Renungan Imajiner Anies Baswedan, Abu Jahal Harus Dilawan

Oleh Smith Alhhadar - Penasihat Institute for Democratic Education (IDe)

BENCANA bisa datang kapan saja. Ibarat musim pancaroba, politik nasional hari ini sedang memasuki fase tak menentu. Keadaan memang sulit. Tapi di situlah perjuangan menemukan maknanya.

Kuhabiskan malam-malamku memikirkan nasib bangsaku. Bangsa yang hampir selalu dikalahkan oleh pemimpinnya sendiri. Karena itu, aku mencintainya. Tapi cintaku tak akan berarti tanpa aku menjadi pejuang.

Nasib manusia bukan milik manusia. Pada akhirnya Allah yang akan menentukan seperti apa jalan hidup tiap-tiap orang. Tapi ikhtiar wajib dilakukan untuk membuka kemungkinan manusia mengendalikan nasibnya sendiri. 

Tidak banyak orang yang berhasil. Tapi Allah lebih menghargai proses daripada hasil akhir. Aku periksa kembali perjalanan hidupku hingga aku sampai pada titik ini. Terus terang tidak semua berjalan sesuai rencanaku.

Aku takjub pada takdir yang -  kendati kadang membelokkan rencanaku - ia mengganti dengan sesuatu yang lebih menantang. Dan aku selalu membuka diri untuk menerima semua yang dihadirkan nasib. Apapun jenis tantangan dan cobaan itu. Dengan begitu, aku bisa bangga pada diriku.

Keadilan Ilahi tak dapat diukur dengan konsep-konsep keadilan manusia. Memang kadang aku kecewa atas cobaan dadakan yang datang tengah malam. Walakin, kekecewaan itu selalu sembuh sendiri. Pada hakekatnya, ia adalah sarana yang disediakan alam untuk mendewasakan manusia. Menolaknya sama artinya kita berhenti menjadi manusia.

Maka kukatakan pada diriku: "Anies, lawan! Jangan sekali-kali kau biarkan kemungkaran berjalan di muka bumi dengan sombong. Kau tak akan kalah dalam keadaan bagaimanapun. Mana ada pejuang yang ikhlas dihina Tuhan."

Namun, jangan mengira aku berambisi menjadi presiden. Sama sekali tidak! Aku tak punya instrumen apapun yang bisa membawa aku ke sana. Aku bkn pemimpin partai, kader pun bukan, apalagi dana. Padahal, kader partai dan logistik syarat kunci menjadi presiden di negeri ini, bukan integritas, prestasi, dan kapasitas intelektual. Lihat, Jokowi saja bisa menjadi presiden!

Dua kendala yang kuhadapi itu mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa jihadku hanyalah meraih kekuasaan, duduk di Istana yang "sakral" sambil mengagungkan diri. Dan mengancam siapa saja: Aku berkuasa atas nasib kalian, bukan Tuhan. Maka, hiduplah dengan tertib dengan kepala menunduk sebagaimana rakyat Korea Utara.

Aku maafkan orang yang berasumsi demikian atas diriku. Toh, mereka mengalami mimpi buruk menyaksikan perilaku presiden yang sekarang. Dulu, melihat wajah dan penampilannya, mereka yakin dia bukan dari kalangan Fir'aun. Mana mungkin tawa dan cara jalan Fir'aun seperti itu. Nyatanya mereka salah besar.

Penguasa fir'aunik selalu muncul di semua zaman, di semua bangsa. Mereka hanya perlu bersalin diri untuk mengelabui rakyat. Tak apa rakyat menduga aku calon penguasa sejenis itu. Dulu juga mereka menuduh aku akan menindas minoritas, membuang Pancasila, sampai aku membuktikan sebaliknya.

Aku memang punya cita-cita. Tapi bukan untuk menjadi presiden. Itu terlalu jauh dan aku tahu diri. Kukejar pendidikan setinggi-tingginya hingga ke mancanegara hanya untuk membuat aku lebih arif dan awas dalam menapaki kehidupan yang penuh misteri. Dan kelak bisa memberdayakan bangsaku melalui transfer ilmu.

