intonasi suara tegas menggelegar. Sedang pintar dan sikap bijaksana, sepertinya belum jadi ukuran saat itu.
Menjadi raja meski sesaat, itu jadi kebanggaan tersendiri. Dikenang di antara mereka, atau dikenang pribadi yang terpilih memerankannya. Terpilih bisa atas pilihan antarkawan, atau dipilih sutradara dadakan tujuh belas agustusan, yang mementaskan lakon dengan menyertakan raja dalam kisah yang disuguhkan. Peran raja, baik dipilih antarkawan atau oleh pengatur laku tetap memegang pakem, dipilih di antara mereka yang tampan dan punya intonasi suara tegas.
Dalam lakon drama masa kanak-kanak dulu, pakem yang disepakati diam-diam itu tidak boleh dilanggar. Tidak boleh si cungkring dan berwajah tak elok diloloskan menjadi raja. Lakon jadi raja-rajaan tetap dituntut sempurna, meski ukurannya sebatas fisik. Raja menjadi simbol kesempurnaan. Tidak boleh ada yang menyamainya. Maka dandanan sang raja pun dibuat berjarak jauh dengan rakyat kebanyakan, apa pun profesi yang disandang.
Peran menjadi raja-rajaan ini sekadar lakon sesaat, seperti juga lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Kisah Petruk Dadi Ratu itu masyhur dikisahkan dalam dunia pewayangan. Petruk Dadi Ratu itu membongkar pakem bahwa raja mesti sempurna, setidaknya sempurna fisiknya.
Kisah Petruk Dadi Ratu memberi makna simbolik, yang mustahil kawula alit bisa memimpin, meski ia punya kemampuan memimpin, tapi tak sepantasnya jadi pemimpin.
Tapi Petruk dalam kisah pewayangan itu mengobrak-abrik tatanan ketidakmungkinan menjadi mungkin, dan itu dengan "merampas" kekuasaan, meski hanya semalam. Ya, hanya semalam. Tak perlu Petruk ambil kesempatan berkuasa hingga 2 periode, dan itu 10 tahun. Itu jauh dari tabiat sikapnya. Apalagi sampai tamak ingin tambah lagi satu periode. Atau tetap ngotot jika tidak mungkin, keukeuh menawar tambahan jabatan dengan 2-3 tahun, dengan dalih ingin melanjutkan pembangunan yang belum tuntas dikerjakan disebabkan sebelumnya negeri terserang virus dari Wuhan, Tiongkok.
Petruk Dadi Ratu bisa dilihat dari berbagai angle. Bisa dilihat dari kemustahilan kawula alit memimpin negeri yang disebut Mayapada, sampai munculnya pemberontakan para punakawan--Semar, Gareng, Petruk dan Bagong--yang lalu mendorong Petruk ambil kekuasaan dari tangan Arjuna, penguasa yang dilihatnya melenceng jauh dari yang semestinya.
Setelah membereskan negeri dari sengkarut dan ketidakpastian, dan itu cuma butuh waktu semalam, ia kembalikan singgasana kekuasaan pada yang berhak sebagai raja. Dan, itu Arjuna. Petruk dan para punakawan lainnya kembali ke habitatnya sebagai pengabdi dan penghibur di istana. Kisah Petruk Dadi Ratu, ini memunculkan ketidakmungkinan menjadi mungkin. Dan yang lebih dahsyat lagi, Petruk tidak menghendaki kedudukan sebagai raja itu karena ambisi, dan karenanya ingin berkuasa selamanya.
Tidak persis tahu mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) acap distigma sebagai "Petruk Dadi Ratu". Menyandingkan Jokowi dengan Petruk, itu sama sekali tidak nyambung, jauh api dari panggang. Artinya, bertolak belakang. Kecuali bentuk fisik dan sama-sama berangkat sebagai kawula alit, setidaknya dari partai yang mengambil jargon sebagai partai wong cilik. Sedang sifat lain antara Jokowi dan Petruk justru seperti berkebalikan.
Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu punya sifat bijak, yang tidak ingin ada ketidakberesan pemimpin dalam mengelola negara, dan karenanya ia tampil untuk meluruskannya. Memilih cukup semalam jadi Raja, setelah tugasnya selesai Petruk tahu diri bahwa bukan di situ maqam -nya. Sebagai punakawan tugasnya melayani lebih pada mengabdi, dan menghibur raja dan segenap penghuni istana.
Tidak demikian dengan Jokowi yang memang mesti menjabat sebagai presiden selama 5 tahun, dan bisa dipilih lagi selanjutnya sekali lagi untuk masa 5 tahun berikutnya. Setelah itu mesti turun tahta. Demokrasi dipilih sebagai sistem, dan itu hasil rembugan founding fathers, bahwa jabatan sebagai presiden itu punya periodisasi yang disepakati, yang tertera dalam konstitusi.
Moralnya mestinya berhenti, tidak memberi ruang untuk tawar-menawar menambah periode jabatannya, meski itu permintaan sebagian rakyat pendukungnya. Atau bahkan seluruh rakyat menghendaki agar ia memimpin lagi dan lagi, meski dengan mengubah konstitusi. Bukan menyerahkan semuanya pada keinginan rakyat, dan itu menabrak konstitusi.
Suara-suara menambah periodisasi, atau setidaknya menambah beberapa tahun agar Jokowi terus berkuasa, setidaknya disuarakan relawan garis keras. Seperti tak ingin Jokowi menyudahi jabatannya di tahun 2024. Tidak cukup sampai di situ, muncul pula suara-suara yang meski sulit dikonfirmasi kebenarannya, bahwa Pemilu/Pilpres akan ditunda, tanpa menyebut ditunda sebab apa. Dan, itu menjadikan Jokowi tetap berkuasa.
Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard.
Menyandingkan Jokowi seolah Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu sama sekali tak mengena. Bahkan sedikit pun keduanya tak bisa diserupakan. Petruk mencukupkan hanya semalam saja merasakan singgasana sebagai raja, dan itu karena kondisi memaksanya. Sedang Jokowi, mendapat privilage layaknya raja sungguhan, dan itu 10 tahun, tapi masih merasa kurang, dan ingin menambahnya.
Memang sih menambah periodisasi, atau menambah 2-3 tahun lagi jabatannya, itu tidak keluar dari mulut Jokowi. Disuarakan para pendukungnya, dan Jokowi tampak enjoy , tanpa merasa risih dengan munculnya suara-suara itu, yang menghendaki seolah Jokowi jadi "raja-rajaan" di negara yang memilih sistem demokrasi. Ending dari kisah raja-rajaan dengan peran Jokowi, ini sulit diprediksi akan seperti apa. Tapi yang pasti, semua akan berakhir, dan itu tidak bisa ditawar-tawar.**