Rocky dan Kawan yang Berganti, Tapi Tidak Pilihan Sikapnya

Oleh Ady Amar - Kolumnis 

ROCKY Gerung, pengamat sosial politik yang filsuf, atau apapun gelaran yang disandangkan padanya, memang "nakal". Suka berterus terang, yang terkadang kelewatan untuk ukuran tidak biasa. Narasi yang dipilihnya, yang orang lain menghindar untuk menyebut, tapi diambil untuk dikonsumsikan pada khalayak.

RG nama inisialnya--selanjutnya kita pakai inisialnya saja untuk menyebut lelaki yang seperti memilih jarak dengan kekuasaan. Memilih berkhidmat di pinggir lapangan diskursus, agar bisa melihat semuanya dengan seksama dan mampu menyebutnya tanpa basa-basi. Berjarak dengan kekuasaan, itu identik dengan pilihan sebagai oposan.

Di tiap harinya RG seperti disibukkan menghadirkan narasi tidak sekadar untuk menghidupkan suasana, tapi lebih pada memberi kesadaran baru pada publik, bahkan sampai ke tingkat menggedor publik, menularkan keresahan menjadi milik bersama. Meski tidak semua setuju dengannya, bahkan yang menghardiknya dengan umpatan pun tidak sedikit.

Keterusterangannya mengumbar narasi, seperti menyenangkan satu pihak dan menohok pihak lainnya. Menyenangkan kelompok yang dianggap "mustadzafin" dalam akses politik, dan menohok pihak yang bermanja dengan kekuasaan. Dalam konteks politik kekinian, RG seperti memanjakan Anies Baswedan sebagai pihak yang patut dibelanya, dan otomatis memberondong Jokowi dan pendukungnya.

Maka, muncul narasi-narasi menggelitik dibuatnya. Buzzer pada saat yang lalu disebutnya, punya IQ 200 tapi sekolam. Teranyar narasi yang dibaginya berkenaan Anies dan Ganjar Pranowo. Ganjar yang memang digadang-gadang sebagai penerus Jokowi. RG membanding keduanya dengan narasi, Orang menunggu Anies datang, kalau (pada) Ganjar orang nunggunya untuk bagi amplop.

Sepertinya cuma RG yang berani berterus terang mengungkap suatu hal yang tabu untuk disebut dengan senyatanya. Apa yang dituturkan, tentu itu bukan sesuatu yang tidak dipahami publik. Tapi RG berani mengungkapnya, yang orang lain tak sanggup berani berterus terang mengungkapnya.

Tentu tidak cukup keberanian yang dipunya. Kemampuan RG meracik kata lalu memadukannya dengan kata lain, menjadi kalimat yang tidak perlu berpanjang, tapi mengena pada apa yang disasarnya. Sedang yang mendengar, atau membacanya menyambut dengan beragam respons. Setidaknya ada sungging senyum pada yang bersetuju dengannya, atau hanya senyum terpaksa, bagi mereka yang masih hidup "sekolam", sebagaimana RG biasa sebut--julukan untuk buzzer.

RG seperti bebas saja mengeritik apa yang patut dikritiknya, bahkan mengeritik kekuasaan yang tampil garang. Jokowi pun seperti jadi bahan senda gurauannya. Bebas-bebas saja, seperti cuma RG yang boleh menghantam kekuasaan sesukanya, bahkan dengan telanjang. Menjadi seperti manusia tak tersentuh hukum. Memunculkan adagium, bahwa negeri ini akan disebut otoriterianisme, jika RG dan RR ditangkap dan diprodeokan. RR inisial nama Rizal Ramli, pengamat ekonomi yang kritis.

RG dan RR seperti jadi simbol "monumen negeri", bahwa masih ada demokrasi dan kebebasan berbicara di negeri ini. Setidaknya Prof Mahfud MD pernah menyebut, bahwa dua orang itu, maksudnya RG dan RR, kan aman-aman saja mengeritik pemerintah. Itu simpulan absurd Prof Mahfud memaknai masih adanya demokrasi di negeri ini.

RG memang punya kemampuan bicara di atas rata-rata. Bicara dengan pilihan kata yang pas dalam menggambarkan sebuah obyek yang disasarnya. Suasana jadi semarak oleh argumen yang dibangunnya. Seperti mengajak berpikir publik dengan cakrawala baru yang ditawarkan. Meski itu bukan hal yang baru, tapi disampaikan dengan pilihan kata-kata seksi filsafati, di luar yang biasa kita dengar.

Suasana menjadi hangat jika dalam satu perdebatan politik di televisi misalnya, jika salah satu nara sumber yang dihadirkan adalah RG. Maka muncul istilah menggambarkan itu semua, No Rocky No Party. Perdebatan berkelas dihadirkannya, meski lawan debat mengumbar narasi  sampah untuk menutupi kelemahannya. Memotong-motong pembicaraan RG, seperti menutupi ketaksanggupan mendengarkan narasi yang dihunjamkan. RG tak pernah terjebak pada sikap emosional meski lawan debatnya mengungkit hal personal yang tak layak dan tak ada sangkut paut dengan tema diskusi.

RG seperti manusia nyaman memilih tempatnya, yang justru dijauhi mereka yang berharap bisa berdekatan dengan kekuasaan. Hari ini ia "berkawan" dengan Anies, dan terus membelanya. Tapi saat  Anies nantinya ada dalam kekuasaan, jika takdir membawanya menghuni istana, RG seperti biasanya akan menjauh-menjaga jarak dengan kekuasaan, dan memulai aktif mengeritik apa yang seharusnya. Begitu seterusnya, sehingga nilai "kawan" bagi seorang RG akan berganti entah pada siapa nantinya, tapi tidak sikapnya sebagai oposan yang sepertinya kekal selamanya. (*)

365

Related Post