Aku membaca sejarah bangsa-bangsa yang mengungkapkan bahwa banyak bangsa kere menjadi maju karena mengapitalisasi bidang pendidikan. Tak sedikit juga yang surut ke belakang karena penguasa tak serius mencerdaskan bangsanya. Segera kudirikan "Gerakan Indonesia Mengajar". Kukirim anak-anak muda terbaik yang berbagi visi denganku ke pelosok-pelosok terjauh negeri ini demi memberdayakan mereka yang terbuang.

Berdirinya Republik ini didasarkan pada janji menegakkan keadilan sosial bagi semua. Tanpa kecuali. Kalau semua mendapat kesempatan ekonomi, politik, dan sosial secara proporsional, energi bangsa akan berlipat ganda, persatuan akan terbangun, sehingga mimpi kita bangsa besar dan beradab menjadi masuk akal.

Lalu, lingkungan dan dinamika politik nasional berubah. Sistem demokrasi dirayakan di mana-mana, lebih meriah dari Idul Fitri, seolah kita baru saja terbebas dari penjajahan. Rakyat berjalan penuh percaya diri. Dan optimis mereka akan segera sejahtera di bawah negara yang humanis dan pemimpin yang rendah hati. Aku terharu dan ikut hanyut di dalamnya.

Kini presiden Indonesia boleh berasal dari kalangan rakyat biasa. Asal mampu, siapa saja boleh memasarkan diri untuk dinilai rakyat. Tiba-tiba slogan Abraham Lincoln "demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" berkumandang. Aku mulai tergelitik. Mengapa tak aku coba bersaing untuk menjadi pemimpin puncak?

Dengan kekuasaan besar yang dimiliki presiden Indonesia pasti lebih mudah memajukan bangsaku. Tapi peluang berkompetisi dalam pilpres belum datang hingga aku membuktikan mampu memajukan DKI Jakarta yang kompleks secara sosial. Meskipun para pembenciku terus menebarkan dusta tentang diriku, lebih banyak yang mengapresiasi kinerjaku.

Biar begitu, dalam konteks pilpres, aku menyadari aku bukan siapa-siapa. Tak punya partai, miskin pula. Sekonyong-konyong sebuah partai yang dulu memojokkan aku dalam Pilgub DKI 2017, meminta aku bersedia menjadi bakal capresnya. Bukan main kagetku. Apakah aku tak sedang bermimpi? Ini partai pendukung penguasa yang membenci aku hingga ke tulang sumsum.

Yang juga menakjubkan, partai ini rela kehilangan segalanya sebagai resiko mengusung aku. Tidak mungkin hal semacam ini bisa terjadi di negeri ini, di mana nyaris semua partai berwatak pragmatis dan oportunistik. Maka kita menyaksikan penguasa mengintimidasi dan mengkriminalisasi menteri-menteri dari partai ini dan menghancurkan kerajaan bisnis pemimpinnya. "Tidak msk akal, demi aku, semua dikorbankan hingga ludes."

Dua partai lain yang ikut mencapreskan aku, menghadapi rayuan, tekanan, dan ancaman yang nyaris sama. Persis seperti Orde Baru memperlakukan Megawati Soekarnoputri. Aku menangis menyaksikan durjana ini. Bagaimana menjelaskan fenomena ini ketika kita menganggap demokrasi telah menjadi konsensus nasional?

Pertanyaan ini muncul lantaran banyak sekali cerdik-pandai yang fasih bicara tentang demokrasi, namun membiarkan konstitusionalisme dilanggar secara kasat mata. Berkali-kali pula. Semoga mereka tak membenarkan pendapat Mochtar Lubis bahwa orang Indonesia memiliki watak munafik dan enggan bertanggung jawab.

