Republik Lontong Sayur
Oleh Daniel Mohammad Rosyid - Guru Besar ITS Surabaya
KELONTONGSAYURAN Republik ini makin nyata : encer, empuk, mudah disantap habis. Sangat menggiurkan pemodal, terutama asing. Soal rasanya lain lagi.
Saat beberapa buruh pribumi mati di tangan TKA China di PT GNI, Morowali, dan kawan-kawan mereka ditangkap polisi dituduh sebagai provokator, lalu joget gembira bu Ramona saat menerima amplop langsung dari presiden di sebuah pasar di Manado, kemudian sidang kasus Sambo yang makin sulit dibedakan dengan sinetron, serta tuntutan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa ramai-ramai di depan Gedung DPR dari 6 tahun menjadi 9 tahun, maka kedunguan itu terasa begitu luas, dan nyata, namun tetap saja mencengangkan bagi sebuah negeri yang konon sudah merdeka 77 tahun.
Bahkan pekik "Merdeka" itu baru saja diteriakkan 3 kali oleh petinggi partai paling berkuasa di Republik ini.
Pekik merdeka itu terdengar ironis, jika kita menyaksikan betapa negara ini telah gagal melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi secara resmi mengakui pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di masa lalu sejak G30S/PKI, tragedi Talangsari dan Tanjung Priuk selama Orde Baru, kecuali penghilangan nyawa 6 orang pemuda pengawal seorang ulama kondang beberapa bulan silam yang terjadi di masa kepresidenannya sendiri.
Ini hanya aksesori politik yang hanya menguntungkannya secara pribadi sekaligus bisa merupakan langkah awal permohonan maaf pada PKI yang keturunannya akhir-akhir ini semakin berani mengatakan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM berat. Jika korbannya adalah pendukung PKI, maka sulit mengelak kesimpulan bahwa yang bersalah dalam pembantaian ratusan ribu manusia selama peristiwa G30S/PKI itu adalah ABRI dan ummat Islam. Jika permintaan maaf Pemerintah yang diwakili rezim berkuasa saat ini benar-benar terjadi, maka kita akan segera memasuki fase paling kelam dan menyesatkan dalam sejarah Indonesia di Abad 21 ini.
Proses pelontongsayuran Republik ini terjadi sejak UUD45 diganti secara brutal oleh kaum sekuler radikal kiri maupun nasionalis dengan UUD2002. MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat sekaligus lembaga tertinggi negara digusur oleh partai politik.
Sejak itu politik sebagai barang publik dimonopoli secara radikal oleh partai politik. Bagaimana besar kekuasaan parpol itu dinyatakan secara tegas terbuka oleh Megawati di depan warga PDIP dan Presiden Jokowi saat perayaan HUT PDIP ke-50, bahwa selain elite parpol, manusia Indonesia itu pengemis politik yang patut dikasihani.
Pemilu Presiden langsung yang oleh kaum liberal dibangga-banggakan sebagai pencapaian gerakan reformasi yang paling penting, terbukti hanya melahirkan presiden petugas partai, jika bukan boneka oligarki yang memasok logistik partai-partai politik itu.
Bangsa ini sedang belajar merdeka. Lihatlah para anggota DPR masih tega membiarkan kasus unlawful killing aparat terhadap warga sipil berlalu begitu saja, dan buruh pribumi terbunuh bahkan dituduh sebagai provokator dalam konflik dengan para pekerja dan investor asing. Kini partai-partai politik di DPR akan menghadapi para Kepala Desa yang jika tuntutan perpanjangan jabatannya tidak dipenuhi DPR, para Kades itu akan menghabisi parpol-parpol itu saat Pemilu nanti. Mungkin para Kades itu hanya meniru sikap para pejabat publik yang berakrobat untuk memperpanjang masa jabatan mereka dengan menunda Pemilu atau mengubah UUD.
Masa jabatan publik itu jadi seperti lontong yang bisa diperpanjang, tapi tidak mungkin diperpendek kecuali akan menjadi lemper. Para bandit, badut dan bandar politik yang kini memenuhi jagad politik negeri ini akan tetap menginginkan sebuah republik lontong sayur, bukan yang lain. (*)