Republik Antek!
Oleh Ahmad Daryoko - Koordinator INVEST
SEBUAH negara yang pemimpinnya baru mampu berkuasa saja, namun masih menunjukkan gesture yang tidak mandiri dan bahkan "berlindung" tunduk ke sebuah Negara Adi Daya apakah AS, RRC, Sovyet ataupun lainnya, maka negara tersebut baru level sebagai "Negara Antek" !
Negara semacam ini boro-boro akan menjadi "Super Power" dengan daya cipta tinggi semacam pencipta barang elektronik, peralatan moderen, pesawat canggih, pesawat ruang angkasa dst, kedaulatan saja nyaris tidak punya. Eksistensi maupun kedaulatannya sangat tergantung kepada pengaruh Negara Super Power, di mana dia berkiblat !
Indikasi "makmum" ke negara mana biasanya ditandai dengan penyerahan SDA, penyerahan pelaksanaan proyek, ke mana ekspor komoditas strategis, dari mana tenaga ahli bahkan kuli didatangkan. Dari situlah republik semacam ini ber "mahzab"!
Pemimpin dari "Republik Antek" semacam ini baru mampu mengatur bagaimana cara meraih kekuasaan. Setelah berhasil meraih kekuasaan, aktivitas selama dia memimpin lebih cenderung mengatur strategi untuk mengamankan kedudukannya, sehingga tidak heran akan cenderung otoriter. Apalagi bila kadar "intelek"nya rendah, mereka ini akan menggunakan segala kekuasaan yang dipegangnya seperti memanfaatkan aparat hukum, lembaga antirasuah, polisi, intelejen dll untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan kalau perlu militer pun mereka gunakan untuk meneror dan menculik kalangan penentangnya.
Yang ada di benak para pemimpin semacam ini, begitu berkuasa, adalah bagaimana bisa memanfaatkan SDA (sumber daya alam) dan BUMN yang ada di depan matanya. Yang bisa dijual mereka akan menjualnya. Yang bisa digadaikan dan serahkan secara kontraktual ke aseng/asing dan etnis tertentu akan dilakukannya. Dan semua itu dilakukan agar pengelolaan negara serta operasional pelayanan publik dapat dilakukan secara mudah. Sekaligus sebagai "modus" mengumpulkan pundi-pundi pribadi, keluarga serta partainya.
Maka jangan heran jika era kepemimpinan orang semacam ini menurut Menko Marinvest RI Rizal Ramli akan muncul "Peng Peng" (Penguasa Pengusaha) yaitu sosok pejabat merangkap sebagai pengusaha atau wasit merangkap pemain. Tidak harus "oknum" pejabat dimaksud yang ber "main"/bisnis. Cukup anak anak dan keluarganya, namun khalayak di bawahnya sudah tahu kalau Perusahaan/PT A,B,C,D dst adalah milik "petinggi" negeri tersebut.
Contoh Kasus di PLN
Di negeri tercinta ini sepertinya tidak luput dari ciri-ciri di atas.
Seperti contoh terjadi di PLN (yang dipastikan BUMN strategis lain pun mengalaminya).
Di PLN pada era tertentu pernah memiliki semangat kemandirian dan tekad untuk maju, yang saat itu dimulai dengan jargon "PLN MAJU, MODERN, MANDIRI". Dan tidak sekadar berhenti sebagai "jargon". Tetapi setiap tantangan dan hambatan terhadap perkembangan dan kemajuan PLN dilawan oleh segenap keluarga besar PLN ! Sehingga ketika pemerintah mencoba untuk menerapkan jurus Neolib (Neoliberalisme) dengan Instruksi dari Kementerian BUMN serta "platform" UU Ketenagalistrikan Liberal, keluarga besar PLN melawannya dengan mengajukan "Judicial Review" ke MK sampai tiga kali dan menang dua kali. Yang mana semua itu secara paralel dibarengi dengan aksi "Non Litigasi" oleh SP PLN (saat itu) berupa Seminar di ITB,UI, UGM, UNPAD,ITS,UNBRAW, AIRLANGGA, USU, Lambung Mangkurat, UNHAS, UISU, UNUD dll, di mana hasil diskusi di setiap Universitas/Institut waktu itu dikirim ke MK guna mendukung argumentasi gugatan.
Namun usaha di atas belum berhasil dan malah puncak Pimpinan PLN (Dirut PLN) mulai 2010 sampai saat ini diambilkan dari luar PLN. Dan sudah menjadi fakta bahwa Dirut PLN Dahlan Iskan saat sidang MK terkait "Judicial Review" (JR) UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan pada 2010 menyatakan "untuk mengelola PLN tidak diperlukan Undang Undang". Sehingga mulai 2010 PLN khususnya Jawa-Bali retailnya dijual ke taipan 9 Naga. Sementara pembangkitnya memang mulai 1986 sudah diserahkan ke IPP swasta ("Independent Power Producer") asing/aseng berdasar UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan.
Dan di dalam prakteknya "oknum" pejabat seperti Dahlan Iskan, JK, Luhut BP, Erick Tohir, Sandi Uno itulah yang ikut "bermain" di Program IPP tersebut dengan memanfaatkan Program Privatisasi/Penjualan/"Penjajahan" PLN yang ada di UU Ketenagalistrikan.
Akibatnya mulai 2010 subsidi listrik "melejit" di atas Rp 100T/tahun. Dan saat ini sudah berada pada kisaran Rp130T-Rp200T pertahun.
Sesuai desain "The Power Sector Restructuring Program" (PSRP) yang aslinya merupakan "follow up" dari LOI ("Letter of Intent") 31 Oktober 1997 yang merupakan "domain" dari WB,ADB dan IMF yang merupakan strategi jurus GLOBALISASI milik negara-negara Barat. Akhirnya saat ini dinikmati juga oleh Super Power China (RRC) dan kelompok "kiri" nya dalam OBOR ("One Belt One Road").
Kesimpulan
Negara-negara yang para tokohnya baru mampu meraih kekuasaan, tetapi tidak memiliki visi/ideologi untuk memajukan bangsa dan negaranya, maka visinya hanya sebatas menjadi "Peng Peng" serta bagi-bagi rejeki untuk kelompok dan keluarganya.
Dan para pendukungnya sekadar berharap mendapat "cepretan" rejeki dari tokoh tersebut.
SEHINGGA NEGARA MANAPUN SEMACAM INI, SELAMANYA HANYA AKAN MENJADI "REPUBLIK ANTEK" !. PAHAM? (*)