Gagal menyingkirkan aku dari arena kontestasi melalui cawe-cawe pilpres, penguasa memperalat lembaga-lembaga hukum untuk tujuan yang sama. Tak malu pula presiden mengaku tak bisa netral demi bangsa dan negara ke depan. Mati aku. Bukan main presiden kita ini! Berani nian dia berdusta pada semua orang. Tak perlu aku ungkap mengenai kebobrokan negara selama kepemimpinannya. Toh, kalian semua sudah tahu. Maka aku putuskan keluar dari zona aman dan menantang penguasa. Bukan demi aku menjadi presiden, melainkan tegaknya aturan main dan norma demokrasi. Terlebih, menahan laju kemerosotan bangsa. I mean it.

Tak menjadi presiden bukan masalah bagiku. Tapi cita-cita kemerdekaan dan reformasi harus tetap menyala biar bangsa ini tak masuk kembali ke dalam terowongan gelap. Esensi pemilu bukan untuk melanjutkan program pembangunan sebelumnya, melainkan membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadapnya, melanjutkan yang sudah baik, dan menawarkan konsep baru.

Aku akan menjadi orang tak berguna, bahkan pengecut, bila membiarkan aniaya atas partai-partai yang mengusungku terus berlangsung. Sungguh, kalau kemarin aku agak hati-hati merespons sikap culas penguasa untuk memberi pesan perlunya keadaban dalam politik, hari ini sikap seperti itu tak relevan lagi.

Apalagi kita bukan sedang berhadapan dengan kekuatan yang rasional, melainkan kekuatan jahil, pongah, dan rakus. Kuakui aku adalah antitesa penguasa. Mengapa juga aku harus melanjutkan legacy pembangunan penguasa yang nyaris berantakan semuanya?

Intinya, pembangunan harus menyejahterakan rakyat lahir-batin, bukan memperkaya orang yang sudah kaya sambil membiarkan kemiskinan meluas. Cina dibiarkan mengeruk sumber daya alam kita untuk memperkaya dirinya sendiri. Rakyat kita dibiarkan jadi penonton yang teriris hatinya. Yang seperti ini yang harus dilanjutkan pemerintah berikutnya? Sudah hilangkah rasionalitas dan nurani kita?

Tidak. Sekrang aku bersemangat untuk menjadi presiden. Akan aku babat habis korupsi, membasmi politik dinasti, menata ulang aturan yang hanya melayani kepentingan oligarki, dan mengangkat kembali martabat rakyat yang hak-haknya dipreteli tanpa mereka sadari, atau barangkali mereka sudah berdamai dengan kegetiran hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai takdir.

Aku harus katakan kepada mereka: ini bukan takdir dari Tuhan. Ini belenggu yang diciptakan penguasa zalim. Kita bisa berubah. Pasti bisa! Aku tak menjanjikan yang muluk-muluk, tapi kita punya modal besar untuk kelak menjadi bangsa besar.

Kuncinya sederhana: ubah paradigma pembangunan kuno yang digunakan penguasa sekarang. Modal kita bukan pada sumber daya alam dan investasi asing yang eksploitatif, melainkan pada sumber daya manusia. Artinya, rakyat yang cerdas dan tercerahkan otomatis akan menghela bangsa ini ke ujung terjauh kemajuan seiring dengan meningkatnya kemampuan mereka berlipat ganda.

Tetapi tantangan masih melintang di jalan, seperti ranjau yang dipasang ISIS di Afghanistan. Tugas kita sekarang adalah rekayasa busuk penguasa dan memastikan tahapan pilpres berjalan fair hingga akhir.

Abu Jahal harus dilawan! Kemenangannya akan berarti kita kembali ke jalan kebodohan yang menghina manusia. Jalan Abu Jahal adalah jalan yang dilawan para Nabi dan filosof dari semua zaman, dari semua bangsa. Dengan usaha, kearifan, moral, dan ilmu pengetahuan, insya Allah Abu Jahal kita kalahkan. Wallahu 'alam bissawab!

Tangsel, 4 Juni 2023

528

Related Post