Robohnya Demokrasi Kami
Oleh Dr. Anton Permana - Aktivis KAMI, Pemerhati Sosial dan Politik
SEPERTI cerpen lawas karangan Sastrawan AA Navis asal Ranah Minangkabau Provinsi Sumatera Barat berjudul “Robohnya Surau Kami”, judul tulisan di atas memiliki makna filosofis yang dalam.
Makna kalimat Robohnya Surau Kami, bukan saja bermakna hakiki (tersurat) robohnya sebuah surau (dalam bahasa Minang berarti Mushola atau Masjid kecil) secara fisik, tetapi juga bermakna kiasan (tersirat) bahkan juga memiliki makna tersembunyi (tersuruk) ala berpikir orang Minangkabau yang holistik.
Yaitu, kegelisahan seorang budayawan, dan sastrawan tentang kondisi kampung halamannya yang secara pranata dan kondisi sosial budaya yang mulai bergeser. Dari kondisi konservatif kultural religius, bergeser menjadi liberal-sekuleris atas nama kehidupan moderen saat itu.
Sosial kultural masyarakat Minangkabau yang sebelumnya terkenal fanatis, religius akan agama, adat dan norma budayanya, bergeser menjadi matrealistis-hedonis-plural-liberalis dan sekuler.
Surau sebagai simbol penyangga ketahanan sosial religius masyarakat Minangkabau, di mata sastrawan AA Nafis sudah “roboh”, kehilangan peran dan fungsinya sebagai tempat pembinaan, belajar, kaderisasi, dan basis pergerakan dakwah orang Minangkabau yang secara notabone di masa sebelumnya berhasil melahirkan para tokoh nasional dan internasional yang unggul dan berkarakter.
Begitu juga setidaknya, ketika kita mengamati kondisi kehidupan demokrasi kita hari ini. Dimana pasca reformasi menjadi icon utama pengharapan setelah Orde Baru, bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan, memberangus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, memberikan kebebasan berekspresi bagi siapa saja, menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia, serta tak akan terjadi gaya pemerintahan otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan.
Fakta yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. KKN semakin tumbuh subur dan sistemik. Kalau pakar ilmu pemerintahan Jhon Girling dalam bukunya “Coruption, Capitalism, and Democracy”(1997),mengatakan korupsi itu terdiri dari tiga dimensi ; Individualistis-Insidentil, Institusional, dan Social Sistemic. Silahkan nilai dimana posisi kita hari ini?
Hal ini selaras dengan laporan Transparacy International yang menyatakan IPK korupsi Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 180 negara. Artinya boleh dikatakan, korupsi di negara kita hari ini sudah seperti watak dan prilaku yang sistemik alias menuju negara “kleptokrasi” kalau kita menggunakan parameternya Joseph Nye dalam bukunya berjudul “Coruptioan and Political Development” (June, 1967).
Dalam hal penegakan hukum kita juga secara kasat mata melihat bagaimana terjadi ketidakadilan dan tindakan diskriminatif. Tajam ke bawah dan pihak yang berseberangan dengan pemerintah, tumpul apabila berhubungan dengan kelompok kekuasaan. Sehingga marak terjadi “Abuse of Power” dan kriminalisasi. Para aktifis dan Ulama banyak dikriminalisasi, dipenjarakan hanya karena bersuara berbeda dengan penguasa.
Kejahatan dan kriminalisasi semakin marak dan parahnya lagi bahkan melibatkan para aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi Bhayangkari negara. Kasus Sambo, Tedy Minahasa, dua Jendral muda yang viral di publik cukup menjadi catatan buruk bagi wajah penegakan hukum kita hari ini. Dan itupun baru yang mencuat ke publik ?
Harmonisasi kehidupan sosial, HAM dan kebebasan menyuarakan kebenaran juga mengalami mimpi buruh di negeri kita saat ini. Penguasa hari ini justru menggunakan tangan-tangan para Buzzer dan influencer dalam membangun opini dan menutupi kebusukan serta kejahatan-kejahatan demokrasi yang mereka lakukan.
Sesama anak bangsa diadu domba tanpa pernah ada upaya untuk menyatukan. Kehidupan ber-Agama yang sebelumnya menjadi entitas yang begitu sakral dan dihormati, saat ini diframming, distigmakan begitu sistematis seakan menjadi masalah utama dan ancaman terbesar kehidupan bernegara kita hari ini.
Spritualitas kehidupan beragama seakan ditendang jauh tidak boleh berada dalam pusaran ekosistem kekuasaan. Dengan narasi dan terminologi mengerikan seperti ; Politik Identitas, Intoleransi dan Radikalisme yang difrasakan buruk secara sepihak. Parahnya lagi, mata anak panahnya tajam menunjuk ke arah ummat Islam yang tidak mau tunduk dan kritis terhadap kemungkaran.
Bagi siapa yang ikut manut kepada kemauan kekuasaan, maka akan diberikan kenikmatan fasilitas kekuasaan, uang dan jabatan. Tapi bagi mereka yang tidak ikut, maka akan dicari-cari kesalahan dan cara untuk membungkamnya.
Begitu juga dengan prilaku para elit kekuasaannya. Membuat regulasi perundangan sesuai dengan kehendak hati dan kepentingan politik kelompoknya. Ada yang tak sesuai dengan aturan, aturannya yang diganti. Politik sudah jadi Panglima, dan hukum menjadi alat kekuasaan.
