Ramadan: Restorasi Kehidupan
Maka bulan Ramadan menjadi sarana yang sangat efektif untuk membangun kembali kesadaran ubudiyah itu. Di bulan inilah terjadi koneksi yang sangat intim dengan Pencipta.
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
HAL yang paling essensi dari hasil restorasi fitrah selama Ramadan adalah akan terjadi restorasi relasi dengan sang Khaliq. Sesungguhnya esensi dasar dari fitrah manusia itu adalah terbentuknya “covenant” (mi’tsaq) atau perjanjian kuat antara seorang manusia dan sang Khaliq.
Dalam ajaran Islam janji seorang hamba kepada Tuhannya ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:
"Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka: bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul, kami bersaksi. (kami berjanji) agar di hari Kiamat kami tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini," (Al-A'raf 7: Ayat 172)
Janji ini sekaligus seperti disebutkan terdahulu merupakan identitas dasar manusia yang disebut fitrah (insaniat). Dengannya manusia menjaga eksistensinya sebagai manusia. Dan tanpa dengannya manusia kehilangan identitas kemanusiaannya.
Sebagai bagian dari upaya menguatkan atau menyuburkan kembali kefitrahan itu selama Ramadan “convent” atau janji penghambaan (ubudiyah) kepada Allah dikuatkan. Sehingga Ramadan sangat dikenal sebagai bulan ibadah atau ubudiyah (syahrul ibaadaat).
Komitmen ubudiyah inilah yang menjadi bagian kedua dari restorasi yang terjadi selama Ramadan. Seorang hamba akan melakukan yang terbaik untuk merestorasi relasi dan komitmen ibudiyahnya kepada Allah SWT.
Barangkali ini pula salah satu rahasia kenapa ibadah-ibadah selama Ramadan diberikan nilai tambah yang berlipat. Amalan-amalan sunnah dimaknai atau dinilai seolah amalan fardhu. Berumrah di bulan Ramadan misalnya secara value (nilai) bagaikan menunaikan ibadah haji. Karena memang semua itu dimaksudkan untuk mereparasi kembali relasi antara seorang hamba dan Tuhannya.
Puasa juga bahkan diakui sebagai amalan yang secara ekslusif menjadi milik Allah. Dalam hadits Qudsi disebutkan bahwa “Semua amalan anak Adam adalah miliknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah milikKu”.
Diakuinya puasa sebagai milik Allah ini tentu juga memberikan nilai Istimewa yang lain. Salah satunya karena puasa seolah mengembalikan manusia kepada identitas dasar dan misi utama hidupnya sebagai “abdullah”. Bahwa wujud manusia itu dan misi utamanya dalam hidup ini adalah “li’ibadatill” (penyembahan kepada Allah).
Permasalahannya memang manusia kerap kali menjadi lengah atau lupa. Kata manusia itu sendiri memiliki konotasi “nas-yun” (lupa). Yang Kemudian diperkuat oleh dorongan hawa nafsu di satu sisi dan tarikan dunia yang melupakan di sisi lain. Maka terjadilah “nasullaha fa ansaahum anfusahum” (mereka lupa kepada Allah maka mereka dijadikan lupa diri).
Di saat manusia lupa diri itulah terjadi perilaku yang tida alami. Banyak yang tidak sadar bahwa mengingkari Tuhan itu tidak alami. Tidak melakukan ubudiyah itu tidak alami. Hingga melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan keridhoaan Allah itu sesungguhnya tidak alami dalam hidup seorang manusia (yang Fitri).
Maka bulan Ramadan menjadi sarana yang sangat efektif untuk membangun kembali kesadaran ubudiyah itu. Di bulan inilah terjadi koneksi yang sangat intim dengan Pencipta.
Relasi ubudiyah yang begitu dekat itu digambarkan dalam sebuah ayat yang terletak di antara ayat-ayat puasa: “dan jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang Aku sampaikan bahwa Aku sangat dekat” (Al-Baqarah).
Restorasi kedekatan (Al-Qurbah) bahkan kebersamaan dengan Allah (ma’uyatullah) inilah yang menjadi esensi Ramadan. Dan dengan merestorasi kedekatan ini hidup manusia akan lebih bermakna dan fitri. Insya Allah!
(Bersambung). (*)