Rempang Diincar Sejak Lama
Oleh Gavin Ar Rasyid | Pemerhati Sosial Politik
BENAR bahwa di era Presiden Soeharto telah disepakati bahwa Rempang adalah salah satu pulau yang masuk dalam zona pembangunan industri, tapi bukan industri kaca, melainkan industri pariwisata. Seluruh pihak pun saat itu setuju, mengingat kondisi keindahan alam Pulau Rempang
Saat itu masyarakat merasa senang, karena industri pariwisata akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar terutama penghuni pulau Rempang.
Tahun 2002, era Presiden Megawati, muncul aturan baru yang melarang camat dan lurah untuk melayani pembuatan sertifikasi tanah.
Maksudnya warga di sana tidak boleh urus SHM tanah yang berpuluh-puluh tahun dihuni oleh mereka. Saat itu belum jelas, mengapa warga tak boleh mengurus hak kepemilikan tanah di Pulau Rempang. Banyak yang mengira bahwa nanti akan dibuat regulasi yang berpihak pada masyarakat adat.
Tanggal 26 Agustus 2004, tepatnya beberapa bulan sebelum masa jabatan Megawati berakhir, secara mendadak pemkot Batam menandatangani kontrak pengelolaan pulau Rempang dan Setokok dengan PT. MEG yang diwakili oleh Tommy Winata.
Dari situ masyarakat adat mulai khawatir.
Meskipun Dalam Nota Kesepakatan tertulis bahwa:
“Kampung tua yang terdapat di Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya yang termasuk dalam nota kesepakatan tersebut harus tetap dipertahankan (enclave) sehingga tidak termasuk dalam kawasan pengembangan.”
Namun dibalik kekhawatiran masyarakat adat setempat, masih tersimpan harapan bahwa PT. MEG akan membangun industri pariwisata, sehingga tidak mengganggu situs-situs budaya dan adat masyarakat yang ada di pulau Rempang.
Proses pengelolaan tanah di Pulau Rempang pun sempat terhenti sejak SBY naik.
Di bawah pemerintahan SBY, semua kontrak kerjasama di era Megawati ditinjau ulang dan diperiksa, dan di tahun 2007 ditemukan kerugian negara yg ditimbulkan dalam kontrak pengelolaan Pulau Rempang oleh PT. MEG, dan Tommy Winata sempat diperiksa oleh Bareskrim Mabes Polri.
Namun entah mengapa, kasus tsb terhenti dan tak ada lagi tindak lanjut. Tommy Winata akhirnya 'tiarap' sejenak, PT. MEG tidak berani melanjutkan proses perijinan atas hak kelola Pulau Rempang.
Tahun 2015, dimana Jokowi sudah menjabat sebagai presiden, PT. MEG kembali ajukan proposal tindak lanjut untuk kerjasama pengelolaan Pulau Rempang. Bahkan PT. MEG meminta dukungan dari pemerintah pusat, tau sendiri jika pusat udah turun tangan, maka pemda bisa berbuat apa?
Tahun 2016-2021 pembahasan dilakukan hingga ke tingkat pusat, tentunya melibatkan Kementerian Koordinator Kemaritiman serta Kementerian Koordinator Perekonomian, tau sendiri Khan siapa menterinya. Akhirnya disepakati bahwa Rempang menjadi kawasan ekonomi khusus.
Sampai detik itu, masyarakat masih mengira bahwa Rempang akan dijadikan daerah industri pariwisata. Sampai pada tahun 2022 PT. MEG menyepakati kerjasama dengan Xinyi Group.
Setelah itu,Menko Perekonomian mendesak agar Kementerian LHK segera mempercepat proses pelepas status hutan
Jadi setelah PT. MEG positif menandatangani kontrak kerjasama dengan Xinyi Group, seketika itu Menko Perekonomian gercep meminta agar Kementerian LHK mempercepat proses pelepasan kawasan hutan di Pulau Rempang yg telah lama diajukan oleh PT. MEG. Dari sini kita bisa melihat fakta, betapa posisi PT. MEG mampu pengaruhi kebijakan Kementerian.
Tahun 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyerahkan HPL kepada BP Batam. Kementerian Koordinator Perekonomian meluncurkan proyek pengembangan Rempang yang digarap PT MEG dengan tajuk “Rempang Eco-City”. Pada 28 Agustus, proyek ini masuk daftar proyek strategis nasional.
Dibentengi' status Proyek Strategis Nasional (PSN), semakin memperkuat posisi PT. EMG.
Uniknya, pemberian status PSN ini bukan untuk proyek yg digarap oleh BUMN, melainkan oleh pihak swasta.
📓Dan seolah-olah 'kejar tayang', harus beres sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir.
Dan yang paling menarik, regulasi baru dibuat setelah PT. EMG dan Xinyi Group tandatangani kontrak kerjasama.Izin diberikan belakangan, dan baru disampaikan akhir-akhir ini bahwa di pulau Rempang akan dibangun Pabrik Kaca, bukan industri pariwisata spt harapan warga
Dari kronologis di atas, wajar rasanya jika warga mencium 'bau amis' dalam proses perizinan pengelolaan Pulau Rempang.
Terlebih lagi pihak PT. MEG mendesak agar Rempang segera dikosongkan agar proyek pembangunan pabrik kaca bisa segera dimulai.
Rencana pengosongan Pulau Rempang pun dilakukan tanpa terlebih dahulu menunaikan seluruh hak-hak masyarakat yg puluhan tahun sudah menghuni dan merawat Pulau Rempang.
Akhirnya masyarakat adat pun menolak upaya relokasi, dan berujung bentrokan dengan aparat.
Boleh saja masyarakat memiliki asumsi masing-masing terkait polemik di Rempang, namun yg masih mengganjal di benak adalah status PSN.
Kok ya bisa proyek kerjasama perusahaan swasta diberi label Proyek Strategis Nasional?
Terlebih lagi di tahun 2007 proyek pengelolaan Pulau Rempang oleh PT. MEG ditengarai merugikan negara.
Jadi siapa dalangnya? (sws)