Belum lagi kita bicara konstitusi, dimana konstitusi itu yang seharusnya menjadi hukum dasar (utama) untuk “Mengekang Kekuasaan”, saat ini justru menjadi instrumen legitimasi kepentingan kekuasaan. Hanya di Indonesia yang katanya negara Demokrasi, ketua hakim Mahkamah Konstitusinya secara terbuka punya hubungan kerabat dengan Presiden.
Jadi wajar, banyak pihak yang gelisah dan geram ketika dengan tanpa rasa malu, ketika seorang Presiden yang seharusnya secara konstitusi sudah mau habis masa jabatan, tetapi begitu kekeuh dan agresif berupaya melakukan manuver politik untuk memperpanjang kekuasaanya meskipun menggunakan tangan-tangan orang lain. Terakhir malah dengan terbuka akan ikut “Cawe-Cawe” dalam urusan pencapresan Pilpres yang akan datang. Sungguh terlalu !
Pilar utama dari Demokrasi itu adalah penegakan hukum, etika, dan norma. Sedangkan instrumen dari pelaksanaan dari sistem Demokrasi itu juga adalah : Berjalannya Trias Politika dalam pemerintahan, sehingga ada terjadi “Check and Balance” dalam pemerintahan. Serta tegaknya kedaulatan rakyat dengan terjaminnya hak rakyat dalam menyampaikan pendapat, perlindungan atas HAM masyarakat baik secara individual, kelompok dan kehidupannya. Dan terakhir, Demokrasi melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang berkeadilan sosial bukan hanya untuk satu kelompok saja.
Namun faktanya hari ini, semua berubah menjadi mimpi buruk bagi keberlangsungan reformasi yang dahulu begitu kita agung-agungkan. Demokrasi hari ini sudah runtuh menjadi Otokrasi Diktatorianisme. Kedaulatan rakyat sudah dirampok partai politik dan okigarkhi. Reformasi sudah berubah jadi “Deformasi” seperti kata Begawan Ekonomi Dr Rizal Ramli. Mimpi negara “Walfare State” sudah bergeser menuju negara “Coorporate State” yang dikuasai oleh hanya sekelompok orang saja.
Masyarakat hari ini seperti terperangkap dalam samudera aliena yang ambiguitas. Bingung membaca arah navigasi perubahan. Karena semua lini seakan terkunci hegemoni status quo kekuasaan. Semua seakan menemukan jalan buntu.
Tidak cukup sampai disitu. Proses sakral Pemilu dan Pilprespun saat ini terancam “di begal”. Ada upaya kuat dari anasir kekuasaan untuk memperpanjang masa kekuasaanya dengan bahasa ufimisme “Penundaan”. Penundaan tentu dengan banyak alibi dan dalih. Sangat mudah kekuasaan merancang itu. Karena system control dan early warning bernegara kita saat ini seakan lumpuh. Bahkan Partai dan proses pencalonan kandidat Capres pun yang bersebrangan dengan penguasa, juga terancam di bajak atas nama pemaksaan kehendak. Sehingga rakyat tak ada pilihan selain ikut hanyut dalam koridor peta jalan buatan oligarkhi. Demokrasi pun sakratul maut menuju mati.
Berharap pada Senayan, mulut mereka terkunci takut pada ketua Partai. Melapor pada Partai, hampir semua Partai merupakan bahagian oligarkhi. Mengadu pada pemerintah dan aparat, semua tunduk manut pada kekuasaan. Mau bersuara pada media massa yang katanya juga jadi pilar demokrasi, faktanya media mainstream juga di bawah kendali para taipan dan oligarkhi.
Berharap pada Mahasiswa, aktivis dan Ulama, tak henti/hentinya mereka justru jadi korban intimidasi dan kriminalisasi. Kesimpulannya Demokrasi kita hari ini adalah Demokrasi Palsu dan halusinasi. Jadi teringat pernyataan tokoh sufi Syekh Atthaillah Iskandar yang mengatakan “Kalau baju kotor cucinya di air, tapi kalau air kotor cucinya dimana ? Manusia mati kuburnya di tanah, tapi kalau tanah mati, kuburnya dimana ?”
Hampir sama dengan tulisan Pangdam Siliwangi Mayjen TNI Kunto Ari Wibowo dalam tulisannya yang viral di Kompas berjudul “Etika Pemilu 2024” yang mengatakan istilah “Tonggak Membawa Rebah” yang artinya adalah ; Akan menjadi malapetaka besar apabila pemerintah, aparatur, yang seharusnya menjadi penyangga (tonggak) utama pelaksana roda pemerintahan, tetapi juga menjadi aktor utama yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum serta konstitusi. Negara pasti akan rusak dan hancur lebur apabila hal ini terus terjadi.
Tapi kita mesti yakin, secara hukum Demokrasi dan Sunatullah bahwa ; Yang abadi itu adalah perubahan. Kekuasaan dalam hukum besi demokrasi itu adalah pergantian kekuasaan. Itu pasti.
Kebuntuan-kebuntuan dan koptasi intimidasi yang diperagakan penguasa hari ini, justru akan melahirkan tekanan balik energi perlawanan yang semakin besar.
Begitu juga nasihat Ibnu Khaldun,”Kekuasaan itu seperti menggenggam pasir. Semakin kuat menggenggam maka pasirnya semakin lepas berjatuhan”.
Dan apabila sebuah kekuasaan semakin sewenang-wenang maka itu bertanda kekuasaan itu semakin dekat dengan kehancurannya dan segera berakhir. Ibarat Matahari, ada saatnya terbit di pagi hari, tapi juga ada saatnya Matahari itu akan segera tenggelam bersama gelapnya malam. Itulah hukum Alam. Tak bisa di lawan. InsyaAllah.
Jakarta, 06 Juni 2023.